Nasib Petani
Oleh: A.M. Fatwa
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional tempo hari seharusnya dijadikan momentum kebangkitan bangsa, khususnya petani yang merupakan penghuni mayoritas negeri ini. Sudah terlalu lama kita tidak lagi mendengar kisah sukses kaum tani kita. Tidak ada lagi suasana riang “Pesta Panen” yang dipancarkan melalui kesenian setiap kali panen berhasil. Suasana itu telah berganti dengan angka statistik penduduk miskin yang semakin mengerikan. Kini, setiap kali panen, yang tampak bukanlah wajah sumringah kaum tani, melainkan barisan wajah murung yang semakin panjang, seiring dengan bertambahnya jumlah petani yang miskin.
Proses pemiskinan petani yang sudah berlangsung lama itu, bahkan telah mendatangkan ketakutan baru berupa lumpuhnya kreativitas petani. Proses kreatif yang lumpuh diekspresikan melalui kesenian tradisi yang mandeg. Hal ini juga berarti terancamnya salah satu kekayaan bangsa, yang sedari dulu selalu dikagumi dan mengundang penghormatan dalam pergaulan antar bangsa yang berbudaya.
Sudah lama kita mengetahui, bahwa carut marut kehidupan petani kita saat ini, bermula dari sikap congkak pengambil keputusan, yang memamah-biak semboyan “Revolusi Hijau” dan mengesampingkan kearifan lokal (petani). Kearifan petani dalam membuat pupuk organik, dibunuh dengan pemaksaan pemakaian pupuk kimia (an organik). Kearifan petani dalam penangkaran benih, dihajar dengan pemaksaan pemakaian “bibit unggul” bersertifikat (yang tentu saja sudah dipatenkan). Kearifan petani dalam mengendalikan hama penyakit tanaman, diganti dengan anjuran penggunaan pestisida untuk membasmi hama.
Sungguh tidak adil melihat petani menanggung derita yang berhulu dari pemaksaan kebijakan pemerintah yang keliru. Meskipun sekarang pemerintahan sudah berganti, tapi pengabaian (bahkan penghinaan) pemerintah terhadap petani masih saja berlanjut. Pemerintah membiarkan saja petani negeri ini menjadi bulan-bulanan pengusaha dalam memenuhi ketergantungannya terhadap sarana produksi pertanian (saprotan) pabrikan. Pemerintah juga selalu diserang penyakit lupa dan tuli untuk menggunakan “instrumen negara” setiap kali petani panen, sehingga harus melepas hasil panennya dengan merugi.
Memang, penggunaan saprotan buatan pabrik juga telah berhasil meningkatkan produksi pertanian. Tetapi, dalam tarikan napas yang sama, kita juga harus mengakui bahwa peningkatan produksi itu tidak serta merta pendapatan petani meningkat. Kehancuran kearifan lokal, kerusakan lahan, dan ketergantungan terhadap saprotan secara terus menerus menggerus keuntungan yang diperoleh petani dari peningkatan produksi.
Kita merenungkan kembali bagaimana kita akan memulihkan kearifan yang dulu dimiliki petani kita. Bagaimana kita harus mempertanggungjawabkan penggunaan pertisida yang ternyata menghambat kecerdasan (balita), dan mempersingkat usia harapan hidup kaum ibu. Bagaimana pula kita bertanggung jawab terhadap sejarah, sebagai generasi yang telah menghilangkan biota predator pengendali hama, dan pemusnahan varietas padi lokal.
Kebijakan yang berbasis pada potensi lokal dan kearifan lokal akan secara langsung memperbaiki kesejahteraan rakyat. Petani seharusnya juga mendapatkan fasilitas yang “mayoritas” dari instrumen pemerintah. Tidak ada salahnya bila peningkatan kesejahteraan rakyat berbasis pada pertanian. Kebijakan yang tepat di sektor pertanian, akan membuat sektor ini menjadi atraktif untuk menyerap tenaga kerja.
Kita sangat merindukan pemimpin yang berani “berkelahi” di kabinet maupun di DPR untuk memperjuangkan nasib petani. Pemimpin yang berani melawan kebijakan yang jelas-jelas merugikan dan melecehkan petani. Sebab, salah satu hambatan petani dalam meningkatan produksi adalah minimnya lahan pertanian yang memiliki pengairan teknis. Lalu, mengapa hal ini tetap diabaikan dan lebih tertarik untuk membagikan BLT yang karitatif dan menghina itu?
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mampu menghentikan proses pemiskinan petani dan pemutusan rantai ketergantungan petani terhadap saprotan an organik. Teknologi yang sejalan dengan kearifan lokal untuk memulihkan lahan secara organik, pembuatan pupuk dan pertisida organik, dan “pemulihan” varietas lokal juga sudah tersedia. Dilihat dari sisi ini, kekokohan organisasi petani sangat menentukan keberhasilan perjuangan petani, karena yang direspon bukan hanya soal iptek dan pasar bebas, tetapi juga infiltrasi budaya. Karena itu, kebangkitan nasional harus juga dimaknai sebagai kebangkitan semangat dan pikiran semua pihak untuk secara nyata memperjuangkan peningkatan kesejahteraan petani.
*) Penulis adalah Wakil Ketua MPR RI
Keterangan foto: A.M. Fatwa dalam acara Panen Raya proyek PPM Pimpunan Pusat Muhammadiyah, di Bungaya, Gowa, Sulawesi Selatan, 18 Mei 2008.
Oleh: A.M. Fatwa
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional tempo hari seharusnya dijadikan momentum kebangkitan bangsa, khususnya petani yang merupakan penghuni mayoritas negeri ini. Sudah terlalu lama kita tidak lagi mendengar kisah sukses kaum tani kita. Tidak ada lagi suasana riang “Pesta Panen” yang dipancarkan melalui kesenian setiap kali panen berhasil. Suasana itu telah berganti dengan angka statistik penduduk miskin yang semakin mengerikan. Kini, setiap kali panen, yang tampak bukanlah wajah sumringah kaum tani, melainkan barisan wajah murung yang semakin panjang, seiring dengan bertambahnya jumlah petani yang miskin.
Proses pemiskinan petani yang sudah berlangsung lama itu, bahkan telah mendatangkan ketakutan baru berupa lumpuhnya kreativitas petani. Proses kreatif yang lumpuh diekspresikan melalui kesenian tradisi yang mandeg. Hal ini juga berarti terancamnya salah satu kekayaan bangsa, yang sedari dulu selalu dikagumi dan mengundang penghormatan dalam pergaulan antar bangsa yang berbudaya.
Sudah lama kita mengetahui, bahwa carut marut kehidupan petani kita saat ini, bermula dari sikap congkak pengambil keputusan, yang memamah-biak semboyan “Revolusi Hijau” dan mengesampingkan kearifan lokal (petani). Kearifan petani dalam membuat pupuk organik, dibunuh dengan pemaksaan pemakaian pupuk kimia (an organik). Kearifan petani dalam penangkaran benih, dihajar dengan pemaksaan pemakaian “bibit unggul” bersertifikat (yang tentu saja sudah dipatenkan). Kearifan petani dalam mengendalikan hama penyakit tanaman, diganti dengan anjuran penggunaan pestisida untuk membasmi hama.
Sungguh tidak adil melihat petani menanggung derita yang berhulu dari pemaksaan kebijakan pemerintah yang keliru. Meskipun sekarang pemerintahan sudah berganti, tapi pengabaian (bahkan penghinaan) pemerintah terhadap petani masih saja berlanjut. Pemerintah membiarkan saja petani negeri ini menjadi bulan-bulanan pengusaha dalam memenuhi ketergantungannya terhadap sarana produksi pertanian (saprotan) pabrikan. Pemerintah juga selalu diserang penyakit lupa dan tuli untuk menggunakan “instrumen negara” setiap kali petani panen, sehingga harus melepas hasil panennya dengan merugi.
Memang, penggunaan saprotan buatan pabrik juga telah berhasil meningkatkan produksi pertanian. Tetapi, dalam tarikan napas yang sama, kita juga harus mengakui bahwa peningkatan produksi itu tidak serta merta pendapatan petani meningkat. Kehancuran kearifan lokal, kerusakan lahan, dan ketergantungan terhadap saprotan secara terus menerus menggerus keuntungan yang diperoleh petani dari peningkatan produksi.
Kita merenungkan kembali bagaimana kita akan memulihkan kearifan yang dulu dimiliki petani kita. Bagaimana kita harus mempertanggungjawabkan penggunaan pertisida yang ternyata menghambat kecerdasan (balita), dan mempersingkat usia harapan hidup kaum ibu. Bagaimana pula kita bertanggung jawab terhadap sejarah, sebagai generasi yang telah menghilangkan biota predator pengendali hama, dan pemusnahan varietas padi lokal.
Kebijakan yang berbasis pada potensi lokal dan kearifan lokal akan secara langsung memperbaiki kesejahteraan rakyat. Petani seharusnya juga mendapatkan fasilitas yang “mayoritas” dari instrumen pemerintah. Tidak ada salahnya bila peningkatan kesejahteraan rakyat berbasis pada pertanian. Kebijakan yang tepat di sektor pertanian, akan membuat sektor ini menjadi atraktif untuk menyerap tenaga kerja.
Kita sangat merindukan pemimpin yang berani “berkelahi” di kabinet maupun di DPR untuk memperjuangkan nasib petani. Pemimpin yang berani melawan kebijakan yang jelas-jelas merugikan dan melecehkan petani. Sebab, salah satu hambatan petani dalam meningkatan produksi adalah minimnya lahan pertanian yang memiliki pengairan teknis. Lalu, mengapa hal ini tetap diabaikan dan lebih tertarik untuk membagikan BLT yang karitatif dan menghina itu?
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mampu menghentikan proses pemiskinan petani dan pemutusan rantai ketergantungan petani terhadap saprotan an organik. Teknologi yang sejalan dengan kearifan lokal untuk memulihkan lahan secara organik, pembuatan pupuk dan pertisida organik, dan “pemulihan” varietas lokal juga sudah tersedia. Dilihat dari sisi ini, kekokohan organisasi petani sangat menentukan keberhasilan perjuangan petani, karena yang direspon bukan hanya soal iptek dan pasar bebas, tetapi juga infiltrasi budaya. Karena itu, kebangkitan nasional harus juga dimaknai sebagai kebangkitan semangat dan pikiran semua pihak untuk secara nyata memperjuangkan peningkatan kesejahteraan petani.
*) Penulis adalah Wakil Ketua MPR RI
Keterangan foto: A.M. Fatwa dalam acara Panen Raya proyek PPM Pimpunan Pusat Muhammadiyah, di Bungaya, Gowa, Sulawesi Selatan, 18 Mei 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar