Senin, 14 Juli 2008

Opini

Dilema Politik Perberasan di Era Globalisasi

Oleh: Robi Nurhadi

Beras merupakan barang ekonomi yang strategis. Gradarasi kestrategisannya bagi suatu negara, ditentukan oleh sejauh mana ketergantungan penduduknya terhadap beras sebagai kebutuhan pokok yang non subtitutif. Semakin suatu negara memandang bahwa konsumsi terhadap beras tidak dapat digantikan oleh hasil komoditas pertanian yang lain, semakin negara tersebut mengalami ketergantungan. Begitu pula sebaliknya. Meski di beberapa negara di dunia banyak yang menjadikan komoditas non beras sebagai kebutuhan pokoknya, beras tetap saja menjadi domain yang dianggap vital untuk disediakan.

Secara teoritis, setidaknya terdapat empat model politik perberasannya. Pertama, Politik Perberasan Klasik (PPK), di mana negara menyerahkan kuasa sepenuhnya kepada masyarakat untuk mengelola perberasan di negara tersebut. Teori ini berasumsi bahwa beras dianggap tidak strategis karena bukan barang ekonomi yang non subtitutif. Atau, beras dianggap sebagai barang ekonomi yang relatif strategis, tetapi negara percaya bahwa mekanisme pasar tersebut dapat meng-handle kebutuhan beras penduduknya.

Kedua, Politik Perberasan Neo-klasik (PPNk), di mana negara berasumsi bahwa selalu akan terjadi “kegagalan pasar” dalam perberasan di negara tersebut, sehingga negara memainkan peran sebagai “wasit” yang intervensinya terhadap pasar dilakukan untuk “menyuntik pasar perberasan yang sakit”. Setelah pasar dianggap sehat, kuasa politik untuk mengelola pasar perberasan dikembalikan kepada rakyat. Negara-negara penganut PPNk ini, umumnya adalah negara yang tidak setuju sepenuhnya terhadap pemikiran Adam Smith tentang invisible hand.

Ketiga, Politik Perberasan Keynesian (PPKy), di mana negara tidak hanya bertindak sebagai “wasit” tapi juga sebagai pelaku pasar dalam dunia perberasannya. Dua asumsi utama yang terbangun dalam penerapan PPKy ini adalah karena beras dianggap strategis (barang non subtitutif) dan ketidakpercayaan pemerintah terhadap masyarakat untuk menciptakan pasar yang sehat dan stabil. Meski dalam PPKy ini, potensi terjadinya “perselingkuhan” di antara agensi pemerintah yang melaksanakan fungsi “wasit” dan fungsi “pelaku pasar”, PPKy masih memberikan ruang politik yang sama kepada masyarakat untuk bermain dalam dunia perberasannya.

Keempat, Politik Perberasan Cenderung Totaliter (PPCT), di mana negara mengambil empat peran strategis, yaitu sebagai “wasit”, pelaku pasar (penguasa pasar dalam jaringan distribusi), pemonopoli penyediaan beras (bandar beras nasional), dan penetap harga beras. Fungsi monopoli tersebut, biasanya diiringi dengan kuasa untuk melarang impor atau menjadikan agensi pemerintah sebagai satu-satunya yang boleh mengimpor beras.

Lalu, di manakah posisi Indonesia di antara empat model perpolitikan beras di atas? Tampaknya Indonesia menerapkan Politik Perberasan (yang) Cenderung Totaliter (PPCT). Hal itu ditandai dengan aktifnya negara sebagai regulator (wasit) sekaligus sebagai pelaku pasar. Kedudukan pemerintah sebagai pelaku pasar ditegaskan dengan hadirnya lembaga yang menangani beras, Bulog. Lembaga ini mengelola deposit kekuasaan perberasan yang sangat besar dan tak tergoyahkan. Pada sisi kepentingan masyarakat petani, Bulog adalah bandar penjamin harga gabah yang memberikan profitabilitas bagi usahanya. Sedangkan pada sisi pemerintah, Bulog tidak hanya berperan sebagai “lembaga kasir atau sapi perahan” bagi the ruling party tapi juga berperan sebagai “mesin pencitraan”.

Melemahnya daya saing para petani, menjadi penyebab kegagalan dunia perberasan Indonesia di tengah persaingan global sekarang. Liberalisasi ekonomi dunia telah menciptakan iklim pertarungan yang tidak kondusif dalam dunia perberasan. Jumlah petani yang meninggalkan sawahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ditambah dengan penyulapan areal persawahan menjadi kawasan-kawasan industri, makin memperlemah daya saing petani kita. Maka, kita akan menyaksikan akhir cerita dari dunia perberasan Indonesia yang memprihatinkan. Karena itu, sebelum terlambat, pemerintah perlu memformulasikan ulang politik perberasannya. Wallaahu a’lam.

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Nasional. Kandidat Doktor bidang Studi Strategi dan Hubungan Internasional, UKM, Malaysia.

Tidak ada komentar: