Selasa, 29 April 2008

Varia

Aroma Wangi Khas Pandan Wangi

Beras Xiang Mi

Bentuknya yang bulat, garis putih di bijinya, aromanya yang wangi ketika dimasak, dan rasa nasinya yang pulen menjadi ciri khas beras ini. Ya, beras Pandan Wangi, namanya. Beras aromatik asli Cianjur ini menjadi salah satu varietas beras kebanggaan Indonesia karena kekhasannya.

Kini, jangan pernah Anda dibohongi lagi! Banyak beras yang berlabel Pandan Wangi mengklaim keasliannya. Namun, kenyataannya beras tersebut adalah beras varietas Pandan Wangi yang telah dicampur (oplosan) dengan varietas beras lainnya. Bahkan, tak jarang, beras yang diklaim penjualnya sebagai beras Pandan Wangi asli, tapi sebenarnya hanya beras yang diberi aroma wangi buatan.

Beberapa waktu yang lalu, Institut Pertanian Bogor (IPB) sempat melakukan riset dalam menguji kemurnian beras Pandan Wangi yang beredar di pasaran. IPB melakukan pengambilan sampel sembilan beras berlabel Pandan Wangi asli secara acak di sejumlah pasar modern dan tradisional di Cianjur. Hasilnya, sungguh ironis dan cukup mengejutkan. Di Cianjur sendiri, yang notabene sebagai lumbung beras Pandan Wangi ternyata tingkat kemurnian beras kemasan berlabel Pandan Wangi yang dijual paling tinggi hanya 43,25 persen dan yang terendah yaitu 11,84 persen.

Kondisi seperti ini, tentu saja, selain sangat merugikan konsumen juga merugikan petani karena telah menyebabkan economic losses bagi keduanya. Maraknya beras Pandan Wangi oplosan yang beredar di pasaran membuat posisi tawar petani menjadi rendah. Imbasnya, praktek pengoplosan beras Pandan Wangi ini tentu juga membuat harga menjadi disinsentif bagi petani.

Melihat kondisi seperti ini, Departemen Pertanian (Deptan) menelurkan “Program Beras Berlabel”. Melalui program ini Deptan mengeluarkan logo jaminan varietas di setiap kemasan beras yang berlabel beras Pandan Wangi yang di lempar ke pasar umum baik pasar tradisional maupun modern. Sehingga, konsumen tidak perlu lagi merasa takut dibohongi, karena kualitas dan keaslian beras Pandan Wanginya dijamin seratus persen.

Adalah CV. Quality Sehat Indonesia (Quasindo), yang menjadi distributor beras Pandan Wangi asli seratus persen ini. Beras Pandan Wangi tersebut diberi merek dagang Xiang Mi yang berarti, Xiang: wangi dan Mi: beras. Menurut Direktur Utama CV. Quasindo, Evi Julianti, pihaknya menjamin beras Xiang Mi merupakan beras Pandan Wangi asli seratus persen.

“Beras Pandan Wangi yang disuplai ke Quasindo merupakan produksi Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Citra Sawargi, Warung Kondang, Cianjur,” jelas Evi. Jaminan yang diberikan Quasindo terhadap beras Xiang Mi memang bukan sekadar slogan belaka. Pasalnya, produksi beras Pandan Wangi ini dikawal ketat oleh Deptan dan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM), IPB.

Menurut Evi, LPPM IPB dan Deptan mengawasi proses produksi petani dari mulai pembenihan, penanaman, pengolahan sampai dengan panen. Guna menjaga keasliannya, lanjutnya, benih yang digunakan pun harus menggunakan benih yang berasal dari penangkar benih khusus yang telah ditunjuk Deptan.

Tidak hanya berhenti sampai di proses produksi, LPPM IPB dan Deptan pun terus mengawasi proses pembelian gabah, pengeringan, pengolahan, dan pengemasan. Di tingkat ini pengawasan ditujukan untuk menjamin bahwa beras Pandan Wangi tersebut asli dengan tidak menggunakan bahan kimia berbahaya sebagai pemutih dan tidak menggunakan pewangi sintetik.

Proses pengawasan sebagai bagian yang terintegrasi dalam produksi beras Xiang Mi ini tentu saja menjadi jaminan bagi konsumen untuk bisa menikmati beras Pandan Wangi yang betul-betul asli. “Tentu saja proses pengawasan ini tidak dilakukan sekali saja, tapi dilakukan setiap waktu tanam hingga panen dan dilakukan secara terus menerus,” tegas Evi.

Dari sisi kemasan produk, selain mencantumkan logo jaminan varietas yang dikeluarkan oleh Deptan, Quasindo juga memberikan jaminan kepada konsumen yaitu dengan memberikan garansi uang kembali (Moneyback Guarantee) jika memang ternyata ada kandungan varietas beras lain selain beras Pandan Wangi pada kemasan beras Xiang Mi. Sementara, untuk melindungi konsumen dari pemalsuan beras Pandan Wangi asli merek Xiang Mi ini, tambahnya, pihaknya memberikan jaminan berupa sembilan warna yang dipakai untuk kemasan beras Xiang Mi.

Beras Xiang Mi dipasarkan dengan kemasan cantik dengan ciri khas kemasan yang bermotif gambar bunga Anggrek. “Motif gambar bunga Anggrek pada kemasan beras Xiang Mi melambangkan beras Pandan Wangi sebagai beras asli Indonesia seperti juga Anggrek sebagai bunga asli Indonesia,” tutur Evi. Dengan demikian, hal ini akan membuat pihak yang akan memalsukan berpikir beberapa kali untuk memalsukan, karena pastinya, membutuhkan biaya yang cukup besar untuk membuat kemasannya.

Sebenarnya, beras Pandan Wangi tidak kalah bagus dengan beras aromatik impor yang beredar di pasaran. Misalnya saja beras Japonica. Beras asal Jepang yang digunakan sebagai bahan baku sushi ini memang pulen. Namun, kualitasnya tidak seperti beras Pandan Wangi yang selain rasanya pulen juga wangi.

Sementara ini, Xiang Mi baru dipasarkan di dalam negeri. Quasindo berencana melebarkan sayap pemasarannya dengan mengekspor beras Xiang Mi ke sejumlah negara di Asia, seperti Thailand, Vietnam, Hongkong, dan beberapa negara lain. Untuk itu, bagi Anda yang ingin merasakan kelezatan dan aroma wangi beras Pandan Wangi yang betul-betul asli, segera berburu beras Xiang Mi. Selamat menikmati keasliannya. TRI

Tips

Tips

Cara Jitu Memilih Beras Berkualitas

Tidak sekadar kebutuhan biologis, mengonsumsi nasi juga dimaksudkan untuk meningkatkan daya tahan, vitalitas, dan kesehatan kita. Untuk itu, menjaga kualitas beras juga penting kita lakukan. Jika tidak, bukannya meningkatkan kesehatan, daya tahan fisik kita dapat melemah apabila kita tidak cermat dalam memilih dan memilah beras yang kita konsumsi.

Seperti apa dan bagaimana cara yang tepat untuk memilih beras berkualitas? Simak panduan singkat berikut ini:

  1. Lihat warna dan aroma

Tidak selamanya putih itu sehat. Demikian juga dengan beras. Anda bahkan perlu waspada jika menemukan beras yang terlihat putih dan mengilap. Bisa-bisa ia telah tercemar klorin, sebuah zat kimia yang biasa digunakan untuk membunuh kuman. Yang perlu dicermati, beras berkualitas warnanya tidak terlalu putih, tidak licin, dan tanpa aroma (wangi).

  1. Teliti bentuk dan karakteristik

Untuk memastikan beras tersebut berkualitas atau tidak, lihat tampilan fisiknya. Secara umum beras memiliki dua bentuk, yaitu panjang dan bulat (lonjong). Usahakan membeli beras dengan varietas yang sama atau sejenis. Teliti bentuk dan karakternya karena pedagang seringkali melakukan praktik pengoplosan dengan mencampur beras berkualitas dengan beras yang kurang bagus. Biasanya beras oplosan agak susah dibedakan karena dilakukan dengan beras yang agak mirip karakteristiknya.

  1. Beralih pada kemasan

Saatnya Anda beralih pada beras berlabel, karena sudah terjamin kualitasnya. Jangan tergiur oleh harga yang murah, sementara kesehatan kurang diperhatikan. Kemasan berlabel ini beredar di pasaran dengan berbagai merek. Carilah merek yang sudah mendapat sertifikasi dari instansi terkait.

  1. Toko langganan

Jika Anda telah mengetahui keaslian beras, tetapkan satu toko sebagai tempat langganan Anda dalam membeli beras. Usahakan untuk tidak berpindah-pindah toko untuk mengurangi risiko manipulasi.

  1. Tahu harga

Sebaiknya Anda tahu variasi beras yang akan dibeli sebagai pedoman untuk menilai apakah varietas beras tersebut masih asli atau tidak. Jika Anda menemukan harga beras tersebut berbeda dengan harga yang biasa dibeli, Anda patut curiga.

Kini, saatnya Anda peduli dengan kesehatan maupun tindak manipulasi terhadap beras ini. Kepedulian Anda akan menciptakan sistem perberasan yang baik. Dengan demikian, pedagang tidak lagi memperlakukan atau memanipulasi beras dengan semena-mena. Anda pun dapat mendapatkan kualitas beras yang diinginkan. Selamat mencoba!

Sosok

S. Evi Julianti

Pelopor Beras Berlabel

Praktik pencampuran varietas beras tertentu dengan varietas lainnya di kalangan pedagang kini sampai pada tahap yang memprihatinkan. Konsumen pun dibuat resah karenanya. Di samping membuat rasa khasnya hilang, kualitas beras campuran ini pun tidak terjaga lagi. Dampak lebih buruknya, beras campuran ini dapat menyebabkan kualitas kesehatan menurun apabila konsumen tidak cermat dalam memilihnya.

Salah satu varietas yang seringkali dijadikan sasaran pencampuran adalah Pandan Wangi, sebuah varietas unggulan yang hampir punah. Untuk itu, Departemen Pertanian (Deptan) mengambil langkah penting dan strategis dengan mencetuskan Program Beras Berlabel. Selain sebagai langkah pemuliaan terhadap varietas Pandan Wangi, program ini dimaksudkan untuk melindungi dan menjaga kepentingan konsumen.

Momentum ini ditangkap Sintikhe Evi Julianti sebagai peluang baru dalam mengembangkan dan membudiyakan beras berlabel di masyarakat. Sarjana Ekonomi lulusan Univesitas Surabaya, Jawa Timur, ini sebelumnya dikenal sebagai importir beras berkualitas, Taj Mahal, yang keberadaannya banyak menyita perhatian publik. Varietas ini dikenal sebagai beras herbal yang mampu menyembuhkan penyakit diabetes militus, hipertensi, dan berbagai macam penyakit lainnya.

Kini, tidak hanya dikenal sebagai importir beras berkualitas, Evi, panggilan kecilnya, juga memiliki perhatian besar terhadap perkembangan beras berlabel di Indonesia. Dari tangannya, lahir varietas unggulan dengan kualitas yang kompetitif. Direktur Utama CV Quasindo, ini pun mengambil peranan strategis sebagai salah satu pemrakarsa terbentuknya kemitraan antara Quasindo, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan para petani yang tergabung dalam kelompok tani (Gapoktan) Citra Sawargi, Cianjur, Jawa Barat.

Tanpa henti menyebarluaskan penggunaan beras berkualitas ini dengan menjajakannya di pasaran tanpa kenal batas dan kelas. Tidak berlebihan jika ia disebut-sebut sebagai pelopor beras berlabel, khususnya di kalangan pengusaha. “Inilah kesempatan kita untuk mempersiapkan diri memasuki era pasar bebas,” katanya kepada Qusyaini Hasan yang diutus PADI untuk mewawancarainya. Berikut petikannya:

Bisa diceritakan awal mula Anda berkecimpung di sektor perberasan?

Basic pendidikan saya sebenarnya manajemen. Setelah lulus sarjana, saya melanjutkan sekolah ke Malaysia, tepatnya di Legend International School, UK, jurusan seni. Hobi saya memasak. Cita-citanya dulu ingin punya restoran, he-he-he. Tapi, ketika saya bekerja di Sari Pan Pasific, Kuala Lumpur, mulailah saya berkenalan dengan kalangan Bernas, Bulog-nya Malaysia. Saya mulai belajar beras dari sana.

Dalam proses belajar sekitar tahun 1999-2000, varietas yang saya kenal pertama kali adalah beras Taj Mahal, dari India. Saya diberi tahu soal kualitas dan keunggulan beras ini. Saya tidak percaya. Sewaktu saya coba sendiri, berasnya memang mekar, 2 kali lebih banyak daripada beras biasa. Akhirnya, saya mulai menjajaki untuk menjadi distributor di Indonesia.

Apa yang menarik dari beras ini, sehingga membuat Anda jatuh hati?

Beras ini memang unik sekali. Taj Mahal merupakan varietas Mani Chamba yang hanya bisa ditanam di daerah India Selatan ini. Khasiatnya banyak, seperti mencegah tulang keropos, kegemukan, kanker usus, dan penuaan dini. Beras tersebut memiliki kadar gula dan lemak rendah tidak berkanji, kaya mineral, kalsium, phosporus, zinc, protein, berkabohidrat complex serta fiber soluble (serat larut) untuk mencegah kanker usus. Beras ini juga cocok bagi orang yang melakukan program diet.

Lalu, kapan Anda mulai bergerak sebagai importir?

Pada tahun 2001 saya langsung menandatangani kontrak untuk menjadi distributornya di Indonesia. Sejak itu, saya mulai melakukan impor. Saya coba di Semarang, Jawa Tengah, karena asal saya dari sana. Waktu itu, saya coba selama setahun, langsung ada dampaknya. Perlahan tapi naik. Tahun berikutnya, saya ekspansi di Pulau Jawa, seluruh outlet, dari pasar tradisional hingga pasar modern. Bahkan, langsung ada permintaan dari luar Jawa. Sekarang, distribusinya dapat dikatakan dapat mewakili seluruh kota di Indonesia. Mulai dari Kalimantan, Sumatra, Maluku, Sulawesi, bahkan sampai Leukseumawe, yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Dari awal Anda langsung memakai bendera Quasindo?

Ya. Quasindo kepanjangannya Quality Sehat Indonesia. Saya concern dengan misi saya untuk mempersembahkan produk-produk berkualitas sekaligus sehat. Ternyata, produk ini diterima masyarakat luas. Beras Taj Mahal ini sekarang bisa dijumpai di berbagai pasar swalayan, apotek, dan toko buah dalam kemasan plastik seberat lima kilogram. Beras ini akan selalu diusahakan ada mengingat keberadaanya tidak lepas dari upaya untuk menyehatkan masyarakat.

Apa benar, impor varietas ini sempat terkendala dalam aspek legalitasnya?

Departemen Pertanian menyatakan Taj Mahal tidak melanggar ketentuan karena segmen pasarnya khusus penderita diabetes dan hipertensi. Persetujuan impor itu tidak hanya memberi angin segar bagi saya sebagai pengusaha, tapi juga pada konsumen penderita kedua penyakit tersebut. Dirjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian dalam pernyataannya tanggal 19 Oktober 2004 mengatakan izin impor beras itu diberikan dengan alasan penggunaannya berbeda dari beras biasa.

Terkait dengan itu, dikeluarkan rekomendasi impor yang ditujukan kepada Dirjen Perdagangan Luar Negeri, tanggal 30 September 2004. Kemudian Menperindag pada 11 Oktober 2004 memberi persetujuan kepada Quasindo untuk melakukan impor dan memasarkan beras itu. Dengan demikian, tidak betul telah terjadi pelanggaran atas larangan impor beras yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Anda yakin, komoditas ini tidak akan mengganggu atau merusak pasar beras dalam negeri?

Pemberian izin impor beras ini sebetulnya menjadi bukti kuat akan hal tersebut. Penggunaannya berbeda dari beras biasa yang kita konsumsi sehari-hari. Klasifikasi beras untuk membantu penyembuhan penyakit diabetes dan hipertensi ini sudah diketahui oleh Badan POM. Harganya pun cukup mahal, sekitar Rp 17.188 per kilogram, sehingga tidak akan mendistorsi pasar beras dalam negeri. Pengajuan importasinya pun sangat kecil dan tidak mengganggu suplai beras nasional. Selain itu, beras Taj Mahal memang tidak dapat diproduksi di Indonesia, sehingga ketersediaannya sangat bergantung pada impor.

Sempat pula dipertanyakan, mengapa beras tersebut beredar di pasaran. Padahal, dalam lampiran dokumen permintaan rekomendasi hanya terdapat surat permintaan beras dari lembaga masyarakat seperti klinik, rumah sakit dan toko obat.
Yang jelas dalam SK Menperindag tidak ada batasan tempat penjualan. Di Jawa Tengah, beras ini hanya beredar di rumah sakit dan klinik. Namun, khusus untuk Jakarta, beras ini juga dijual di supermarket seperti Hero dan Carrefour. Hal ini semata-mata agar konsumen mudah mendapatkannya.

****

Setelah sukses mengukuhkan diri sebagai importir, penggemar musik klasik akustik ini menjajaki usaha beras berlabel. Dari beberapa varietas beras yang diperkenalkan Deptan, ia tertarik dengan Pandan Wangi. “Saya pikir Pandan Wangi ini satu-satunya varietas unggulan di Indonesia. Namun, keberadaannya hampir punah,” katanya.

Maka, ia pun bergerak cepat dengan menggalang kemitraan dengan IPB dan Gapoktan Citra Sawargi. Kontrak jual beli antara perusahaannya dengan Gapoktan Citra Sawargi pun dilakukan. sistem kerja sama yang dilaksanakan adalah sistem kontrak harga, sehingga tidak ada fluktuasi harga. Pada tahap awal, kelompok tani itu diharuskan memasok beras jenis pandan wangi sebanyak 60 ton per bulan.”Kami harap, kerja sama ini akan menguntungkan kedua pihak,” kata Evi.

Sejak Juni 2007 lalu, ia mendistribusikan beras berlabel itu ke sejumlah supermarket dan hotel di daerah Jabodetabek. Xiang Mi, nama labelnya, yang berarti beras harum. Nama itu, tutur Evi, diambil karena pertimbangan market. Beras yang keaslian Pandan Wanginya dijamin Deptan, itu pun dipasarkan ke berbagai pasar tradisional hingga modern di tanah air. "Kami juga berencana akan mengekpornya ke Negara-negara di Asia, seperti Thailand, Vietnam, atau Cina," ucapnya dengan penuh optimis.

****

Seperti apa pola kemitraan yang Anda kembangkan?

Kita sistemnya kontrak setiap satu periode tanam, dengan sekali panen selama enam bulan. Kontrak harganya juga enam bulan. Kami mulai dari yang kecil, yang penting terus berkembang. Dari awalnya petani yang hanya 99 keluarga, bergerak mencapai 185 keluarga, sekarang 550 keluarga. Hasil tanamnya meningkat menjadi 20 ton. Dari lahan yang kecil, bisa meningkat biasanya lebih langgeng, daripada yang langsung besar dari awal, tapi pasarnya tidak jelas mau ke mana.

Apa kesan yang Anda dapatkan dari kemitraan ini?

Terus terang, setelah saya turun langsung ke sawah bersama petani, ternyata memang tidak mudah yang saya pikirkan sebelumnya dengan membeli langsung dari petani. Karena hubungannya tidak saja secara bisnis, tapi juga secara batin, spiritual, dan kekeluargaan. Setelah mengenal betul kehidupan petani yang susah, muncul simpati dari saya. Problem mereka kebanyakan disebabkan oleh tekanan dari tengkulak. Selain itu, mereka tidak tahu pasarnya untuk menjual. Makanya, harusnya Deptan juga membantu bagaimana cara memasarkan, supaya mereka tidak tertekan oleh tengkulak.

Kedua, yang jelas, kita tidak bisa menghindar dari perkembangan zaman. Era pasar bebas sudah dekat. Bayangkan, tidak hanya petani, kita pun harusnya khawatir. Kalau Asian Free Trade Area (AFTA) dimulai, seluruh produk asing boleh masuk dengan kualitas yang tidak bisa kita saingi dengan harga yang lebih murah. Sementara harga kita lebih mahal dari mereka dengan kualitas yang lebih rendah. Itu pasti akan menjadi masalah besar.

Apa betul ada semacam hambatan sewaktu kemitraan ini dilakukan?

Awalnya, kita ngumpul, sosialisasi sistem produksi, dan sebagainya. Tapi, itu saja tidak cukup. Ada yang membeli harga lebih mahal. Tapi jangan salah dimengerti, itu hanya pancingan dari para tengkulak yang jahat. Sekarang beli harga mahal, bulan depan sudah tidak mau beli lagi. Mereka hanya mau merusak suasana yang kami bangun.

Saya katakan pada para petani, silakan jika di antara Bapak-Bapak mau menjual dengan harga mahal. Tapi, ingat, kita ini harus memikirkan jangka panjang. Jangan sampai bulan ketiga atau empat mereka membeli dengan harga murah, akhirnya mereka mau merusak program yang kita jalankan ini. Jadi, kami melakukan komunikasi dan pendekatan secara kekeluargaan.

Apakah Anda juga melakukan pendekatan dari sisi manajemen?

Dari sisi pendekatan manajemen, staf akunting saya juga diturunkan suapaya membenahi sistem kerja mereka. Selama ini masalah mereka disitu. Mereka tidak melakukan pembukuan secara rapi. Yang tadinya menulis di atas daun saat negosiasi, sekarang sudah bisa di buku tulis.

Anda berharap kemitraan ini bersifat jangka panjang. Maksudnya?

Itu sebabnya, apa yang saya lakukan ini bisa berlaku jangka panjang. Kita jualan terus dengan adanya satu merek. Kita harus sadari, orang beli produk karena dia percaya pada merek. Orang sudah mulai percaya pada Quasindo. Produknya bagus, harganya kompetitif, didukung oleh Deptan dengan jaminan varietas dan kita kasih jaminan lagi uang kembali jika konsumen mendapatkan produk kami tidak berkualitas.

Tapi, kok mahal, ya?

Mahal atau murah itu bergantung pada pengaruh pasar sekarang ini, karena pemain beras kebanyakan mereka minta harga sesuai kehendak mereka. Kalau Pandan Wangi harganya Rp 5000, petani terpaksa menjual seharga itu dengan cara dicampur. Di pasaran, kita terbiasa menemukan Pandan Wangi dengan harga murah, dan terkejut melihat harga Xiang Mi yang mahal. Tapi, lambat laun dengan edukasi yang berjalan, konsumen akan memahami bahwa beras kalau betul-betul asli varietasnya, pasti jauh lebih mahal.

Lalu, bagaimana nasib produk ini di pasaran?

Di pasaran, kami juga bergerak pelan sambil mengenalkan produk ini. Orang masih pro dan kontra, masih trial and error, ya atau enggak. Tapi, kami terus mengenalkan beras ini secara baik.

Dari sistem produksi, apakah ada pola atau paradigma baru yang diadopsi?

Dari sistem produksi, kami dipantau oleh Deptan dan IPB. Jadi, ada tim audit, mereka mengaudit lahan, kelompok tani, jumlah petani, waktu tanam juga. Dari penangkarnya, dipilih bibit yang paling bagus. Sampai hasil akhirnya, kualitas proses juga lebih bagus. Lantas, dari produksi ini dikeluarkan bandrol, ada serinya di setiap packaging untuk mengantisipasi pemalsuan, pencampuran, dan tindakan merugikan lainnya. Quality control diterapkan dari setiap proses, mulai dari produksi hingga distribusi. Hasilnya sekarang sudah cukup bagus.

Kerja sama dengan Hero, bagaimana?

Kalau dengan Hero kami mengikuti sistem trading term. Jadi, kami harus memenuhi kondisi dagang discount term yang diberikan. Saya melihat sambil jalan, karena belum ada yang belum terlihat. Dari segi promosi, Hero menyerahkan ke kita. Yang kita harapkan dari Hero itu display dan penempatan yang lebih merata. Mereka tidak menerapkan sistem bagi hasil. Mereka langsung menghitung, dengan beberapa potongan.

Adakah kepuasan atau kebanggaan tersendiri yang Anda dapatkan melalui usaha ini?

Dengan adanya beras ini, terus terang saya senang dan bangga bisa mewakili dan membawa satu varietas unggulan di Indonesia di pasaran dalam dan luar negeri. Apalagi, produksinya sekarang 10 ton tiap bulan dan ada tren peningkatan. Pesanan dari berbagai daerah yang tidak pernah diduga sebelumnya terus terjadi, seperti Medan atau Makassar. Cuma problemnya di transport, beras kan mahal. Jadi biar sedikit beda, saya coba tekan keuntugan dikurangi, supaya harga merata.

Lalu, apa kontribusi nyata Anda dalam mendukung program ketahanan pangan?

Saya rasa pasti dengan sendirinya akan mendukung, dari sisi ketersediaan secara otomatis. Apalagi didukung dengan packaging atau merek. Dengan adanya beras berlabel ini saya harap rekan-rekan perhotelan, restoran, individu yang menginginkan beras berkualitas dan enak dapat mengkonsumsinya. Mulai dari sekarang kita harusnya juga bangga dengan produk beras berlabel unggulan ini.

Ada rencana meluncurkan varietas baru?

Ada satu packaging baru yang telah disiapkan. Cuma berasnya kita pilih beras sarinah, Garut. Karakternya panjang (IR), cuma lebih pulen. Soal nama, nanti tunggu tanggal mainnya, ha-ha-ha.

Selebrita

Nasionalisme Sepiring Nasi

Cathy Sharon

Kecintaan Cathy Sharon terhadap negerinya ternyata bisa diukur dari sepiring nasi. Pasalnya, artis dan bintang sinetron ini merasa jatuh cinta pada beras Indonesia. Saban waktu ketika ia harus “pulang kampung” ke negeri kelahirannya, Prancis, perempuan berusia 25 tahun ini tak lupa membawa bekal berupa beras Nusantara. “Entahlah, saya kok hanya suka dengan beras Indonesia,” ujarnya serius.

Cathy, sapaan kecil presenter dan aktris film ini, merasa bahwa beras Indonesia enak di lidah, karena butirannya yang kecil-kecil. Rasanya pun, lanjutnya, lebih khas ketimbang beras di luar negeri, apalagi dibandingkan dengan negara-negara di Eropa sana. Beras-beras di Eropa, khususnya di Prancis, terasa aneh di lidahnya karena butiran-butirannya besar.

Tak cuma saat ke Prancis saja, ke negara lain pun ketika ia diharuskan menginap lebih lama, sejumput beras tak lupa dia tenteng. Kalau bekal yang dibawa habis dalam perjalanan, ia tinggal meminta sang mama untuk mengirimkannya. “Ha-ha-ha. Daripada harus berpuasa,” kata penggemar olahraga kebugaran atau fitness ini, dengan tawa berderai.

“Maklum, dalam sehari, saya merasa ada yang kurang kalau tak menyantap nasi,” sahutnya menambahkan. Ia mengatakan, beras apa saja, sepanjang tumbuh di Tanah Pusaka, tak menjadi soal baginya. Presenter yang kini nyambi melawak di acara Extravaganza di sebuah stasiun tv swasta ini bukan tipikal yang bergantung pada jenis beras tertentu.

Lalu, bagaimana dengan diet? Berbeda dengan anggapan banyak selebriti lain dalam menjaga kesempurnaan raganya, Cathy merasa nasi tidak membuatnya gemuk, tetapi justru menyehatkan. “Buktinya, saya mengonsumsi beras tapi tidak gemuk-gemuk, kok,” kata perempuan bertinggi tubuh 170 sentimeter ini. Dengan mengatur pola makan yang baik dan seimbang, plus olahraga yang teratur, lanjutnya, kandungan kalori dalam nasi dapat menjelma menjadi konsumsi yang menyehatkan.

Dampaknya, Cathy menjelma menjadi perempuan yang lincah dan enerjik. Kelincahan itu tak cuma tampak ketika dia sedang bercuap-cuap di layar kaca, tetapi juga dalam bergerak saat menjalani pekerjaan sehari-harinya. Bisa saja kelincahan Cathy ada hubungannya dengan kesenangan dia mengonsumsi beras, sumber energi terbaik itu.

Saat ditanya, perempuan berkulit putih mulus ini tak lantas mengiyakan. Menurut dia, kunci kelincahan dan kesehatan sesungguhnya terletak pada cara seseorang memenuhi kebutuhan sang raga. Tubuh, demikian Cathy, memerlukan banyak asupan energi, protein, vitamin, mineral, dan zat penting lainnya. “Nah, persoalannya adalah bagaimana kita memenuhi semua itu, dari berbagai sumber makanan, secara sehat, berimbang, dan terukur, tidak berkelebihan,” sahutnya menjelaskan, seraya menegaskan, olahraga merupakan faktor penting yang tak boleh ditepikan.

Tidak hanya dalam beraktivitas, kegesitan bekas Video Jockey (VJ) MTV ini juga terlihat pada caranya merumuskan cita-cita, serta bagaimana dia mewujudkannya. Pasalnya, obsesinya memang tak tanggung-tanggung, menjadi selebriti sekaligus perempuan pengusaha yang handal, yang tak kalah oleh kaum lelaki.

Berkat kegigihannya, kini tangga menuju dunia usaha tersebut mulai ditapakinya. Pelan tapi pasti, Cathy mencoba membuka sejumlah usaha seperti salon kecantikan dan butik pakaian perempuan. “Ya, hitung-hitung buat mengasah kemampuan mengurus manajemen,” ujarnya merendah.

Tidak hanya dalam dunia hiburan maupun bisnis, ia pun cekatan dalam merespon sejumlah pertanyaan. Saat ditanya tentang kebijakan impor beras, siapa sangka, pemain film Cewek Penakluk ini termasuk perempuan yang memiliki keprihatinan terhadap penerapan kebijakan ini. Hanya saja, dia mengaku tidak tahu persis persoalan yang terjadi dan bagaimana sampai kebijakan impor itu terlaksana. “Saya hanya prihatin saja kalau orang mengatakan kita negeri penghasil beras terbanyak, tetapi kok justru mengimpor beras,” imbuhnya.

Ia menegaskan bahwa dirinya tidak mau terjebak dalam posisi menolak atau mendukung keputusan pemerintah dalam mengimpor beras. Menurutnya, kalau memang tujuan yang sebenarnya untuk menjaga stabilitas pangan dan memenuhi stok beras nasional yang mengalami kekurangan, untuk membantu petani, atau mengantisipasi terjadinya rawan pangan di Indonesia, Cathy akan mendukung.

Tetapi, lanjutnya, jika kebijakan tersebut justru hanya dilakukan untuk kepentingan perorangan atau sekelompok orang tertentu, tentu kebijakan ini harus dikaji ulang. “Saya, dan saya kira semua orang pun akan menentangnya,” tegasnya. Sebab, apabila hal tersebut yang terjadi, lanjutnya, yang rugi adalah lapisan masyarakat menengah ke bawah, khususnya para petani yang cuma menggatungkan hidupnya pada stabilitas harga beras. Betul juga.

DUS

Sajian Utama

SaMenuju Ketahanan Pangan Nasional

Dari Kebijakan Impor hingga Keanekaragaman Pangan

Produksi, distribusi, dan konsumsi. Tiga penyangga sekaligus masalah utama dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Namun, alih-alih meningkatkan produksi dalam negeri, pemerintah menutupi kebutuhan pangan dengan kebijakan impor beras. Sebaiknya Indonesia juga berkaca pada negara maju.

Revolusi Hijau yang diterapkan oleh Pemerintah Orde Baru ternyata memunculkan dampak negatif bagi keanekaragaman makanan pokok yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Dampak yang paling terasa adalah menempatkan beras sebagai makanan pokok bangsa Indonesia dan meminggirkan sagu, jagung, umbi, dan biji-bijian. Tak hanya itu, berbagai makanan ini dituding sebagai inferior food atau makanan masyarakat kelas bawah, bahkan terbelakang.

Akibatnya masyarakat Indonesia yang pada awalnya menjadikan sagu, jagung, umbi, umbi, dan biji-bijian sebagai makanan pokok utama, kini hampir semuanya beralih ke beras. Walhasil, tiada hari tanpa beras dalam kehidupan masyarakat. Jika berbicara masalah pangan, beras memonopoli topik pembicaraan. Bahkan, kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam masalah pangan juga berkutat seputar beras.

Hampir seluruh masyarakat Indonesia, tepatnya 96 persen, kini menjadikan beras sebagai primadona, dengan tingkat konsumsi rata-rata 130 kilogram per kapital setiap tahunnya. Angka ini dipastikan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, yang diprediksikan akan bertambah dua kali lipat dari jumlah sekarang padaa tahun 2035. Kondisi ini makin menempatkan beras pada peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia dipandang dari berbagai aspek, dari aspek ekonomi, tenaga kerja, lingkungan hidup, budaya, bahkan sampai aspek politik.

Oleh karena itu, masalah beras bukanlah hal yang sederhana, tetapi sangat sensitif, sehingga penanganannya harus dilakukan secara hati-hati, karena menyangkut hajat hidup orang banyak, yang setiap saat harus dipenuhi. Kesalahan dalam kebijakan perberasan, tidak hanya berdampak pada kondisi perberasan saja, tapi akan berdampak pada bidang-bidang lainnya.

Perberasan bukan lagi sekadar komoditas. Ia mewakili pangan, harga diri bangsa, sakral, dan menjadi pertaruhan politik kekuasaan. Beras mewakili kontestasi “kekuasaan”: konsumen dan produsen. Dari sisi konsumen, beras merupakan makanan pokok mayoritas warga. Dari sisi produsen, mayoritas petani Indonesia adalah petani padi, sebagian Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian juga dari padi. Bahkan, menurut prediksi banyak pihak, dari sekitar 17 persen PDB pertanian, porsi padi terbesar di antara komoditas lain.

IMPORTIR TERBESAR DUNIA: Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.

Pertanyaanya yang mengganjal, apakah kondisi tersebut sudah tercapai? Terlalu berlebihan dan mengada-ada, bila ada yang menjawab “sudah”. Menurut pemetaan yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan bersama World Food Pragramme di 165 kabupaten di Indonesia menunjukkan, terdapat 100 kabupaten di Indonesia yang masuk kategori rawan pangan. 30 kabupaten di antaranya masuk kategori sangat rawan pangan. Dalam catatan Kompas, daerah yang masuk rawan pangan kebanyakan berada di luar Pulau Jawa, terutama di wilayah Indonesia Timur, seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua. Perlu dicatat bahwa sebelum revolusi hijau digulirkan oleh pemerintah Orde Baru, makanan pokok utama daerah-daerah ini adalah sagu dan umbi-umbian.

Pemetaan itu tidaklah berlebihan karena daerah-daerah yang dimasukkan dalam kategori rawan dan sangat rawan pangan sering dilanda bencana kelaparan, seperti yang terjadi di Kabupaten Yakuhimo, Papua. Daerah-daerah yang masuk dalam kategori rawan dan sangat rawan pangan adalah daerah yang tidak memiliki lahan persawahan yang cukup untuk memenuhi bahan pangan yang bersumber dari beras, atau sama sekali tidak memiliki lahan persawahan. Kondisi ini semakin diperparah oleh letak daerah-daerah rawan pangan tersebut yang susah untuk dijangkau oleh sarana transportasi penyuplai bahan pangan.

Namun, kita juga tidak boleh memungkiri bahwa pada tahun 1984, Indonesia pernah mencapai prestasi fantastis dalam produksi perberasan dengan predikat “swasembada beras”. Prestasi ini diraih seiring dengan meningkatnya pemakaian pupuk dan pestisida, yang merupakan bagian terpenting dari program revolusi hijau. Namun, dari tahun 1990 meskipun pemakaian pupuk dan pestisida terus meningkat, produksi padi justru sebaliknya, mengalami penurunan dan terus menurun karena tidak ada upaya yang sungguh dari semua pihak untuk mencari jalan keluarnya, termasuk pemerintah itu sendiri. Kebijakan dan program yang digulirkan hanya sebatas konsep semata.

Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 dan diperparah oleh penurunan produksi beras akibat El-Nino telah menempatkan ketahanan pangan berada pada posisi yang sangat rawan. Hal ini disebabkan oleh krisis yang juga melanda banyak industri, angka pengangguran meningkat, daya beli masyarakat rendah, sementara harga beras justru melambung tinggi.

Selama ini ukuran ketahanan pangan versi pemerintah Indonesia selalu dilihat dari produksi padi dan stok nasional beras yang ada di Badan Urusan Logistik (Bulog). Apabila persediaan di Bulog kurang dari batas aman, yaitu satu juta ton beras, maka pemerintah langsung mengimpor beras dari sejumlah negara, seperti Thailand, Vietnam, atau China. Sampai disitu masalah rawan pangan dianggap selesai. Akibatnya, kebijakan impor yang terus berlangsung menempatkan Indonesia sebagai negara importir beras terbesar di dunia, dengan angka tertinggi yaitu sebesar 5,8 juta ton beras pada akhir 2006 lalu.

TIDAK STRATEGIS: Kebijakan mengantisipasi kerawanan pangan nasional dengan mengandalkan impor beras, apalagi dengan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi bukan hanya tidak strategis, tapi juga riskan. Menurut M. Husein Sawit, Peneliti Utama bidang Kebijakan Pertanian di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), kebijakan mempertahankan reserve-stock beras tetap harus dilakukan. Kebijakan ini juga ditempuh oleh banyak negara di Asia selaku produsen dan konsumen beras, baik negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan, maupun negara berkembang, seperti Filipina, Bangladesh, Malaysia, dan Sri Lanka.

Di samping itu, negara eksportir beras, terutama Vietnam, Thailand, dan India juga masih tetap mempertahankan kebijakan pembatasan ekspor, manakala produksi dan stok beras dalam negeri merosot tajam serta stabilitas harga terancam. Dengan alasan itulah, pasar beras dunia sering disebut sebagai pasar sisa (residual market)

Perdagangan beras dunia dari tahun ke tahun memang cenderung meningkat. Dalam periode 2000-2005, misalnya, jumlah beras yang diperdagangkan antara 24-28 juta ton, atau sekitar 7 persen dari total produksi. Bandingkan dengan tahun 1994 misalnya, hanya sekitar 15 juta ton. Artinya volume perdagangan beras dunia meningkat hampir dua kali lipat.

Namun, jumlah kebutuhan juga meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dunia. Selain itu, menurut M. Husein, apabila dibandingkan dengan persentase volume perdagangan pangan lainnya, beras menduduki posisi yang paling rendah. Sementara volume kedelai, gandum, dan jagung yang diperdagangkan di pasar dunia masing-masing mencapai 30%, 20%, dan 15%. Oleh karena itu, pasar beras dunia digolongkan tipis (thin market)

Atas alasan ini, sangat rasional bila negara-negara industri maju, seperti Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara Uni Eropa tetap mempertahankan produksi beras nasional masing-masing, meskipun tidak sebesar produksi negara-negara Asia lainnya. Bahkan Amerika Serikat termasuk dalam negara eksportir beras penting dunia, dengan kisaran 3-4 juta ton/tahun atau lebih dari separuh dari total produksi sekitar 7 juta ton/tahun. Hal ini setidaknya untuk memenuhi kebutuhan beras nasional mereka agar tidak terlalu tergantung kepada negara lain.

KEANEKARAGAMAN PANGAN: Pasar beras dunia, tergolong thin market (pasar tipis) dan sering juga disebut residual market (pasar sisa). Dari tahun ke tahun, pasar beras dunia memang mengalami peningkatan. Namun, bila dibandingkan dengan perdagangan serialia (pangan) dunia lainnya, beras menempati posisi terendah. Di sebut residual market, karena negara-negara eksportir beras, terutama Vietnam, Thailand, dan India tetap mempertahankan kebijakan pembatasan ekspor beras, manakala produksi dan stok beras dalam negeri merosot tajam serta stabilitas harga terancam.

Dengan tingkat kebutuhan pangan masyarakat Indonesia yang sangat tinggi terhadap beras, dan dipastikan akan terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk, sungguh riskan bila menempatkan impor beras digarda terdepan sebagai solusi ketahanan pangan. Selain itu, dengan membuka pintu impor seluas-luasnya, apalagi tanpa bea dan proteksi, hanya akan mengorbankan produksi (beras) petani itu sendiri bila berhadapan dengan produksi beras dunia yang kualitasnya di atas rata-rata beras Indonesia. Pasalnya, mayoritas petani padi Indonesia masih tetap bertahan dengan pola pertanian abad pertengahan.

Sebaliknya, menutup pintu impor beras serapat-rapatnya, menurut Husein, tidak kompetibel dengan tatanan perdagangan multilateral, regional, dan bilateral. Impor beras juga menyangkut kesanggupan Indonesia memenuhi kebutuhan beras itu sendiri dengan menempatkan petani-petani tradisional sebagai ujung tombak produksi. Dan, menutup impor beras yang pernah diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2004, ternyata juga tidak menjamin tidak adanya penyeludupan beras.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Husein membuktikan bahwa pada periode pelarangan impor, data impor beras tidak tercatat meningkat dari 41% menjadi 63%. Dalam pandangan Husein, pelarangan impor beras yang pernah diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2004, dikarenakan pemerintah berkeyakinan bahwa dengan mengisolasikan pasar beras akan mempercepat kemakmuran.

Seharusnya, pemerintah melihat inti persoalan dalam industri beras/padi nasional. Inti masalahnya sesungguhnya adalah bagaimana meningkatkan produktivitas dan efisiensi, serta mengurangi secara signifikan tingkat kehilangan hasil padi/beras, mendorong berkembangnya penggilingan padi modern, sehingga Indonesia mampu menghasilkan beras yang berkualitas tinggi dan peningkatan rendemen penggilingan.

Hal senada juga pernah dikemukan oleh Pantjar Simatupang, mantan Sekretaris Jenderal Badan Ketahanan Pangan, bahwa swasembada pangan semestinya dilakukan dengan peningkatan produksi. “Dengan produksi yang meningkat harga tidak perlu terlalu tinggi, petani untung dan semua untung. Kita ribut dengan kebijakan harga lupa produksi,” katanya.

Pantjar menambahkan, politik pangan yang berimbang bisa diwujudkan melalui peningkatan produksi yang hasilnya bisa dicapai dengan memajukan teknologi, tersedianya lahan dan air, serta infrastruktur yang memadai. “Tingkatkan produksi dengan kebijakan riil, bukan kebijakan harga dan subsidi” ungkapnya.

Meningkatkan produktivitas beras yang berkualitas adalah solusi ketahan pangan yang paling strategis bagi masa depan pangan bangsa ini. Namun, mewujudkan hal ini tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan kesungguhan dan tekad nyata yang luar biasa dari semua elemen bangsa untuk mewujudkan semua ini. Jika tidak, bukan tidak mungkin Indonesia akan terkoyak-koyak seperti Uni Sovieet akibat krisis pangan.

Agar Indonesia tidak bernasib serupa dengan Uni Soviet, perlu dilakukan peningkatan produksi beras dengan cara mengurangi ketergantungan masyarakat Indonesia pada beras. Sungguh beresiko apabila masyarakat Indonesia hanya mengandalkan beras saja sebagai makanan pokok. Seperti dikatakan oleh Ketua Dewan Penasehat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), saatnya pula bangsa ini memulai kembali kepada kultur dan budaya masing-masing.

Misalnya, untuk masyararakat Papua dan Indonesia Timur lainnya mulailah kembali menjadikan sagu, ubi, dan lainnya sebagai makanan pokok di samping beras. Begitu juga dengan masyarakat Madura dengan menjadikan jagung sebagai makanan pokok alternatif.

Lagi-lagi, program keanekaragaman pangan ini juga bukanlah pekerjaan yang mudah, karena berkaitan dengan pola dan kebiasaan masyarakat yang sudah mendarah daging. Kendati demikian, tetap ada ruang optimisme walaupun sebagian besar masyarakat masih berprinsip nasi adalah pangan utama yang paling baik. Keanekaragaman pangan ini mutlak dilakukan untuk menghindari ketergantungan yang sangat tinggi kepada beras.

MRS

Boks

Berkaca Pada Negeri Jiran

Subsidilah petani, bagaimanapun caranya! Pesan ini bukan sederet kata tanpa makna. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Husein Sawit dan timnya memperlihatkan bahwa hampir 80% pendapatan petani padi negara-negara kaya berasal dari dukungan pemerintah dengan mensubsidi petani mereka dengan berbagai cara, mulai dari jaminan harga, subsidi input, maupun berbagai bentuk subsidi lainnya. Di antara kebijakan yang terpenting adalah menutup pasar dengan berbagai cara.

Simak pengalaman Amerika Serikat dan Uni Eropa, dua negara maju yang peran ekonomi beras dalam ekonomi nasional amat kecil, namun tingkat proteksinya luar biasa besarnya. Pada musim panen 2006, petani padi Amerika Serikat menerima subsidi langsung sebesar US$ 79,9/ton. Bentuk subsidi lainnya yang diterima petani, seperti countercyclical payment, harga minimum, dan kredit pemasaran. Sepanjang tahun 2005-2006, besaran subsidi yang diberikan pada petani ditambah dengan harga musiman, dengan bantuan mencapai US$ 250/ton padi.

Uni Eropa memproduksi tidak lebih dari 3 juta ton padi, namun menutup pasar untuk melindungi industi padi/berasnya. Diterapkan pula kebijakan tarif kuota untuk padi/gabah dan periode waktu impor serta tarif eskalasi untuk beras. Tarif spesifik untuk padi/gabah ditetapkan dengan 3 kelompok berdasarkan jumlah impor. Pada volume impor kurang dari 186.013 ton, maka tingkat tarif sebesar €30/ton. Apabila impor antara 186.013-251.665 ton, maka tingkat tarif dinaikkan menjadi €42,5/ton. Apabila volume impor melebihi 251.665 ton, maka tariff ditetapkan tinggi yaitu €65/ton. Periode impor pun dibatasi hanya 6 bulan, yaitu Maret sampai dengan Agustus.

Kebijakan yang diterapkan Thailand tidak jauh berbeda. Sebagai negara eksportir utama beras dunia atau sekitar 7 juta ton/tahun, Negeri Gajah Putih telah merancang strategi baru untuk periode 2002-2006. Pemerintah Thailand menyediakan dana US$2 miliar untuk pembangunan, promorsi riset dan pengembangan, serta stabilisasi harga. Pemerintah menaikkan harga minimum (support price) dalam kerangka sekim pengadaan melalui pegadaian padi. Pada periode 2002-2003, karena harga beras jatuh, maka banyak petani yang menjual padinya pada Lembaga pegadaian padi, yang mencapai 5,6 juta ton. Petani tidak menebus padi yang sudah digadaikan pada pemerintah. Sejak tahun 2004, pemerintah Thailand menaikkan harga minimum padi/beras menjadi US$ 156/ton padi (5% broken) dan US$ 239/ton untuk beras berkulitas tinggi Jasmine (fragrant rice).

Bandingkan dengan subsidi, dukungan, dan perlindungan yang pernah diberikan Pemerintah Indonesia terhadap para petaninya yang sebagian besar merupakan petani gurem dengan cara bercocok tanam yang masih sangat tradisional. Bandingkan pula peran Bulog selaku lembaga milik pemerintah yang menangani masalah perberasan, yang tugas dan fungsinya berkisar pada masalah pengendalian harga, distribusi, dan pemasaran.

Meskipun Bulog terbilang sukses dalam menjalankan tugas dan fungsi yang diamanatkan oleh pemerintah, namun nasib maupun kesejahteran para petani tidak pernah mengalami peningkatan secara signifikan. Hal ini tercermin dari nilai tukar petani yang masih rendah akibat pengendalian harga beras konsumen yang ketat.

Malahan, menurut Bupati Jombang, Jawa Timur, Suyanto, selama ini petani padi seolah-olah selalu diposisikan sebagai pemberi subsidi kebutuhan pangan masyarakat. Pada kebijakan pertumbuhan ekonomi, selama ini pemerintah cenderung menempatkan produksi petani pada posisi penyangga laju inflasi, sehingga hampir ada asumsi baku bahwa untuk menekan tingginya inflasi, produk petani terutama beras selalu dijadikan tumbal dengan membuka lebar impor beras seluas-luasnya, tanpa bea dan proteksi. Dengan demikian, jangan berharap kualitas ketahanan pangan kita mengalami peningkatan. MRS

Resto

Resto Bernuansa Alam Pedesaan

Pendopo Kemang

Terkadang masakan modern ala Barat dan suasana metropolitan yang sesak dan super sibuk menimbulkan kejenuhan. Rasa jenuh itu pun seringkali melahirkan kerinduan akan santapan tradisional dengan suasana pedesaan beserta pemandangan persawahannya. Restoran ini, contohnya.

Untuk mengobati kerinduan, Anda tidak perlu mudik dengan menghabiskan waktu berhari-hari, apalagi jika Anda termasuk kalangan yang sangat sibuk. Cobalah berkunjung ke Pendopo Kemang, Jakarta. Suasana dan panorama yang disuguhkan diharapkan bisa mengobati semua kerinduan itu, atau paling tidak menguranginya barang sejenak.

Dari daftar menu yang ada, restoran ini menawarkan beragam santapan tradisonal khas Jawa Tengah yang bisa dinikmati. Mulai dari nasi kucing, nasi pecel beras merah, nasi langi, nasi ayam cobek, nasi liwet, nasi campur Bali, hingga nasi peda. Di antara menu-menu itu, nasi peda dan nasi campur Bali menjadi menu andalan yang digemari para pengunjung.

Nasi peda merupakan menu yang terbilang unik, karena beda dengan menu lainnya. Nasinya yang sudah diolah dengan ikan peda dibungkus dengan daun pisang. Lalu, bungkusannya diletakkan di atas daun pisang yang disangga dengan piring yang terbuat dari tanah liat. Penyajiannya pun khas, dengan dikelilingi oleh urap, ayam goreng, orak-arik tempe, dan rampeyek.

Sementara untuk nasi liwet khas Solo, tidak diletakkan di atas piring tanah liat, melainkan di atas piring bambu yang beralaskan daun pandan. Nasi putihnya dibumbuhi sayur pepaya dengan hiasan dua cabe rawit di atasnya. Suwiran ayam, kerupuk bawang, sambal merah, sambal bawang, sambal goreng kentang, tempe, telur, dan dua iris mentimun menjadi pelengkap hidangan ini.

Aroma dan cita rasa nasi kucing akan melambungkan ingatan Anda pada angkringan atau gerobak kaki lima di Yogyakarta atau Solo yang menjual nasi kucing. Penduduk setempat menyebutnya dengan ‘sego kucing”. Barangkali karena porsinya kurang lebih sebesar santapan yang diberikan untuk makanan kucing, ditambah lauk irisan ikan asin, dan ditutupi dengan sambal merah yang diulek kasar. Selanjutnya menu ini dihidangkan dalam daun pisang yang disimpulkan dengan lidi di bagian ujungnya dan diletakkan di atas piring berukuran tanggung yang terbuat dari tanah liat. Konon, piring tanah liat ini didatangkan khusus dari Bayat, Klaten, Jawa Tengah.

Menu serba sambal ini tak akan membuat rasa pedas yang berkelamaan, bila diakhiri dengan minuman yang juga khusus. Es kopyor atau es kopyor durian, sengaja dibuat tidak terlalu manis agar mampu mengobati rasa pedas. Anda juga dapat mencoba es campur, es cincau, es markisa, dan es kelapa muda yang serba tradisional.

Nuansa tradisional, tidak hanya hadir melalui makanan dan minuman, tapi juga melalui arsitektur bangunan, desain interior dan pemandangan tanaman padi yang ditata sedemikian rupa menciptakan aroma pedesaan, menambah nikmatnya santapan. Suasana pedesaan di pelosok Jawa Tengah semakin kental dengan keberadaan tiga bangunan utama yang berarsitektur njawani. Tak hanya atap berbentuk joglo dan teras yang khas, tapi juga penempatan ornament spesifik berbau kampong.

Sebuah becak dan kereta ondong, ada disekitar pelataran ruang utama. Kolam dengan bunga teratainya, menjadi pemanis antara dua pendopo utama. Satu bangunan berfungsi sebagai galeri benda-benda antik, khususnya batik tulis nusantara. Ikhwal bangku dan meja antik serta pajangan lukisan yang merambah hingga kamar kecil, ternyata memang tidak terlepas dari cita rasa sang pemilik Pendopo Kemang, Rio Sarwono, yang juga kolektor barang-barang antik.

Terletak di kawasan padat dan supersibuk di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, Pendopo Kemang menyuguhkan aura perkampungan yang asri. Di restoran seluas 4000 meter persegi ini, tak ada lagi suara deru knalpot yang bising dan klakson yang memekakkan telinga. Gantinya adalah bunyi krencengan bambu serta gemerisik ranting dedaunan mengisi udara. Atmosfer pedesaan ini makin lengkap dengan pemandangan tanaman padi di sudut pekarangan.

Di bagian dalam, desain interiornya pun tak kalah ndeso. Seperangkat bangku dan meja yang terbuat dari kayu, terlihat tampil apa adanya. Bahkan ada yang seperti tidak diserut rapi. Tapi, justru itulah yang menjadi daya tarik. Sebagian besar perangkat meja dan kursi ini usianya yang sudah tua, bahkan ada yang sampai seratus tahun. Oleh karena itu, berkunjung ke restoran ini tak ubahnya kita berada di perkampungan yang hening dan menyegarkan. BAM

Opini

Revitalisasi Mesin Penggilingan

Oleh: Hery Artono

Pada tahun 1984 Indonesia mencatat prestasi gemilang di bidang pertanian, yaitu swasembada pangan. Keberhasilan ini tidak lepas dari peran serta semua pihak, dari masyarakat petani, pemerintah, pelaku usaha, serta pihak lainnya yang terkait dengan pertanian. Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah sentuhan teknologi pra panen yang turut berperan menentukan keberhasilan Indonesia di bidang swasembada pangan. Di antaranya adalah teknologi pengolahan tanah, irigasi, dan teknologi pembibitan untuk menghasilkan bibit unggul. Selain itu, pemakaian pupuk yang berimbang dan penggunaan pestisida sesuai dengan takarannya.

Tapi, prestasi tersebut kini hanyalah sebuah romantisme masa lalu. Prestasi itu terus menurun. Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan hal itu. Pertama, kejenuhan tanah atau pemiskinan, di mana lahan persawahan di Pulau Jawa dan beberapa daerah lumbung pangan di luar Pulau Jawa yang mempunyai kandungan bahan organik (BO) kurang dari 1% sudah semakin luas. Dari tahun 1984-1999, luas lahan persawahan yang kandungan bahan organiknya kurang dari 1% telah mencapai 65%-80%. Kedua, masyarakat sebagai konsumen yang menjadikan beras sebagai sumber makanan pokok, pada umumnya menghendaki beras yang berkualitas.

Bila di masa lalu Indonesia mampu meraih prestasi yang sangat gemilang di bidang produksi pangan, maka pertanyaannya adalah mengapa sekarang tidak bisa? Untuk kebangkitan pertanian sekarang ini kita tidak usah malu-malu untuk mencontoh cara-cara yang telah dilakukan oleh petani-petani pendahulu, atau setidaknya mana cara lama yang masih relevan dan baik untuk kita contoh. Hal-hal lain adalah perbaikan atau pembuatan irigasi baru dan pembukaan lahan baru, pemakaian pupuk yang terukur dan berimbang, serta pemakaian pestisida yang ramah lingkungan.

Di atas semua itu, yang tidak kalah pentingnya adalah teknologi pasca panen, karena bagaimanapun keberhasilan dan kualitas swasembada pangan adalah perpaduan antara proses pra panen dan pasca panen. Teknologi pasca panen itu meliputi mesin pemotong padi (ripper), mesin perontok (thresser), mesin pengering (dryer), dan mesin Penggilingan Padi (PB)

Teknologi atau peralatan yang kita sebutkan di atas pada umumnya memang sudah tersedia, tapi mungkin sebagian sudah ketinggalan jaman, baik dari model maupun kapasitas produksinya. Dan, dari teknologi-teknologi di atas yang juga harus kita perhatikan adalah mesin penggilingan padi yang menjamin kualitas beras yang baik dan bergizi. Untuk kepentingan ini perlu dibuat strategi baru dalam penyusunan dan pengadaan mesin-mesin tersebut. Di antaranya adalah:

1. Di tingkat petani disediakan mesin dryer dan mesin pemecah kulit (husker), bagi penggilingan beras disediakan mesin pemutih (whiter) yang tentu saja tanpa pemakaian bahan kimia yang berbahaya, mesin pengkilap (polysher), dan mesin pemisah beras (grader).

2. Pada penggilingan beras disediakan mesin pemisah batu (destoner), mesin pemisah beras (grader), mesin pemilih warna (colour soter), serta mesin pemutih dan pengkilap beras (whitener and polysher)

Dua hal di atas menunjukkan proses penggilingan beras yang prosedural dan tertata rapi, di mana terlihat adanya pemerataan proses antara petani dan penggilingan beras, yaitu petani menyediakan bahan baku sampai proses awal, dan proses selanjutnya sampai proses akhir dilakukan oleh penggilingan beras. Inilah yang harus kita cita-citakan bersama, sebagai salah satu langkah menuju ketahanan pangan yang berkualitas, yakni dengan cara merevitalisasi mesin penggilingan.

Penulis adalah pengurus DPP PERPADI

Resonansi

Otak Versus Otot

Oleh: M. Nur Gaybita

Jauh sebelum tahun 1984, Indonesia sudah dikenal sebagai pengimpor beras yang cukup besar. Hampir 2,5 juta ton beras didatangkan dari negara-negara tetangga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras nasional. Kebutuhan terhadap konsumsi beras ini ternyata sebanding dengan kebiasaan penduduk Indonesia dalam mengkonsumsi beras yang cukup tinggi dibandingkan dengan beberapa negara di Asia.

Simak analisa data yang diterbitkan Badan Pangan Dunia, Bangkok, pada 1992 lalu. Pola konsumsi kalori dari beras yang dimiliki setiap masyarakat Indonesia mencapai 58% hari/ kapita. Angka ini menempatkan Indonesia pada posisi keempat di bawah Burma, Bangladesh, dan Vietnam. Bandingkan dengan Malaysia dan Jepang dengan pola konsumsi kalori masing-masing sekitar 29% dan 24% hari/ kapita.

Pada tahun 1991, pola konsumsi beras di Indonesia mencapai 1.447 kalori/ kapita/ hari. Jika dibandingkan dengan Jepang, kondisi Indonesia pada tahun 1991 ini hampir sama besar dengan negara Jepang pada tahun 1960, sekitar 1.100 kalori/ kapita/ hari. Dengan kata lain, apa yang diraih Indonesia saat itu pada dasarnya merupakan capaian Jepang jauh pada periode sebelumnya.

Dalam kurun waktu selama kurang lebih 30 tahun, Jepang berhasil melakukan perubahan pola konsumsi rakyatnya. Hasilnya, pada tahun 1991 konsumsi kalori dari beras di Jepang turun drastis menjadi 680 kalori/ kapita/ hari. Tidak mengherankan apabila angka ini menempatkan konsumsi masyarakat Jepang terhadap kalori dari beras merupakan pola yang paling ideal di dunia.

Saat itu, patokan menu yang paling ideal di dunia adalah menu-menu yang dikonsumsi rakyat Jepang. The Japan Economic Education Center Foundation (JEECF) pada tahun 1993 menyebutkan, kalori yang digunakan penduduk Jepang sebesar 2.612 kalori dengan komposisi kalori beragam bahan makanan, mulai dari sayur, buah dan biji-bijian, minyak dan lemak, gula, ikan dan telur, susu, gandum/ jagung, serta beras.

Pola konsumsi ini ternyata berdampak luas terhadap pola budi daya pertanian, baik terhadap padi, palawija, hortikultura maupun ternak, ikan, dan lainnya. Tidak hanya itu, pola ini berdampak positif terhadap kualitas kehidupan, pendidikan, kemampuan berpikir, kualitas sumber daya manusia, serta gaya hidup sehat masyarakat Jepang.

Lalu, apa makna data dan fakta ini bagi kita? Ada korelasi antara kebiasaan mengonsumsi kalori dari beras yang cukup besar dengan tingkat kualitas hidup kita. Pola konsumsi kalori yang cukup besar ini menjawab persoalan mengapa kita lebih dikenal sebagai pengekspor tenaga kuli daripada profesional atau pemikir.

Untuk meningkatkan kualitas kesehatan, kemampuan berpikir cerdas dan kreatif, sumber daya manusia yang mumpuni, serta kualitas hidup yang lebih baik, mau tidak mau kita harus mulai membiasakan diri untuk tidak mengonsumsi beras dengan cara berlebihan dan melakukan diversifikasi dalam mengonsumsi kalori.

Diversifikasi memungkinkan kita tidak lagi menggantungkan kebutuhan kalori pada beras semata. Konsumsi protein, lemak murni, dan karbohidrat yang seimbang dapat dijadikan menu ideal. Jika tidak, pola dan kebiasaan ini hanya akan melahirkan sumber daya manusia yang hanya mengandalkan otot daripada otak.

Nusantara

Lumbung Padi di Provinsi Jambi

Kabupaten Kerinci

Tidak hanya dikenal dengan potensi wisatanya yang mempesona, Kerinci juga menjadi sentra produksi pertanian di Jambi. Daerah berhawa sejuk ini pun dikenal sebagai penghasil padi terbesar di Jambi, dan salah satu produsen kayu manis terbesar di dunia.

Kabupaten Kerinci merupakan satu dari 10 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jambi. Berada di antara 10 40’ Lintang Selatan sampai dengan 20 26’ Lintang Selatan dan di antara 1010 08’ Bujur Timur dengan 1010 50’ Bujur Timur, Kerinci memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata sekitar 220 C. Populasi penduduknya, menurut sensus tahun 2006, sebanyak 311.354 jiwa, terdiri dari 154.227 laki-laki dan perempuan sebanyak 157.127. Oleh karena itu, Kerinci merupakan Kabupaten dengan penduduk terbesar kedua di Propinsi Jambi setelah Kota Jambi.

Kabupaten yang berada paling Barat dari ibu kota Provinsi Jambi ini, merupakan daratan tinggi, berada di antara 500 meter sampai dengan 1.500 meter dari permukaan laut, dengan total wilayah seluas 420.000 km². Wilayahnya terdiri dari lahan hunian dan budi daya seluas 205.000 hektar dan 215.000 hektar atau 50 persen lebih terdiri hutan lindung, bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Taman ini dikenal sebagai surga bagi keaneka ragaman hayati, sekaligus berfungsi sebagai paru-paru dunia.

Saat ini Kabupaten Kerinci terdiri dari 15 Kecamatan, yaitu Kecamatan Batang Merangin, Kecamatan Gunung Raya, Kecamatan Danau Kerinci, Kecamatan Keliling Danau, Kecamatan Sitinjau Laut, Kecamatan Tanah Kampung, Kecamatan Kumun Debai, Kecamatan Sungai Penuh, Kecamatan Air Hangat, Kecamatan Air Hangat Timur, Kecamatan Depati Tujuh, Kecamatan Siulak, Kecamatan Gunung Kerinci, Kecamatan Kayu Aro, dan Kecamatan Gunung Tujuh. Lebih kurang 300 desa tersebar di sana. Uniknya, hampir setiap desa memiliki ciri khas logat bahasa tersendiri yang berbeda antara satu desa dengan desa lainnya, meskipun desa itu sangat berdekatan.

Kabupaten yang dikenal juga dengan sebutan Sakti Alam Kerinci ini, secara administratif di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatra Barat. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Merangin, Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bungo, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Muko-muko, Provinsi Bengkulu.

Daerah yang berhawa sejuk dan terletak di sepanjang bukit barisan ini juga terkenal dengan pesona alam yang unik dan memukau, di antaranya adalah Gunung Kerinci. Gunung yang puncaknya berada pada ketinggian 3.805 meter di atas permukaan laut (dpl), ini merupakan gunung berapi aktif tertinggi di Indonesia. Sementara itu, di kaki Gunung Kerinci terhampar perkebunan teh yang luas menghijau milik PTPN VI Kayu Aro. Pesona alam lainnya adalah Bukit Khayangan, Danau Belibis, Danau Lingkat, Danau Kerinci, sumber air panas Semurup, hingga Air Terjun Telun Berasap.

Di antara potensi wisata yang ada, Danau Gunung Tujuh dikenal memiliki daya tarik yang memukau. Berada di ketinggian 1.950 dari permukaan laut, Gunung Tujuh merupakan danau tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Danau yang oleh sebagian warga sekitar disebut juga dengan nama “Danau Dewa” ini memiliki luas sekitar 12 kilometer persegi, dengan kedalaman maksimal 40 meter, dikelilingi oleh gunung vulkanik yang memiliki tujuh puncak, dan puncak tertingi adalah 2.732 meter dpl.

Tak hanya itu, Danau Gunung Tujuh merupakan danau kaldera yang bukan saja memiliki keindahan dan geomorfology yang luar biasa. Beberapa kalangan meyakini danau ini sebagai “radiator” yang menjadi pendingin Gunung Kerinci, karena letaknya yang berdekatan.

Setiap orang memang terkagum-kagum dengan pesona alam Kerinci yang memukau. Amien Rais, mantan Ketua MPR RI, ketika berkunjung ke kabupaten ini pernah berucap, “Jangan mati sebelum ke Kerinci.” Ditambah lagi dengan ritual adat dan kesenian khas daerah ini seperti sike rebana, tari rangguk, dan yang paling populer saat ini adalah tari rentak kudo yang merupakan tarian massal yang selalu hadir dalam berbagai perayaan masyarakat setempat, menambah pesona daerah ini. Sehingga penyair-penyair setempat sering menyebutkan Kabupaten Kerinci dengan sebutan “Sepenggal Tanah Surga yang dititipkan di bumi”.

Selain itu Alam Kabupaten Kerinci juga menyimpan potensi lain, misalnya potensi galian andesit yang terdapat di desa Sanggaran Agung Kecamatan Danau Kerinci, Tj. Batu, Kaliangga, dan Pulau Pandan Kecamatan Batang Merangin. Ada juga emas yang terdapat di Sei Kumun Udik, Bukit Kayangan, Sei Indra Pura, Sei Betung Mudik, Siulak, Sei Jambu. Selain itu, kwarsa juga terdapat di Simpang Tutup, Siulak Deras, dan daerah lainnya.

Di atas semua itu, ditinjau dari kesuburan tanah dan luas lahan, Kabupaten Kerinci dikenal sebagai daerah pertanian yang sangat potensial, dengan tanaman primadona yaitu, Kayu Manis (Cassiavera) untuk bidang perkebunan dan padi (Oriza Sativa) untuk tanaman pangan. Meskipun merupakan daratan tinggi yang terletak di sepanjang bukit barisan, namun Kabupaten yang populer dengan beras Payo ini merupakan lumbung padi Provinsi Jambi. Di kaki bukit terhampar lahan persawahan, yang saat ini lebih kurang seluas 30.601 hektar. Pada tahun 2005 Kabupaten Kerinci pernah memperoleh penghargaan di bidang ketahanan pangan dari Presiden Republik Indonesia.

Tabel Luas Lahan Pertanian (Lahan basah dan kering)

Jenis Tanaman

Luas Tanam

Luas Panen

Padi Sawah

30.601

29.967

Padi Ladang

53

63

Jagung

2.725

2.606

Ubi Kayu

303

279

Ubi Jalar

1.949

1.881

Kacang Tanah

342

307

Kedele

29

27

Kacang Hijau

25

29

Pada tahun 2007, untuk terus meningkatkan produksi padi, Pemerintah Kabupaten Kerinci mengembangkan empat jenis padi verietas unggul, yaitu, varietas Konawe, Pandan Wangi, IR46, dan verietas baru Cisantana. Keistimewaan keempat bibit verietas unggul tersebut, di antaranya tahan terhadap berbagai macam penyakit dan usia panennya lebih cepat dibandingkan dengan verietas padi yang dikembangkan selama ini di Kabupaten Kerinci.

Namun, laju pertumbuhan penduduk yang terus bertambah, juga mengakibatkan derasnya arus alih fungsi lahan sawah potensial menjadi lahan pemukiman atau perumahan, pasar, perkantoran, dan sebagainya. Setiap tahunnya diperkirakan 2,0 – 2,5 persen (343 -428 hektar) lahan persawahan yang dialihfungsikan. Fenomena ini telah berlangsung sejak 30 tahun yang lalu dan akan terus berlangsung, karena tidak ada lahan alternatif yang bisa dijadikan kawasan pengembangan penduduk, kecuali sawah. Lahan lain yang kosong hanyalah perbukitan.

Banjir yang hampir setiap tahunnya datang, selalu menyisakan kepahitan mendalam bagi masyarakat, terutama di Kecamatan Hamparan Rawang Kecamatan Sitinjau Laut, dan Kecamatan Tanah Kampung. Sawah yang sudah ditanami bahkan ada yang siap panen seringkali rusak akibat banjir. Hal ini jika tidak segera dicarikan solusi, maka pada saatnya nanti bisa dipastikan di “Sepenggal Tanah Surga ini” akan berubah menjadi “Neraka Kelaparan”. Teori paling sederhananya mengatakan, karena alasan perut orang mencuri, merampas, bahkan membunuh. JAM

Mohd. Rahman:

“Fungsikan Lahan-lahan Alternatif!”

Diperkirakan, sekitar akhir tahun 2008, salah satu daerah penghasil Cassiavera (kayu manis) terbesar di dunia ini akan melaksanakan pemeilihan bupati secara langsung untuk pertama kalinya. Meskipun terbilang agak lama, namun perbincangan tentang siapa yang lebih pantas menggantikan H. Fauzi Siin (Bupati Kerinci sekarang) untuk memimpin Kabupaten Kerinci pada periode selanjutnya, telah menggema ke permukaan sejak awal tahun 2006, terutama di kalangan aktivis muda, politisi, tokoh masyarakat, dan media setempat.

Nama-nama bakal calon Bupati Kerinci yang saat ini tengah ramai diperbincangkan dan selalu menghiasi media setempat, di antaranya adalah H. Hasani Hamid (Wakil Bupati Kerinci 2004-2008), Ir. Zubir Muchtar (Sekretaris Daerah Kerinci 2004-2008), Ferry Siswadi (Wakil Ketua DPRD Kerinci 2004-2009), dan Adirozal (Saat ini menjabat sebagai Wakil Walikota Padang Panjang, Sumatra Barat). Oleh berbagai kalangan setempat, pemilihan bupati yang akan dilangsungkan pada akhir tahun 2008 itu diramalkan akan berlangsung ketat, karena nama-nama tersebut di atas adalah putra-putra terbaik daerah Kerinci saat ini.

Dan, pertarungan itu diperkirakan akan semakin ketat lagi dengan munculnya nama putra terbaik Kerinci lainya, Ir. Mohammad Rahman, mantan Ketua Badan Penilitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Jambi, yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Dinas/Badan di tujuh instansi pada Pemerintah Daerah Kerinci. Selain itu, ayah dari satu orang putra dan satu putri ini jauh dari sifat arogan dan dikenal sangat dekat dengan berbagai kalangan, terutama dengan kalangan akar rumput (grass root). Lebih-lebih, ketika masih menjabat sebagai salah satu orang penting di Pemerintah Daerah Kerinci relatif bersih dari tindakan korupsi, juga tidak memiliki musuh politik. Inilah yang membuat ia lebih diperhitungkan ketimbang calon-calon lainnya.

Bertempat di kediamannya di Desa Penawar Kecamatan Sitinjau Laut, Kabupaten Kerinci, Jamidi, kontributor Majalah PADI untuk Provinsi Jambi berhasil mewancara mantan birokrat kawakan yang sarat dengan pengalaman ini, terkait keinginnya untuk maju sebagai calon Bupati Kerinci pada pemilihan Bupati Kerinci pada akhir tahun 2008 nanti. Bagaimana konsep pria kharismatik, enerjik, dan murah senyum ini untuk memajukan Kabupaten Kerinci khususnya di bidang pertanian dan pangan, jika kelak terpilih sebagai Bupati Kerinci untuk priode selanjutnya? Berikut petikannya

Program apa saja yang Anda lakukan selama menjabat sebagai Kepala Balitbangda Prov. Jambi yang menyangkut kepentingan orang banyak?

Program utama yang saya lakukan selama menjabat sebagai Kepala Balitbangda pada intinya ada beberapa program penelitian yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yaitu pengembangan karet satu juta hektar yang merupakan realisasi dari program penelitian. Yang kami lakukan tentang perilaku petani karet yang tindak lanjutnya berupa kerjasama pendirian beberapa pabrik bahan baku ban yang bekerjasama dengan PT Good Year di wilayah Sumatra
Bagian Selatan (Sumbagsel).

Selain itu, saya mengembangkan sawit menjadi produk olahan dalam bentuk CPO dan ditndaklanjuti pula dengan pengembangan energi alternatif biodiesel. Yang perlu diingat juga, kami juga melakukan penelitian-penelitian mengenai Teknologi Tepat Guna untuk masyarakat kelas bawah.

Lalu, apa yang mendorong Anda untuk maju menjadi calon Bupati Kerinci?

Berdasarkan pengalaman selama menjadi pimpinan di 7 (tujuh) dinas di kabupaten Kerinci dan Kepala Balitbangda Prov. Jambi, saya merasa terpanggil untuk berbagi pengalaman dalam rangka membangun Kerinci. Saya bermaksud merubah tatanan sosial ekonomi dan budaya masyarakat Kerinci ke depan, yang didasari kondisi yang ada sekarang.

Apa visi, misi, dan konsep Anda dalam mengembangkan pertanian di Kerinci?

Visi ke depan adalah menjadikan Kerinci sebagai kawasan yang terpadu dan mandiri dengan titik berat pelaksanaan program kerja adalah menjadikan Kerinci sebagai sentra produk-produk pertanian dan ekonomi lainnya.

Bagaimana cara mewujudkannya, dan apa yang menjadi prioritas program kerja Anda nantinya?

Untuk mewujudkan hal tersebut perlu diprioritaskan hal-hal, seperti pembangunan infrastruktur yang mendukung pemasaran hasil-hasil pertanian, memperkecil kemiskinan yang diakibatkan pertanian tradsional dan memfungsikan kembali balai latihan ke arah peningkatan sektor pertanian, serta mendudukkan kembali lembaga-lemabaga swadaya masyarakat ke dalam proporsi yang sebenarnya.

Saya akan terus mengupayakan pemahaman kesatuan adat kedalam sinergitas pemerintahan. Selain itu, komoditas unggulan Kabupaten Kerinci sampai sekarang di samping tanaman pangan adalah kayu manis. Untuk itu, ke depan akan diupayakan agar produk yang dipasarkan berupa produk olahan, seperti bubuk maupun minyak atsiri dan sirup, bukan lagi berupa bahan baku semata-mata seperti kondisi saat ini.

Khusus untuk persawahan, apa visi, misi dan konsep yang Anda tawarkan?

Saat ini persawahan di Kerinci menggunakan pola intensifikasi yang sering menimbulkan ketergantungan terhadap sarana produksi, seperti pupuk dan obat-obatan. Ke depan ekstensifikasi masih bisa dilakukan di Kabupaten Kerinci terutama di daerah Pelompek Kyu Aro dan Renah Pemetik.

Apa sajakah kendala dan hambatan untuk mewujudkan semua hal tersebut? Dan, bagaimana jalan keluarnya?

Sejauh ini tidak satu pun Balai Penyuluh Pertanian yang memerankan dirinya sebagai demplot (lahan percobaan) yang layak dicontoh oleh masyarakat. Untuk itu, perlu diberikan peran yang lebih besar kepada para penyuluh untuk menghasilkan bibit yang unggul sehingga hasilnya menjadi lebih optimal. Di samping itu, tenaga-tenaga penyuluh harus dikembalikan pada satu institusi yang bertanggung jawab (satu atap) sehingga jaminan kehidupan mereka jelas dan memotivasi mereka untuk lebih baik.

Jaringan kerja yang semestinya sudah berjalan ternyata belum berfungsi sama sekali, akibat the wrong man on the wrong place. Manajemen produksi dan pemasaran di sektor pertanian seharusnya merupakan kesatuan antara petani, fasilitator, pemerintah, serta pengusaha yang membentuk suatu interlinkage dalam mengelola sumberdaya pertanian.

Jumlah penduduk Kerinci terus bertambah. Namun, lahan persawahan semakin lama semakin menyempit oleh pembangunan rumah dan sarana-sarana lainnya. Bagaimana solusi Anda untuk masalah ini?

Untuk mengatasi masalah ini, jika saya dipercaya oleh masyarakat untuk memimpin Kabupaten Kerinci pada periode selanjutnya, saya akan membuka dan memfungsikan lahan-lahan alternatif. Sebab, di beberapa tempat di Kabupaten Kerinci terdapat lahan yang cukup luas dan sangat potensial untuk dijadikan sebagai lahan persawahan, yang sampai saat ini belum tergarap.

Misalnya, di Desa Pelompek, Kecamatan Gunung Tujuh, ada lebih kurang seluas 10.000-20.000 hektar, di Renah Pemetik Kecamatan Air Hangat Timur lebih kurang seluas 10.000 hektar, dan di Barung Pulau Kecamatan Batang Merangin lebih kurang 3000 hektar. Artinya, lebih luas dari lahan persawahan yang ada di Kabupaten Kerinci saat ini. Jika ini diwujudkan dan dikelola dengan baik dan sungguh-sungguh, maka akan memberikan keuntungan yang sangat signifikan, terutama bagi masyarakat dan pemerintah. JAM

Boks 2

Riwayat hidup Mohd. Rahman

Nama : Mohd. Rahman

Tempat/tanggal lahir: Kerinci, 3 Agustus 1951

Keluarga:

Istri : Hj. Siti Hajir

Anak : Yaudil Hery, S.Tp, M.T. dan Asti Harkeni, S.Si, M.Si.

Cucu : 1. Zalfa Akhira Syahrendra

2. Rajwa Syahrendra

3. Rafi Ramadhan Hudsi

4. Azizah Khairunniswah Hudsi

Riwayat Pendidikan:

1. Universitas Muhammadiyah, Bengkulu

2. Universitas Surapati, Jakarta

Karier:

  1. Kepala Statistik Kabupaten Kerinci 1993-1996
  2. Asisten Pembangunan Pemda Kerinci 1996-1998
  3. Kadis Perhubungan Pemda Kerinci 1998-1999
  4. Ketua Bappeda Kabupaten Kerinci 1999-2000
  5. Kadis Pendapatan Daerah Kabutapen Kerinci 2000-2002
  6. Kepala Badan Pengawas PDAM Tirta Sakti 2001-2003
  7. Kadis Perindag Kabupaten Kerinci 2002-2004
  8. Kadis Koperasi Kabupaten Kerinci 2004
  9. Kabalitbangda Provinsi Jambi 2004-2007

Prestasi:

  1. Satya Lencana Sepuluh Tahun Kesetiaan kepada Negara tahun 2000
  2. Satya Lencana Dua Puluh Tahun Kesetiaan kepada Negara 2002