Selasa, 29 April 2008

Sajian Utama

SaMenuju Ketahanan Pangan Nasional

Dari Kebijakan Impor hingga Keanekaragaman Pangan

Produksi, distribusi, dan konsumsi. Tiga penyangga sekaligus masalah utama dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Namun, alih-alih meningkatkan produksi dalam negeri, pemerintah menutupi kebutuhan pangan dengan kebijakan impor beras. Sebaiknya Indonesia juga berkaca pada negara maju.

Revolusi Hijau yang diterapkan oleh Pemerintah Orde Baru ternyata memunculkan dampak negatif bagi keanekaragaman makanan pokok yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Dampak yang paling terasa adalah menempatkan beras sebagai makanan pokok bangsa Indonesia dan meminggirkan sagu, jagung, umbi, dan biji-bijian. Tak hanya itu, berbagai makanan ini dituding sebagai inferior food atau makanan masyarakat kelas bawah, bahkan terbelakang.

Akibatnya masyarakat Indonesia yang pada awalnya menjadikan sagu, jagung, umbi, umbi, dan biji-bijian sebagai makanan pokok utama, kini hampir semuanya beralih ke beras. Walhasil, tiada hari tanpa beras dalam kehidupan masyarakat. Jika berbicara masalah pangan, beras memonopoli topik pembicaraan. Bahkan, kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam masalah pangan juga berkutat seputar beras.

Hampir seluruh masyarakat Indonesia, tepatnya 96 persen, kini menjadikan beras sebagai primadona, dengan tingkat konsumsi rata-rata 130 kilogram per kapital setiap tahunnya. Angka ini dipastikan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, yang diprediksikan akan bertambah dua kali lipat dari jumlah sekarang padaa tahun 2035. Kondisi ini makin menempatkan beras pada peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia dipandang dari berbagai aspek, dari aspek ekonomi, tenaga kerja, lingkungan hidup, budaya, bahkan sampai aspek politik.

Oleh karena itu, masalah beras bukanlah hal yang sederhana, tetapi sangat sensitif, sehingga penanganannya harus dilakukan secara hati-hati, karena menyangkut hajat hidup orang banyak, yang setiap saat harus dipenuhi. Kesalahan dalam kebijakan perberasan, tidak hanya berdampak pada kondisi perberasan saja, tapi akan berdampak pada bidang-bidang lainnya.

Perberasan bukan lagi sekadar komoditas. Ia mewakili pangan, harga diri bangsa, sakral, dan menjadi pertaruhan politik kekuasaan. Beras mewakili kontestasi “kekuasaan”: konsumen dan produsen. Dari sisi konsumen, beras merupakan makanan pokok mayoritas warga. Dari sisi produsen, mayoritas petani Indonesia adalah petani padi, sebagian Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian juga dari padi. Bahkan, menurut prediksi banyak pihak, dari sekitar 17 persen PDB pertanian, porsi padi terbesar di antara komoditas lain.

IMPORTIR TERBESAR DUNIA: Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.

Pertanyaanya yang mengganjal, apakah kondisi tersebut sudah tercapai? Terlalu berlebihan dan mengada-ada, bila ada yang menjawab “sudah”. Menurut pemetaan yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan bersama World Food Pragramme di 165 kabupaten di Indonesia menunjukkan, terdapat 100 kabupaten di Indonesia yang masuk kategori rawan pangan. 30 kabupaten di antaranya masuk kategori sangat rawan pangan. Dalam catatan Kompas, daerah yang masuk rawan pangan kebanyakan berada di luar Pulau Jawa, terutama di wilayah Indonesia Timur, seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua. Perlu dicatat bahwa sebelum revolusi hijau digulirkan oleh pemerintah Orde Baru, makanan pokok utama daerah-daerah ini adalah sagu dan umbi-umbian.

Pemetaan itu tidaklah berlebihan karena daerah-daerah yang dimasukkan dalam kategori rawan dan sangat rawan pangan sering dilanda bencana kelaparan, seperti yang terjadi di Kabupaten Yakuhimo, Papua. Daerah-daerah yang masuk dalam kategori rawan dan sangat rawan pangan adalah daerah yang tidak memiliki lahan persawahan yang cukup untuk memenuhi bahan pangan yang bersumber dari beras, atau sama sekali tidak memiliki lahan persawahan. Kondisi ini semakin diperparah oleh letak daerah-daerah rawan pangan tersebut yang susah untuk dijangkau oleh sarana transportasi penyuplai bahan pangan.

Namun, kita juga tidak boleh memungkiri bahwa pada tahun 1984, Indonesia pernah mencapai prestasi fantastis dalam produksi perberasan dengan predikat “swasembada beras”. Prestasi ini diraih seiring dengan meningkatnya pemakaian pupuk dan pestisida, yang merupakan bagian terpenting dari program revolusi hijau. Namun, dari tahun 1990 meskipun pemakaian pupuk dan pestisida terus meningkat, produksi padi justru sebaliknya, mengalami penurunan dan terus menurun karena tidak ada upaya yang sungguh dari semua pihak untuk mencari jalan keluarnya, termasuk pemerintah itu sendiri. Kebijakan dan program yang digulirkan hanya sebatas konsep semata.

Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 dan diperparah oleh penurunan produksi beras akibat El-Nino telah menempatkan ketahanan pangan berada pada posisi yang sangat rawan. Hal ini disebabkan oleh krisis yang juga melanda banyak industri, angka pengangguran meningkat, daya beli masyarakat rendah, sementara harga beras justru melambung tinggi.

Selama ini ukuran ketahanan pangan versi pemerintah Indonesia selalu dilihat dari produksi padi dan stok nasional beras yang ada di Badan Urusan Logistik (Bulog). Apabila persediaan di Bulog kurang dari batas aman, yaitu satu juta ton beras, maka pemerintah langsung mengimpor beras dari sejumlah negara, seperti Thailand, Vietnam, atau China. Sampai disitu masalah rawan pangan dianggap selesai. Akibatnya, kebijakan impor yang terus berlangsung menempatkan Indonesia sebagai negara importir beras terbesar di dunia, dengan angka tertinggi yaitu sebesar 5,8 juta ton beras pada akhir 2006 lalu.

TIDAK STRATEGIS: Kebijakan mengantisipasi kerawanan pangan nasional dengan mengandalkan impor beras, apalagi dengan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi bukan hanya tidak strategis, tapi juga riskan. Menurut M. Husein Sawit, Peneliti Utama bidang Kebijakan Pertanian di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), kebijakan mempertahankan reserve-stock beras tetap harus dilakukan. Kebijakan ini juga ditempuh oleh banyak negara di Asia selaku produsen dan konsumen beras, baik negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan, maupun negara berkembang, seperti Filipina, Bangladesh, Malaysia, dan Sri Lanka.

Di samping itu, negara eksportir beras, terutama Vietnam, Thailand, dan India juga masih tetap mempertahankan kebijakan pembatasan ekspor, manakala produksi dan stok beras dalam negeri merosot tajam serta stabilitas harga terancam. Dengan alasan itulah, pasar beras dunia sering disebut sebagai pasar sisa (residual market)

Perdagangan beras dunia dari tahun ke tahun memang cenderung meningkat. Dalam periode 2000-2005, misalnya, jumlah beras yang diperdagangkan antara 24-28 juta ton, atau sekitar 7 persen dari total produksi. Bandingkan dengan tahun 1994 misalnya, hanya sekitar 15 juta ton. Artinya volume perdagangan beras dunia meningkat hampir dua kali lipat.

Namun, jumlah kebutuhan juga meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dunia. Selain itu, menurut M. Husein, apabila dibandingkan dengan persentase volume perdagangan pangan lainnya, beras menduduki posisi yang paling rendah. Sementara volume kedelai, gandum, dan jagung yang diperdagangkan di pasar dunia masing-masing mencapai 30%, 20%, dan 15%. Oleh karena itu, pasar beras dunia digolongkan tipis (thin market)

Atas alasan ini, sangat rasional bila negara-negara industri maju, seperti Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara Uni Eropa tetap mempertahankan produksi beras nasional masing-masing, meskipun tidak sebesar produksi negara-negara Asia lainnya. Bahkan Amerika Serikat termasuk dalam negara eksportir beras penting dunia, dengan kisaran 3-4 juta ton/tahun atau lebih dari separuh dari total produksi sekitar 7 juta ton/tahun. Hal ini setidaknya untuk memenuhi kebutuhan beras nasional mereka agar tidak terlalu tergantung kepada negara lain.

KEANEKARAGAMAN PANGAN: Pasar beras dunia, tergolong thin market (pasar tipis) dan sering juga disebut residual market (pasar sisa). Dari tahun ke tahun, pasar beras dunia memang mengalami peningkatan. Namun, bila dibandingkan dengan perdagangan serialia (pangan) dunia lainnya, beras menempati posisi terendah. Di sebut residual market, karena negara-negara eksportir beras, terutama Vietnam, Thailand, dan India tetap mempertahankan kebijakan pembatasan ekspor beras, manakala produksi dan stok beras dalam negeri merosot tajam serta stabilitas harga terancam.

Dengan tingkat kebutuhan pangan masyarakat Indonesia yang sangat tinggi terhadap beras, dan dipastikan akan terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk, sungguh riskan bila menempatkan impor beras digarda terdepan sebagai solusi ketahanan pangan. Selain itu, dengan membuka pintu impor seluas-luasnya, apalagi tanpa bea dan proteksi, hanya akan mengorbankan produksi (beras) petani itu sendiri bila berhadapan dengan produksi beras dunia yang kualitasnya di atas rata-rata beras Indonesia. Pasalnya, mayoritas petani padi Indonesia masih tetap bertahan dengan pola pertanian abad pertengahan.

Sebaliknya, menutup pintu impor beras serapat-rapatnya, menurut Husein, tidak kompetibel dengan tatanan perdagangan multilateral, regional, dan bilateral. Impor beras juga menyangkut kesanggupan Indonesia memenuhi kebutuhan beras itu sendiri dengan menempatkan petani-petani tradisional sebagai ujung tombak produksi. Dan, menutup impor beras yang pernah diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2004, ternyata juga tidak menjamin tidak adanya penyeludupan beras.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Husein membuktikan bahwa pada periode pelarangan impor, data impor beras tidak tercatat meningkat dari 41% menjadi 63%. Dalam pandangan Husein, pelarangan impor beras yang pernah diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2004, dikarenakan pemerintah berkeyakinan bahwa dengan mengisolasikan pasar beras akan mempercepat kemakmuran.

Seharusnya, pemerintah melihat inti persoalan dalam industri beras/padi nasional. Inti masalahnya sesungguhnya adalah bagaimana meningkatkan produktivitas dan efisiensi, serta mengurangi secara signifikan tingkat kehilangan hasil padi/beras, mendorong berkembangnya penggilingan padi modern, sehingga Indonesia mampu menghasilkan beras yang berkualitas tinggi dan peningkatan rendemen penggilingan.

Hal senada juga pernah dikemukan oleh Pantjar Simatupang, mantan Sekretaris Jenderal Badan Ketahanan Pangan, bahwa swasembada pangan semestinya dilakukan dengan peningkatan produksi. “Dengan produksi yang meningkat harga tidak perlu terlalu tinggi, petani untung dan semua untung. Kita ribut dengan kebijakan harga lupa produksi,” katanya.

Pantjar menambahkan, politik pangan yang berimbang bisa diwujudkan melalui peningkatan produksi yang hasilnya bisa dicapai dengan memajukan teknologi, tersedianya lahan dan air, serta infrastruktur yang memadai. “Tingkatkan produksi dengan kebijakan riil, bukan kebijakan harga dan subsidi” ungkapnya.

Meningkatkan produktivitas beras yang berkualitas adalah solusi ketahan pangan yang paling strategis bagi masa depan pangan bangsa ini. Namun, mewujudkan hal ini tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan kesungguhan dan tekad nyata yang luar biasa dari semua elemen bangsa untuk mewujudkan semua ini. Jika tidak, bukan tidak mungkin Indonesia akan terkoyak-koyak seperti Uni Sovieet akibat krisis pangan.

Agar Indonesia tidak bernasib serupa dengan Uni Soviet, perlu dilakukan peningkatan produksi beras dengan cara mengurangi ketergantungan masyarakat Indonesia pada beras. Sungguh beresiko apabila masyarakat Indonesia hanya mengandalkan beras saja sebagai makanan pokok. Seperti dikatakan oleh Ketua Dewan Penasehat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), saatnya pula bangsa ini memulai kembali kepada kultur dan budaya masing-masing.

Misalnya, untuk masyararakat Papua dan Indonesia Timur lainnya mulailah kembali menjadikan sagu, ubi, dan lainnya sebagai makanan pokok di samping beras. Begitu juga dengan masyarakat Madura dengan menjadikan jagung sebagai makanan pokok alternatif.

Lagi-lagi, program keanekaragaman pangan ini juga bukanlah pekerjaan yang mudah, karena berkaitan dengan pola dan kebiasaan masyarakat yang sudah mendarah daging. Kendati demikian, tetap ada ruang optimisme walaupun sebagian besar masyarakat masih berprinsip nasi adalah pangan utama yang paling baik. Keanekaragaman pangan ini mutlak dilakukan untuk menghindari ketergantungan yang sangat tinggi kepada beras.

MRS

Boks

Berkaca Pada Negeri Jiran

Subsidilah petani, bagaimanapun caranya! Pesan ini bukan sederet kata tanpa makna. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Husein Sawit dan timnya memperlihatkan bahwa hampir 80% pendapatan petani padi negara-negara kaya berasal dari dukungan pemerintah dengan mensubsidi petani mereka dengan berbagai cara, mulai dari jaminan harga, subsidi input, maupun berbagai bentuk subsidi lainnya. Di antara kebijakan yang terpenting adalah menutup pasar dengan berbagai cara.

Simak pengalaman Amerika Serikat dan Uni Eropa, dua negara maju yang peran ekonomi beras dalam ekonomi nasional amat kecil, namun tingkat proteksinya luar biasa besarnya. Pada musim panen 2006, petani padi Amerika Serikat menerima subsidi langsung sebesar US$ 79,9/ton. Bentuk subsidi lainnya yang diterima petani, seperti countercyclical payment, harga minimum, dan kredit pemasaran. Sepanjang tahun 2005-2006, besaran subsidi yang diberikan pada petani ditambah dengan harga musiman, dengan bantuan mencapai US$ 250/ton padi.

Uni Eropa memproduksi tidak lebih dari 3 juta ton padi, namun menutup pasar untuk melindungi industi padi/berasnya. Diterapkan pula kebijakan tarif kuota untuk padi/gabah dan periode waktu impor serta tarif eskalasi untuk beras. Tarif spesifik untuk padi/gabah ditetapkan dengan 3 kelompok berdasarkan jumlah impor. Pada volume impor kurang dari 186.013 ton, maka tingkat tarif sebesar €30/ton. Apabila impor antara 186.013-251.665 ton, maka tingkat tarif dinaikkan menjadi €42,5/ton. Apabila volume impor melebihi 251.665 ton, maka tariff ditetapkan tinggi yaitu €65/ton. Periode impor pun dibatasi hanya 6 bulan, yaitu Maret sampai dengan Agustus.

Kebijakan yang diterapkan Thailand tidak jauh berbeda. Sebagai negara eksportir utama beras dunia atau sekitar 7 juta ton/tahun, Negeri Gajah Putih telah merancang strategi baru untuk periode 2002-2006. Pemerintah Thailand menyediakan dana US$2 miliar untuk pembangunan, promorsi riset dan pengembangan, serta stabilisasi harga. Pemerintah menaikkan harga minimum (support price) dalam kerangka sekim pengadaan melalui pegadaian padi. Pada periode 2002-2003, karena harga beras jatuh, maka banyak petani yang menjual padinya pada Lembaga pegadaian padi, yang mencapai 5,6 juta ton. Petani tidak menebus padi yang sudah digadaikan pada pemerintah. Sejak tahun 2004, pemerintah Thailand menaikkan harga minimum padi/beras menjadi US$ 156/ton padi (5% broken) dan US$ 239/ton untuk beras berkulitas tinggi Jasmine (fragrant rice).

Bandingkan dengan subsidi, dukungan, dan perlindungan yang pernah diberikan Pemerintah Indonesia terhadap para petaninya yang sebagian besar merupakan petani gurem dengan cara bercocok tanam yang masih sangat tradisional. Bandingkan pula peran Bulog selaku lembaga milik pemerintah yang menangani masalah perberasan, yang tugas dan fungsinya berkisar pada masalah pengendalian harga, distribusi, dan pemasaran.

Meskipun Bulog terbilang sukses dalam menjalankan tugas dan fungsi yang diamanatkan oleh pemerintah, namun nasib maupun kesejahteran para petani tidak pernah mengalami peningkatan secara signifikan. Hal ini tercermin dari nilai tukar petani yang masih rendah akibat pengendalian harga beras konsumen yang ketat.

Malahan, menurut Bupati Jombang, Jawa Timur, Suyanto, selama ini petani padi seolah-olah selalu diposisikan sebagai pemberi subsidi kebutuhan pangan masyarakat. Pada kebijakan pertumbuhan ekonomi, selama ini pemerintah cenderung menempatkan produksi petani pada posisi penyangga laju inflasi, sehingga hampir ada asumsi baku bahwa untuk menekan tingginya inflasi, produk petani terutama beras selalu dijadikan tumbal dengan membuka lebar impor beras seluas-luasnya, tanpa bea dan proteksi. Dengan demikian, jangan berharap kualitas ketahanan pangan kita mengalami peningkatan. MRS

Tidak ada komentar: