Senin, 14 Juli 2008

Resto

Resto di Tepi Sawah

Warung Siwah

Jika Anda sedang melakukan perjalanan menuju Subang melalui tol Cipularang, tak ada salahnya untuk singgah sejenak di rumah makan “siwah” Mang Yeye. Di sana, Anda akan menemukan suasana yang begitu berbeda dan menggugah selera makan Anda. Nuansa pedesaan kontan terasa begitu kita duduk di dalam saung-saung di areal rumah makan tersebut.

Seorang petani yang telah lelah seharian bekerja di sawah, memutuskan untuk istirahat sejenak menghilangkan lelah sambil menyantap makan siang yang dibawanya dari rumah. Segumpal nasi yang dibungkus daun pisang, dengan lauk ikan asin, sambal dan lalapan menjadi santapan siangnya di gubuk di sisi sawah yang dihiasi tanaman padi yang mulai menguning. Meskipun dengan lauk pauk sederhana, tetapi dengan suasana sekelilingnya yang menyejukkan hati, petani itu pun makan dengan lahapnya.

Anda tentu sesekali juga mengangankan makan dengan nuansa pedesaan seperti itu. Rumah makan Mang Yeye-lah tempatnya. Restoran yang berada di Jalan Raya Kalijati, sekitar 10 kilometer dari pintu tol Sadang ke arah Subang, Jawa Barat, menawarkan suasana layaknya suasana pedesaan. Saungnya pun dibuat sederhana bak gubug petani yang biasa ada di pematang sawah. Sesuai julukan rumah makan Mang Yeye, yaitu “Siwah” atau singkatan dari sisi sawah, rumah makan ini memang berada di sisi persawahan. Sementara nama Mang Yeye diambil dari sapaan akrab sang empunya, yaitu H. Yahya.

Untuk mengentalkan nuansa alami khas pedesaan, bentuk bangunan rumah makan sengaja dibuat sederhana tanpa banyak sentuhan desain bangunan modern oleh sang pemilik. Atap saung misalnya, hanya terbuat dari kombinasi ijuk dan daun kelapa yang tak hanya memberikan nuansa alami, tapi juga memberikan suasana sejuk. Saung pun dibuat terbuka dan menyatu dengan alam sekitar. Hasilnya, mata pengunjung pun seperti dimanjakan oleh pemandangan persawahan berterasering (bertingkat) dengan tanaman padi yang menghampar di sekeliling saung. Tak pelak, bersantap pun jadi semakin nikmat.

Bagi pengunjung dari kota besar seperti Jakarta, tentu rumah makan seperti ini tidak hanya menjadi tempat untuk bersantap menghilangkan rasa lapar. Tetapi lebih dari itu, rumah makan ini menjadi rumah makan yang memberikan efek psikologis sebagai relaksasi pikiran yang tegang setelah menjalani rutinitas di tengah suasana perkotaan yang bising.

Pada awalnya, rumah makan “siwah” Mang Yeye, tidaklah sebesar dan seramai saat ini. Waktu itu, kenang sang pemilik, sekitar tahun 1989 rumah makan ini hanyalah sebuah warung kecil di tepi jalan yang menjual penganan khas Sunda, seperti karedok dan es kelapa. Seiring waktu berjalan, pada tahun 1997 berubah menjadi warung nasi sederhana yang kemudian menjadi cikal bakal rumah makan “siwah” Mang Yeye. Sejak tahun 1997 sampai dengan sekarang, pelanggan rumah makan ini kian banyak. Bahkan, untuk menampung jumlah pengunjung rumah makannya yang kian ramai, H. Yahya mesti menambah jumlah saungnya yang saat ini sudah mencapai belasan.

Pengunjung rumah makan Mang Yeye tak hanya berasal dari dari Subang, bahkan sebagian besar pengunjungnya berasal dari kota-kota lain di sekitarnya, seperti Jakarta dan Bandung. Menurut H. Yahya, untuk mendirikan rumah makan dengan konsep yang menyatu dengan alam ini butuh waktu sekitar delapan tahun kontemplasi. Namun, beruntung bagi pria kelahiran 51 tahun lalu ini, kesabaran dan keuletannya kini berbuah manis karena saat ini rumah makannya menjadi rumah makan yang mempunyai konsep yang cukup orisinal dan disukai pengunjung.

Tak sulit untuk mengenal nama-nama menu yang ada di rumah makan “siwah” Mang Yeye. Menu-menu alami dan akrab di telinga masyarakat tampak dominant, “Sengaja desain dan istilah-istilah menu yang digunakan dalam warung siwah ini dibuat sealami mungkin. Kami harap pecinta masakan nusantara bakal dengan mudah nemuin suasana alami yang membangkitkan selera dan mampu mengembalikan ingatan makan ala perkampungan,” jelas suami dari Hj. Heriyati ini.

Sebagai menu andalan, restoran ini menyediakan karedok dan pepes belut yang menggoda selera. Selain itu, tersedia pepes jamur, ayam bakar, serta gurame bakar. Uniknya, untuk nasinya, H. Yahya menggunakan beras hasil produksi sendiri. Kebetulan, H. Yahya memiliki puluhan hektar lahan persawahan termasuk sawah di sisi rumah makannya yang sekaligus difungsikan sebagai “pemanis” rumah makan “siwah”nya.

Untuk mencicipi hidangan di rumah makan “siwah” Mang Yeye ini, pelanggan tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Coba saja Anda tilik, satu porsi nasi dengan lauk pepes belut, hanya dibanderol seharga Rp 13.000 Sedangkan satu porsi ikan gurame bakar atau ayam bakar hanya dikenai harga Rp 15.000. Untuk suasana makan dan kelezatan makanan yang disajikan, itu tentu bukan angka yang menguras kantong, bukan?

H. Yahya menjamin bahwa pelanggan akan dibuat “ketagihan” setelah sekali mencobanya. Ia menambahkan, setiap gurame, belut, dan ayam yang hendak dibakar selalu masih dalam kondisi segar. Sebelum dibakar, gurame, belut, dan ayam direbus dulu hingga setengah matang. Kemudian dibumbui dengan racikan khusus. Setelah itu, baru memasuki proses pembakaran. “Bumbu ini pun tidak sembarangan, ada beberapa yang khas dari bumbu biasa,” tegasnya lagi.

Proses pembuatan ayam bakar, ayam goreng, ikan bakar atau belut pepes boleh sama dan mudah sekali ditiru oleh siapa pun. Asalkan kita memiliki peralatan yang cukup, pasti bisa membuatnya. Namun, dengan bumbu rahasia ala “siwah” tetap saja rasa yang dihasilkan akan jauh berbeda. Satu hal lagi yang membuat lidah pengunjung akan ketagihan, adalah sambal supernya yang khas, cocok untuk semua lidah. Sambal Mang Yeye tidak asal pedas, namun racikannya dibuat secara khusus, sehingga rasanya berbeda dengan sambal rumah makan mana pun. Apa pun jenis ikan atau ayamnya, yang pasti, Mang Yeye menjamin kualitas dan rasanya.

Untuk itu, Anda berkesempatan untuk melintas di Jalan Raya Kalijati, silakan Anda mencicipi sendiri masakan ala “siwah” ini. Nikmati juga suasana pedesaan yang jarang ditemukan di daerah perkotaan. Selamat mencoba! AJI/ YUD

Tidak ada komentar: