Selamatkan Pertanian dari Pemanasan Global
Tidak sekadar wacana, pemanasan global (global warming) kini menjadi realitas yang dapat mengancam kehidupan. Fenomena ini dianggap sebagai ancaman serius abad ini. Laporan World Wildlife Fund, Habitat at Risk (2002), memperkirakan, lebih dari 80 persen spesies tanaman dan binatang akan punah bila emisi karbon meningkat dua kali lipat dalam 100 tahun mendatang. Sungguh mengerikan.
Pemanasan global merupakan fenomena terjadinya peningkatan suhu rata-rata permukaan Bumi sebagai dampak dari efek rumah kaca. Secara alami, atmosfer Bumi memiliki lapisan gas rumah kaca, antara lain gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitro oksida (N20). Dalam kondisi normal, panas matahari yang terperangkap di muka Bumi sangat dibutuhkan untuk menghangatkan suhu demi kelangsungan makhluk hidup. Tanpa lapisan gas rumah kaca, suhu di permukaan bumi bisa mencapai minus nol derajat Celsius.
Dalam aktivitas yang terkendali, alam dapat menyerap gas rumah kaca. CO2, misalnya, diserap pepohonan dalam proses fotosintesis. Namun, masalah muncul akibat aktivitas berlebihan manusia. Ketika aktivitas manusia berlebihan, alam tidak mampu menyerap kelebihan gas rumah kaca produksi manusia. Akibatnya selimut gas rumah kaca menebal dan sinar matahari tak bisa terpantul ke luar bumi. Hasilnya, suhu permukaan bumi semakin lama semakin panas.
Dampaknya pun mulai kita rasakan. Sebagai negara kepulauan,
Bumi yang semakin panas serta musim yang kian tak beraturan ini menjadi ancaman serius terhadap pangan dan pertanian kita. Iklim dan cuaca yang sudah tidak mampu lagi diprediksi keberadaannya menjadikan sebagian besar lahan pertanian produktif tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyat negeri ini. Banjir dan kekeringan telah menghadirkan kegagalan panen. Petani semakin terpuruk di antara relung keterpurukan negeri saat ini.
Persoalan pemanasan global harus menjadi salah satu faktor dalam melihat masalah-masalah pertanian, karena akan berpengaruh terhadap produktivitas tanaman pangan dan ketersediaan air. Studi yang sudah ada menunjukkan produktivitas padi di Cina menurun 5-12 persen ketika suhu mengalami kenaikan 3,6 derajat Celsius. Kasus yang sama juga terjadi di Banglades yang mengalami penurunan produksi beras sekitar 10 persen. Diperkirakan, produksi gandumnya pun akan mengalami penurunan hingga sepertiganya pada 2050 dibandingkan dengan produksi sebelum kenaikan suhu itu terjadi.
Akankah kita berdiam diri menyaksikan penghancuran ekosistem berkelanjutan ataukah mengambil langkah-langkah nyata dalam mengatasi krisis kehidupan di masa mendatang. Tentu, pilihan pertama bukanlah keputusan yang bijak mengingat kita merupakah pihak yang memiliki kepentingan langsung terhadap alam dan ekosistemnya, serta memiliki kedaulatan penuh dalam menentukan arah gerak negeri ini.
Pemanasan global adalah ancaman yang bakal kita rasakan bersama. Diperlukan sikap kesadaran manusia untuk melakukan konstruksi/perbaikan mengatasi kejadian ini. Untuk itu, sudah selayaknya fenomena ini menjadi tanggung jawab bersama. Bersatu dan berdaulat atas sumber-sumber kehidupan harus menjadi kerangka pikir rakyat dalam menjalani kehidupan.
Jika ingin mendapatkan perdamaian, kita harus siap berperang. Pepatah ini cocok bagi kita yang ingin berpartisipasi untuk menyelamatkan pertanian. Kita pun senantiasa siap melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan dan proses-proses penghancuran ekologi yang tengah berlangsung di sekitarnya menjadi sebuah keharusan. Bukan hanya berdiam diri dan menjadi anak manis yang menonton segala tragedi yang tengah memorak-porandakan kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar