Senin, 14 Juli 2008

Empat Mata

Membangun Kedaulatan Pangan

Ir. Soepriyatno, MBA

Melalui organisasi kepemudaan yang dipimpinnya, ia mengabdikan diri pada terbentuknya kedaulatan pangan yang berlandaskan semangat kemandirian dan nasionalisme yang kuat. Baginya, tidak ada cara lain untuk membuat Indonesia bangkit kecuali membangun kemandirian yang disertai dengan rasa percaya diri terhadap segala kemampuan dan kekayaan yang dimiliki. Tak hanya slogan atau wacana, ia pun gigih melakukan edukasi, advokasi, dan pemberdayaan terhadap para pemuda dan petani di Indonesia.

Seetengah abad lebih Indonesia bebas dari penjajahan, seharusnya, menurut Soepriyatno, 220 juta rakyat Indonesia tengah menikmati kesejahteraan dan kemakmuran. Kekayaan yang kita miliki, seperti alam yang indah, bumi yang subur, serta lautan yang luas memungkinkan kita hidup sejahtera. Bahkan, seharusnya kemakmuran Indonesia berada di atas bangsa lain yang ada di jagad raya ini, yang saat ini tengah menikmati kemakmurannya, seperti halnya rakyat Amerika Serikat dan Uni Eropa, atau setidak-tidaknya sejajar dengan kemakmuran rakyat Singapura dan Malaysia. Namun, faktanya, Indonesia justru layak disejajarkan dengan beberapa negara miskin di benua Afrika, seperti halnya Etopia dan Somalia.

“Pedihnya lagi, negara Jiran Malaysia yang dulunya pernah belajar dengan Indonesia, kini justru memandang Indonesia dengan sebelah mata,” kata Ketua Umum Pemuda Tani Indonesia, ini. Memang, Indon, yang konotasinya sama dengan bodoh, tukang kebon, budak, dan pengacau, menjadi sebutan lain rakyat Malaysia untuk bangsa Indonesia. Sungguh penghinaan yang menyakitkan. Bukan mengada-ada, tapi itulah kenyataan yang benar-benar sedang berlangsung di depan mata.

Menurut Soeprayitno, ditinjau dari sumber daya alam yang dimiliki sebuah negara, maka ada empat model negara di jagad raya ini. Pertama, dari negara kaya bertambah makmur. Amerika Serikat, China, dan Brunai Darussalam, patut dijadikan contoh. Kedua, dari negara miskin menjadi negara makmur. Pengumpamaan yang paling tepat untuk model yang kedua ini adalah Jepang, Korea Selatan, dan Singapura. Ketiga, negara miskin dan tetap hidup dalam kemiskinan, seperti beberapa negara di Benua Afrika. Keempat, sebuah model yang ironis dan paradoks, di mana negara kaya tidak bisa memakmurkan rakyatnya. Kaya tapi miskin, begitulah singkatnya. Satu-satunya negara yang paling tepat masuk ke dalam model yang ketempat ini adalah Indonesia.

“Ya, di dalam paradoks itulah bangsa Indonesia hidup,” tutur pria asal Ponorogo, Jawa Timur, ini. Sebuah bangsa yang mencita-citakan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, namun setelah 62 tahun lebih menyatakan kemerdekaannya, yang terwujud adalah ketidakadilan, kesenjangan, dan ketimpangan. Salah satu kesenjangan yang dijadikan contoh oleh Soeprayitno adalah kesenjangan antara si kaya dengan si miskin, atau ketimpangan antara pusat dan daerah.

Sejatinya, Indonesia merupakan negara agraris yang sangat mampu mengatasi masalah perutnya (pangan) sendiri. Ironisnya, menurutnya, pemerintah justru menyerahkan urusan yang sangat vital ini kepada negara lain untuk mengatasinya. Sepertinya tidak ada cara selain mengimpor beras. “Impor itu sama saja dengan menyerahkan urusan pangan atau perut rakyat kepada negara lain. Dan, itu adalah sesuatu yang sangat berbahaya, karena sama saja dengan menyerahkan kedaulatan negara dan bangsa ini kepada negara lain,” tuturnya. Sebab, menurut Soeprayitno, kemerdekaan atau kedaulatan sebuah negara, pertama kalinya diukur dari kemampuan negara itu memenuhi pangan rakyatnya sendiri.

Pertanyaannya, mengapa kondisi ironis dan paradoks itu bisa terjadi? Mengapa mayoritas rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan? Salah satu jawaban yang diberikan Soeprayitno adalah merajalelanya tindak korupsi di negeri ini. “Itu harus diakui, karena Indonesia pernah dinobatkan sebagai negara terkorup nomor wahid di jagad raya ini dan predikat memalukan itu sampai kini masih melekat,” katanya. Namun, menurut Soeprayitno, merajalelanya korupsi di negeri ini bukanlah sebab, tapi adalah akibat timbul yang kemudian melahirkan kesengsaraan.

Penyebab sesungguhnya, ungkapnya, karena bangsa Indonesia yang besar ini tidak memiliki kepercayaan diri dan semangat kemandirian untuk membangun perekonomian negara sendiri, lalu mengajak bangsa lain untuk turut serta. Akhirnya, kita membiarkan mereka dengan leluasa menguasai kekayaan alam negeri ini. Bukan saja di bidang ekonomi, tapi juga di bidang politik dengan cara memberikan bantuan dana bagi seorang calon presiden yang jika terpilih nantinya, mereka akan dibiarkan secara leluasa menguasai sumber-sumber kekayaan vital yang ada di negeri ini.

“Akibatnya, bangsa ini dikepung oleh nilai-nilai pragmatisme, yang menghasilkan watak yang gampang menyerah, gampang kalah, sehingga mencari jalan pintas untuk mencapai tujuan,” ucapnya. Watak seperti inilah yang kemudian mengakibatkan merajalelanya tindak korupsi, dari tingkat pusat sampai ke pelosok daerah, dan selanjutnya secara perlahan tapi pasti mengikis rasa nasionalisme. Dia berkata, “Kalau dibiarkan terus dalam waktu yang tidak lama, Indonesia hanya tinggal sejarah saja.”

Beranjak dari keprihatinan tersebut, Soeprayitno bersama organisasi Pemuda Tani Indonesia yang dipimpinnya bertekad untuk membangun kembali semangat kemandirian, terutama di kalangan pemuda yang ada di pedesaan. “Yang harus dilakukan pertama kali adalah bagaimana menyosialisasikan kepada masyarakat, apa yang menyebabkan petani, nelayan, dan buruh itu miskin,” tuturnya. Mereka harus diberitahu dan memahami bahwa kondisi pahit ini adalah sebuah kesengajaan yang diciptakan. Kemudian, dengan sendirinya mereka akan turut memikirkan solusi dan arah bangsa ini ke depan.

Di samping memberikan edukasi dan advokasi, Pemuda Tani Indonesia juga melakuan program pemberdayaan yang terkait langsung dengan masyarakat di pedesaan. Di antaranya adalah kerja sama tananam padi seluas 500 hektar dengan petani di Karawang dan Subang. Program pemberdayaan lainnya adalah memelopori pembuatan mie dari beras. “Kita belajar dari China yang dapat membuat mie dari gandum atau beras, sesuai dengan komoditas yang dihasilkannya. Sementara Indonesia adalah negara penghasil beras, tapi justru makan mie dari gandum. Ini adalah sebuah kesalahan,” tegasnya.

Dalam rangka membangun semangat kemandirian dan semangat nasionalisme yang mulai pudar, termasuk di kalangan pemuda, Pemuda Tani Indonesia menggagas Pertemuan Nasional Pemuda Indonesia yang berlangsung pada akhir Oktober 2007 lalu di Jakarta. Acara ini sukses dihadiri oleh 120 Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda (OKP), 30 BEM Perguruan Tinggi, dan tokoh-tokoh pemuda dari 33 Provinsi.

Dengan tumbuhnya semangat kemandirian di kalangan pemuda, Soeprayitno yakin dalam waktu yang tidak terlalu lama Indonesia akan bangkit kembali menjadi bangsa besar yang disegani oleh masyarakat Internasional. ”Menurut sejarawan China, di Asia ini hanya ada dua bangsa yang meraih kemerdekaan dan kemandirian dengan perjuangan dan darah, yaitu Indonesia dan Vietnam. Mengapa dulu bisa, sekarang tidak? Ke mana semangat itu? Kenapa bangsa lain bisa, kita tidak?,” tegas Soepriyatno, berapi-api.

Seperti halnya Jepang yang tidak memiliki apa-apa setelah hancur akibat bom atom tahun 1945, begitu juga dengan Korea Selatan yang porak poranda akibat kerusuhan politik tahun 1951-1953. Coba lihat Singapura, sebuah negara kecil dan juga miskin, namun dengan semangat kemandirian dan nasionalisme, masing-masing negara tersebut mampu bangkit dan kini telah menjelma sebuah negara makmur yang disegani.

Ia melanjutkan, kita tidak boleh juga anti terhadap investor asing. Kita dapat belajar dari China di mana pada tahun 1978 mulai membuka ekonominya bagi investor asing. “Tentu dengan kontrol yang ketat dan harus mau mengikuti aturan yang dibuat oleh Pemerintah China,” kataKetua Dewan Pimpinan Nasional HKTI ini.

Berbeda dengan Indonesia yang membuka diri seluas-luasnya bagi pemodal asing, bahkan dengan aturan yang mereka buat sendiri. Tak jarang, Indonesia bahkan harus tunduk pada aturan yang dibuat oleh investor asing. Pada akhirnya, menurut pemilik beberapa jenis usaha ini, langkah ini hanya menenggelamkan Indonesia di bawah kepentingan dan pengaruh asing. “Sebuah kebodohan yang tidak boleh dibiarkan,” tegas Soeprayitno. MRS

Boks

Biografi

Nama lengkap : Ir. Soeprayitno, MBA

Tempat, tanggal lahir : Surabaya, 19 Oktober 1966

Pendidikan:

  1. S1 (Sarjana) Jurusan Ilmu Tanah IPB (1991)
  2. S1 Manajemen Bisnis Prasetya Mulya Jakarta (1995)
  3. S2 (Megister) A Nutshell, Asia, Inc. School of Management Singapura (1996)

Organisasi:

  1. Bendahara Umum HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) 1999-2004.
  2. Ketua Dewan Pimpinan Nasional HKTI 2004-2009
  3. Anggota Tim Kebijakan Perberasan Nasional, BAPENAS 2001-Sekarang
  4. Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Tani Indonesia HKTI 2004-2009

Pekerjaan:

  1. Direktur Operasional PT. Tidar Kerinci Agung
  2. Presiden Direktur PT. Indopangan Mandiri
  3. Chairman and CEO PT. Permata Husada Sakti (Rumah Sakit)

Tidak ada komentar: