Selasa, 29 April 2008

Resto

Resto Bernuansa Alam Pedesaan

Pendopo Kemang

Terkadang masakan modern ala Barat dan suasana metropolitan yang sesak dan super sibuk menimbulkan kejenuhan. Rasa jenuh itu pun seringkali melahirkan kerinduan akan santapan tradisional dengan suasana pedesaan beserta pemandangan persawahannya. Restoran ini, contohnya.

Untuk mengobati kerinduan, Anda tidak perlu mudik dengan menghabiskan waktu berhari-hari, apalagi jika Anda termasuk kalangan yang sangat sibuk. Cobalah berkunjung ke Pendopo Kemang, Jakarta. Suasana dan panorama yang disuguhkan diharapkan bisa mengobati semua kerinduan itu, atau paling tidak menguranginya barang sejenak.

Dari daftar menu yang ada, restoran ini menawarkan beragam santapan tradisonal khas Jawa Tengah yang bisa dinikmati. Mulai dari nasi kucing, nasi pecel beras merah, nasi langi, nasi ayam cobek, nasi liwet, nasi campur Bali, hingga nasi peda. Di antara menu-menu itu, nasi peda dan nasi campur Bali menjadi menu andalan yang digemari para pengunjung.

Nasi peda merupakan menu yang terbilang unik, karena beda dengan menu lainnya. Nasinya yang sudah diolah dengan ikan peda dibungkus dengan daun pisang. Lalu, bungkusannya diletakkan di atas daun pisang yang disangga dengan piring yang terbuat dari tanah liat. Penyajiannya pun khas, dengan dikelilingi oleh urap, ayam goreng, orak-arik tempe, dan rampeyek.

Sementara untuk nasi liwet khas Solo, tidak diletakkan di atas piring tanah liat, melainkan di atas piring bambu yang beralaskan daun pandan. Nasi putihnya dibumbuhi sayur pepaya dengan hiasan dua cabe rawit di atasnya. Suwiran ayam, kerupuk bawang, sambal merah, sambal bawang, sambal goreng kentang, tempe, telur, dan dua iris mentimun menjadi pelengkap hidangan ini.

Aroma dan cita rasa nasi kucing akan melambungkan ingatan Anda pada angkringan atau gerobak kaki lima di Yogyakarta atau Solo yang menjual nasi kucing. Penduduk setempat menyebutnya dengan ‘sego kucing”. Barangkali karena porsinya kurang lebih sebesar santapan yang diberikan untuk makanan kucing, ditambah lauk irisan ikan asin, dan ditutupi dengan sambal merah yang diulek kasar. Selanjutnya menu ini dihidangkan dalam daun pisang yang disimpulkan dengan lidi di bagian ujungnya dan diletakkan di atas piring berukuran tanggung yang terbuat dari tanah liat. Konon, piring tanah liat ini didatangkan khusus dari Bayat, Klaten, Jawa Tengah.

Menu serba sambal ini tak akan membuat rasa pedas yang berkelamaan, bila diakhiri dengan minuman yang juga khusus. Es kopyor atau es kopyor durian, sengaja dibuat tidak terlalu manis agar mampu mengobati rasa pedas. Anda juga dapat mencoba es campur, es cincau, es markisa, dan es kelapa muda yang serba tradisional.

Nuansa tradisional, tidak hanya hadir melalui makanan dan minuman, tapi juga melalui arsitektur bangunan, desain interior dan pemandangan tanaman padi yang ditata sedemikian rupa menciptakan aroma pedesaan, menambah nikmatnya santapan. Suasana pedesaan di pelosok Jawa Tengah semakin kental dengan keberadaan tiga bangunan utama yang berarsitektur njawani. Tak hanya atap berbentuk joglo dan teras yang khas, tapi juga penempatan ornament spesifik berbau kampong.

Sebuah becak dan kereta ondong, ada disekitar pelataran ruang utama. Kolam dengan bunga teratainya, menjadi pemanis antara dua pendopo utama. Satu bangunan berfungsi sebagai galeri benda-benda antik, khususnya batik tulis nusantara. Ikhwal bangku dan meja antik serta pajangan lukisan yang merambah hingga kamar kecil, ternyata memang tidak terlepas dari cita rasa sang pemilik Pendopo Kemang, Rio Sarwono, yang juga kolektor barang-barang antik.

Terletak di kawasan padat dan supersibuk di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, Pendopo Kemang menyuguhkan aura perkampungan yang asri. Di restoran seluas 4000 meter persegi ini, tak ada lagi suara deru knalpot yang bising dan klakson yang memekakkan telinga. Gantinya adalah bunyi krencengan bambu serta gemerisik ranting dedaunan mengisi udara. Atmosfer pedesaan ini makin lengkap dengan pemandangan tanaman padi di sudut pekarangan.

Di bagian dalam, desain interiornya pun tak kalah ndeso. Seperangkat bangku dan meja yang terbuat dari kayu, terlihat tampil apa adanya. Bahkan ada yang seperti tidak diserut rapi. Tapi, justru itulah yang menjadi daya tarik. Sebagian besar perangkat meja dan kursi ini usianya yang sudah tua, bahkan ada yang sampai seratus tahun. Oleh karena itu, berkunjung ke restoran ini tak ubahnya kita berada di perkampungan yang hening dan menyegarkan. BAM

Tidak ada komentar: