Selasa, 29 April 2008

Resonansi

Otak Versus Otot

Oleh: M. Nur Gaybita

Jauh sebelum tahun 1984, Indonesia sudah dikenal sebagai pengimpor beras yang cukup besar. Hampir 2,5 juta ton beras didatangkan dari negara-negara tetangga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras nasional. Kebutuhan terhadap konsumsi beras ini ternyata sebanding dengan kebiasaan penduduk Indonesia dalam mengkonsumsi beras yang cukup tinggi dibandingkan dengan beberapa negara di Asia.

Simak analisa data yang diterbitkan Badan Pangan Dunia, Bangkok, pada 1992 lalu. Pola konsumsi kalori dari beras yang dimiliki setiap masyarakat Indonesia mencapai 58% hari/ kapita. Angka ini menempatkan Indonesia pada posisi keempat di bawah Burma, Bangladesh, dan Vietnam. Bandingkan dengan Malaysia dan Jepang dengan pola konsumsi kalori masing-masing sekitar 29% dan 24% hari/ kapita.

Pada tahun 1991, pola konsumsi beras di Indonesia mencapai 1.447 kalori/ kapita/ hari. Jika dibandingkan dengan Jepang, kondisi Indonesia pada tahun 1991 ini hampir sama besar dengan negara Jepang pada tahun 1960, sekitar 1.100 kalori/ kapita/ hari. Dengan kata lain, apa yang diraih Indonesia saat itu pada dasarnya merupakan capaian Jepang jauh pada periode sebelumnya.

Dalam kurun waktu selama kurang lebih 30 tahun, Jepang berhasil melakukan perubahan pola konsumsi rakyatnya. Hasilnya, pada tahun 1991 konsumsi kalori dari beras di Jepang turun drastis menjadi 680 kalori/ kapita/ hari. Tidak mengherankan apabila angka ini menempatkan konsumsi masyarakat Jepang terhadap kalori dari beras merupakan pola yang paling ideal di dunia.

Saat itu, patokan menu yang paling ideal di dunia adalah menu-menu yang dikonsumsi rakyat Jepang. The Japan Economic Education Center Foundation (JEECF) pada tahun 1993 menyebutkan, kalori yang digunakan penduduk Jepang sebesar 2.612 kalori dengan komposisi kalori beragam bahan makanan, mulai dari sayur, buah dan biji-bijian, minyak dan lemak, gula, ikan dan telur, susu, gandum/ jagung, serta beras.

Pola konsumsi ini ternyata berdampak luas terhadap pola budi daya pertanian, baik terhadap padi, palawija, hortikultura maupun ternak, ikan, dan lainnya. Tidak hanya itu, pola ini berdampak positif terhadap kualitas kehidupan, pendidikan, kemampuan berpikir, kualitas sumber daya manusia, serta gaya hidup sehat masyarakat Jepang.

Lalu, apa makna data dan fakta ini bagi kita? Ada korelasi antara kebiasaan mengonsumsi kalori dari beras yang cukup besar dengan tingkat kualitas hidup kita. Pola konsumsi kalori yang cukup besar ini menjawab persoalan mengapa kita lebih dikenal sebagai pengekspor tenaga kuli daripada profesional atau pemikir.

Untuk meningkatkan kualitas kesehatan, kemampuan berpikir cerdas dan kreatif, sumber daya manusia yang mumpuni, serta kualitas hidup yang lebih baik, mau tidak mau kita harus mulai membiasakan diri untuk tidak mengonsumsi beras dengan cara berlebihan dan melakukan diversifikasi dalam mengonsumsi kalori.

Diversifikasi memungkinkan kita tidak lagi menggantungkan kebutuhan kalori pada beras semata. Konsumsi protein, lemak murni, dan karbohidrat yang seimbang dapat dijadikan menu ideal. Jika tidak, pola dan kebiasaan ini hanya akan melahirkan sumber daya manusia yang hanya mengandalkan otot daripada otak.

Tidak ada komentar: