Senin, 14 Juli 2008

Berasa

Ketan-ketan Pembawa Rasa

Tape Uli Cisalak

Sampai sekarang, makanan tradisional warisan leluhur masih mendapat tempat di hati masyarakat. Tape Uli, misalnya. Di tengah aneka ragam makanan modern, makanan khas ini masih bertahan dan menarik minat para penggemarnya.

Apabila Anda tengah berada di Cisalak, Depok, singgahlah ke kedai Tape Uli Cisalak. Seperti namanya, kedai yang berada di Jalan Raya Bogor, Cisalak, Depok. Jawa Barat, ini menawarkan tape uli sebagai menu andalannya. Tidak hanya mempertahankan atau melestarikan keberadaan makanan tradisional ini, pengelolanya pun tetap menjaga kualitas maupun cita rasa khasnya.

Sejatinya, tape uli merupakan makanan tradisional masyarakat asli Jakarta dan Jawa Barat khususnya. Bagi sebagian masyarakat yang masih setia dengan budaya leluhur, tape uli merupakan hidangan yang selalu ada dalam setiap acara maupun perayaan adat, seperti perkawinan, sunatan, akikah, hari raya, dan acara lainnya. Dapat dikatakan, pesta tidak akan lengkap jika tidak dihidangkan tape uli.

Bila dirinci, makanan ini terdiri dari tape dan uli. keduanya terbuat dari beras ketan. Tape dari ketan hitam atau ketan merah, sedangkan uli dari ketan putih. Keduanya diproses secara terpisah, kemudian disajikan secara bersamaan ke dalam satu hidangan dengan nama tape uli dan es tape uli. Yang terakhir rasanya segar, kenyal-kenyal, manis asam, dan dijamin nikmatnya tidak kalah dengan makanan modern. Diyakini, orang yang sering mengonsumsi tape uli, mukanya akan terlihat mulus berseri tanpa jerawat.

Namun kini di kota Jakarta dan sekitarnya, keberadaan Tape Uli terbilang langka, atau paling tidak sulit untuk didapatkan, apa lagi mencarinya di resto-resto modern seperti di mall, Supermarket, dan sejenisnya yang ada di Jakarta dan Sekitarnya.

Tape Uli Cisalak didirikan oleh Koh Hendarmin, warga keturunan asli Cisalak pada tahun 1957. Pada awalnya hanya berupa warung sederhana yang menyuguhkan tape uli sebagai suguhan tunggal menemani the. Lokasinya begitu strategis, persis di pinggir jalan raya satu-satunya yang ada saat itu dari Jakarta menuju Bogor dan Bandung.

Kondisi ini membuat warung tape uli milik Koh Hendarmin berkembang pesat, karena menjadi tempat pemberhentian bagi para supir juga penumpangnya untuk melepaskan kepenatan sambil menikmati tape uli. Bahkan Soekarno, mantan Presiden Pertama RI, sekitar tahun 1966, bersama Ibu Hartini dua kali mampir di warung ini untuk menikmati tape uli kesukaannya.

Dalam perkembangan, warung tape uli milik Koh Hendarmin ini berkembang lebih maju lagi, ketika manejemennya dikelola dengan baik putranya, Suryawan Kartanegara bersama istrinya Lindasari Wihardja. Hingga kini, Tape Uli Cisalak telah menjelma menjadi sebuah restoran modern dengan halaman yang asri dan dapur yang luas. Walaupun demikian, pembuatan tape uli di resto ini tetap diproses secara tradisional dengan peralatan yang juga masih tradisional.

“Dimasak pake dandang, tidak pake kompor gas, tapi pake kayu bakar dan tungku dari jaman dulu yang terbuat dari tanah. Sedangkan uli dihaluskan pake alu dan antan dari kayu,” kata Lindasari. Dengan demikian, rasanya pun tetap khas dan alami. Terbukti, restoran ini seringkali dikunjungi orang dari berbagai kalangan.

Dalam membuat tape, prosesnya tergolong sakral. Misalnya, orang yang membuatnya harus dalam keadaan bersih dan kondisi kejiwaan yang stabil. Jika tidak, pembuatan tape tidak mendapatkan hasil maksimal, atau bahkan gagal. Terlepas dari kepercayaan itu, yang pasti dalam pembuatan tape diperlukan kecermatan dan kebersihan yang tinggi, baik air, bahannya, maupun alat-alatnya, terutama dari lemak dan minyak, karena harus melalui proses fragmentasi. Bahan atau alat yang mengandung minyak atau lemak bisa menyebabkan kegagalan fragmentasi.

Untuk pembuatan satu kilogram beras ketan merah atau hitam, dibutuhkan 600 cc air dan satu butir ragi. Cara membuatnya; ketan dicuci bersih, direndam lebih kurang dua jam, tiriskan lalu dikukus hingga matang. Angkat ketan, gelar dengan tipis di dalam nampan atau tampah hingga dingin. Setelah dingin taburi ragi di atasnya hingga rata. Tambahkan selapis ketan lagi di atasnya, lalu taburi lagi dengan ragi hingga rata. Begitulah seterusnya. Ketan yang telah ditaburi ragi ini kemudian dimasukkan ke dalam suatu tempat yang bisa ditutup rapat hingga selama dua malam. Setelah itu tape baru bisa dinikmati.

Dalam pembuatan uli, bahan dasarnya terdiri ketan putih, kelapa, dan garam. Untuk tujuh liter ketan putih dibutuhkan kurang lebih satu kilogram kelapa yang sudah diparut, garam secukupnya sesuai dengan selera. Cara pembuatannya, ketan terlebih dahulu direndam selama lebih kurang dua jam, cuci hingga bersih lalu kukus, kemudian masukkan ke dalam satu tempat. Beras lalu diaduk dengan kelapa parut yang sudah digarami, kemudian kukus lagi hingga matang.

Setelah itu, ketan yang sudah matang langsung ditumbuk menggunakan alu sekitar 10-15 menit agar halus. Setelah ditumbuk ketan digelar tipis di atas meja yang sudah dilapisi plastik mika lalu tutup lagi dengan plastik mika terus digilas hingga tipis alat penggilas. Terakhir, barulah dipotong-potong sesuai dengan keinginan. Hingga dua hari, uli masih bisa dinikmati dengan cara digoreng atau dibakar.

Kualitas dan rasa uli maupun tape sangat tergantung dari jenis dan kualitas ketan itu sendiri. Menurut Lindasar, ketan yang paling bagus kualitasnya adalah ketan impor dari Thailand, karena hasilnya lebih lembut dan wangi dibandingkan ketan lokal, seperti ketan Solo dan Karawang. Selain itu, yang menjadi kendala bagi rasa dan kualitas tape dan uli adalah bila ketan itu bercampur atau sengaja dicampur oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan beras biasa, sehingga hasil olahannya agak keras seperti kurang matang. Oleh karena itu, untuk menjaga kualitas, ia harus meneliti dengan cermat dalam memilih ketan. Untuk menjamin kualitas dan kemurnian beras ketan, ia telah memiliki langganan tetap pemasok beras ketan sejak lama.

Berkat jerih payah, prestasi, dan komitmennya dalam melestarikan cita rasa maupun keaslian tape uli, Tape Uli Cisalak mendapatkan Anugerah Kebudayaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Namun, menurutnya, yang ia butuhkan hari ini bukan hanya selembar kertas penghargaan, tapi perhatian dan dukungan nyata khususnya dari pemerintah dalam mempertahankan, melestarikan, dan mengembangkan makanan tradisional Indonesia sehingga mampu bersaing dengan panganan yang berasal dari luar negeri sana. “Jangan kita ribut dan kasak-kusuk setelah diklaim oleh Malaysia bahwa tape uli itu adalah makanan tradisional milik mereka, seperti halnya Reog Ponorogo,” katanya. MRS

Tidak ada komentar: