Senin, 14 Juli 2008

Resonansi

Gizi Bangsa

Oleh: M. Nur Gaybita

Gizi, empat huruf yang menyelamatkan bangsa. Tapi, jangan langsung Anda menarik imajinasi pada “gizi politik” yang selama ini menjadi kosakata baru dalam percaturan politik kita. Tidak ada hubungannya sama sekali. Ia senantiasa berbeda dan tidak bisa dikorelasikan. Berbeda, karena gizi merupakan makanan sangat penting untuk pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan aktivitas tubuh kita. Tak bisa dikorelasikan, karena “gizi politik” sejatinya merupakan ongkos politik yang membuat politik berbiaya tinggi, sehingga bisa memicu timbulnya korupsi, kolusi, sogok-menyogok, yang menyengsarakan negara dan rakyatnya.

Seperti kita ketahui, hidup sehat dan bugar merupakan dambaan setiap orang. Dalam memperoleh kesehatan yang optimal perlu didukung dengan pola makan dan pola hidup yang sehat. Di antara upaya agar tampil sehat, dan bugar, yaitu dengan menerapkan pola hidup alami (back to nature) dengan memperhatikan dan menerapkan prinsip 3G, yaitu Gizi seimbang, Gerak badan, serta Gaya hidup sehat.
 
Keseimbangan asupan gizi yang terkandung dalam makanan dan minuman sangat penting. Gizi tidak sekadar lengkap, tapi juga harus seimbang dan sesuai kebutuhan tubuh. Apabila asupan gizi kurang dari batas minimum akan timbul masalah kurang gizi,  misalnya kurang protein menyebabkan penyakit busung lapar/busung air yang ditandai dengan bengkak-bengkak seluruh tubuh. 

Yang membuat kita prihatin, hingga kini masih terdengar kabar tak sedap tentang gizi buruk yang menimpa anak-anak di sejumlah pelosok tanah air. Inilah ironi bagi sebuah bangsa yang terkenal subur dan makmur seperti Indonesia. Oleh sebab itu, kasus ini tidak hanya menjadi momok bagi para balita, namun juga bagi pemerintah. Singkatnya, gizi buruk merupakan cerminan cerminan buruknya performa pemerintah dalam menyejahterakan raknyatnya; bukti lemahnya infrastruktur kesehatan dan pangan, kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan, serta kebijakan ekonomi dan politik yang masih diskrimatif.

Seperti layaknya fenomena gunung es, fenomena gizi buruk merupakan ancaman yang sebenarnya jauh lebih besar dan perlu segera diambil langkah langkah antisipasinya dari sekarang. Kelainan ini memangsa anak-anak , generasi penerus, yang sedang dalam golden period pertumbuhan otaknya.

Oleh karena itu, kembali ke alam menjadi salah satu langkah efektif dalam menanggulangi masalah gizi buruk ini. Alam kita yang kaya dengan tumbuhan dan pangan yang beraneka ragam dapat menjadi jalan keluar. Dengan kata lain, kita tak perlu lagi menggantungkan pemenuhan gizi dari nasi semata, tapi juga dari singkong, jagung, umbi-umbian dan aneka ragam pangan lainnya.

Diversifikasi pangan ini tidak hanya soal perilaku, tapi juga paradigma. Penelitian terdahulu sebagaimana laporan Neraca Bahan Makanan (NBM) menunjukkan bahwa pola menu masyarakat kita khususnya ditinjau dari kebutuhan kalori setiap harinya masih didominasi oleh kalori dari beras, yaitu 52% atau sebesar 1.447 kalori dari total kebutuhan kalori sebesari 2.790 setiap harinya.

Jika hanya mengandalkan beras, berapa banyak masyarakat kita yang mampu memenuhi kebutuhan gizi maupun kalorinya melalui komoditas beras? Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang tinggal di pelosok desa yang tak terjamah transportasi dan pertanian modern, dan seringkali menjadi korban gizi buruk? Pada poin inilah program diversifikasi pangan mendapatkan signifikansinya.

Gizi buruk bukan hanya stigma, tapi juga malapetaka. Fenomena ini seringkali menyelipkan pertanyaan, siapakah sejatinya “gizi” bangsa kita? Generasi sehat dan cerdas adalah jawaban pastinya. Karena itu, jika fenomena gizi buruk tidak tertangani dengan baik, pada fase akutnya akan mengancam jiwa dan hilangnya sebuah mata rantai sejarah. Satu generasi penerus bangsa pun hilang sia-sia.

Tidak ada komentar: