Primadona di Lahan Kering
Padi Gogo
Negara agraris mengalami kerawanan pangan? Mungkin saja. Banyaknya lahan irigasi subur yang dikonversi untuk kepentingan non pertanian yang tidak diimbangi dengan pembukaan lahan baru dapat menjadi penyebab. Tak terkecuali lahan persawahan yang tidak sedikit telah beralih fungsi. Sebagai salah satu solusi, lahan kering harus segera dioptimalkan sebagai pengganti lahan persawahan yang terkonversi dengan menanam padi gogo.
Mengapa padi gogo sebagai salah satu solusi? Berdasarkan tipologi wilayah pengembangannya, varietas padi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu padi sawah, padi gogo, dan padi sawah pasang surut atau padi rawa. Dari ketiga kelompok padi tersebut, padi gogo-lah yang sangat cocok untuk ditanam di lahan kering. Meskipun secara umum produktivitas padi gogo masih lebih rendah dibandingkan padi sawah dan padi sawah pasang surut, namun keberadaannya bisa menjadi solusi guna mengoptimalkan lahan kering sebagai substitusi lahan sawah yang terkonversi.
Menurut data Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian (1998) terdapat sekitar 5,1 juta hektare lahan yang tersebar di berbagai daerah berpotensi untuk dijadikan sarana pengembangan tanaman pangan khususnya padi gogo. Dengan potensi seperti ini, tentu saja peluang pengembangan pertanian di lahan kering cukup besar.
Sayangnya, potensi sumber daya lahan yang cukup besar ini belum bisa diimbangi dengan produktivitas padi gogo itu sendiri. Pada tahun 2004 saja produksi padi gogo secara nasional baru mencapai 2,4 ton per hektare yang jauh di bawah rata-rata padi sawah yang mencapai 4,7 ton per hektare. Padahal, di Peru, dengan kondisi iklim yang menunjang dan metode pemupukan yang tepat, hasil padi gogo pernah mencapai 7,2 ton per hektare.
Rendahnya produktivitas padi gogo di tingkat petani ini lebih disebabkan karena faktor keterbatasan pengetahuan petani dalam pengelolaan tanaman seperti, penerapan teknologi budidaya yang belum optimal, terutama dalam penggunaan varietas unggul, pemupukan, dan pengendalian penyakit seperti penyakit blas (P. gresea) yang merupakan masalah utama padi gogo. Selain itu, pada umumnya petani padi gogo termasuk golongan petani miskin yang tentu saja memiliki banyak keterbatasan. Karena keterbatasannyalah, petani padi gogo biasanya mengolah tanaman dengan “apa adanya”.
Secara umum budidaya padi gogo banyak dilakukan petani pada lahan terbuka, seperti di sekitar bantaran sungai, perbukitan daerah aliran sungai (DAS), dan sebagai tanaman sela di lahan perkebunan maupun di dalam tegakan tanaman hutan tanaman industri (HTI) muda sejenis jati, damar, puspa, dan sebagainya.
Hal ini dapat kita telusuri di sejumlah daerah seperti di Hutan Pendidikan Gunung Walat milik Institut Pertanian Bogor (IPB) di Sukabumi, Jawa Barat, yang menanam padi gogo di bawah tegakan pohon damar yang sudah berumur produktif. Selain itu, ada juga petani yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan di Desa Setren, Ngasem, Bojonegoro, yang mengelola areal lahan milik Perhutani Unit II Jawa Timur. Sebelumnya, lahan yang ditanami itu merupakan bekas hutan yang gundul akibat praktik penebangan kayu liar pada 1998 hingga 2001.
Menurut data Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, setidaknya ada tujuh varietas padi gogo, yaitu Cirata, Towuti, Limboto, Danau Gaung, Batutegi, Situ Patenggang, dan Situ Bagendit. Semua varietas ini memiliki karekteristik masing-masing seperti keterangan yang tersaji dalam tabel Deskripsi Varietas Padi Gogo. Seperti juga terlihat dalam tabel, sebenarnya padi gogo memiliki potensi hasil yang cukup tinggi bila diimbangi dengan pemupukan yang optimal.
Di sela keterbatasan lahan persawahan sebagai dampak “keserakahan” pembangunan, maka pengoptimalan lahan kering harus menjadi salah satu agenda prioritas. Namun, perlu diingat pula, karena budidaya padi gogo yang umumnya masih dilakukan dengan sederhana, maka kegiatan ini tetap memerlukan pendampingan oleh lembaga-lembaga terkait seperti Balai Penelitian Tanamana Padi (BPTP) dan Dinas Pertanian setempat. Sehingga diharapkan petani padi gogo tidak lagi hanya menanam dengan “apa adanya”, tapi juga memperhatikan pula cara membudidayakan padi gogo secara optimal.
Pengoptimalan lahan kering dengan menanam padi gogo tentu akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Mengingat banyak faktor yang terkait dengan keberadaan petani padi gogo yang memiliki banyak keterbatasan baik secara pengetahuan maupun modal. Pandampingan petani padi gogo tidak cukup dengan memberikan panduan sekilas, tapi harus dilakukan secara terintegrasi dan berkesinambungan antara petani, penyuluh pertanian, peneliti, bahkan mungkin lembaga keuangan. Dengan demikian, diharapkan petani akan memperoleh tambahan pengetahuan tentang bagaimana memilih benih yang unggul, memupuk yang seimbang, serta mengendalikan
Dapat dikatakan, padi gogo saat ini memang bukan merupakan varietas padi yang disukai oleh petani padi pada umumnya. Selain produktivitasnya masih tergolong rendah, kebanyakan lahan yang dimiliki petani padi adalah lahan basah atau persawahan. Meskipun demikian, keberadaan padi gogo tidak boleh diremehkan, karena bukan tidak mungkin varietas ini bisa menjadi alternatif lain sebagai penyumbang pengadaan pangan nasional yang bisa diandalkan selain padi sawah.
Tentu, untuk mengarah pada capaian seperti ini mensyaratkan petani padi gogo tidak dibiarkan begitu saja. Harus ada penyuluhan dan pendampingan. Dengan demikian, otensi lahan kering yang cukup besar di Indonesia bisa membuat kita sedikit “bernafas lega” menghadapi ancaman berkurangnya pangan nasional akibat diversifikasi lahan khususnya lahan persawahan. AJI
Deskripsi Varietas Padi Gogo
| CIRATA | TOWUTI | LIMBOTO | DANAU GAUNG | BATUTEGI | SITU PATENGGANG | SITU BAGENDIT |
Asal persilangan | IR9129-159-3/IR 5975 | S499B-28/Carreon/2*IR 64 | Papah Aren/IR 63/Dogo | ARC10372/ B6135/Way Rarem | B6876B-MR-10/B6128B-TB-15 | Kartuna/TB47H /MR-10 | Batur/2*S2823- 7D-8-1-A |
Umur tanaman | 115-125 hari | 105-115 hari | 115-125 hari | 110-116 hari | 112-120 hari | 110-120 hari | 110-120 hari |
Bentuk tanaman | Tegak | Tegak | Tegak | Tegak | Tegak | Tegak | Tegak |
Tinggi tanaman | 100-110 cm | 95-100 cm | 110-132 cm | 130-140 cm | 120-128 cm | 100-110 cm | 99-105 |
Takstur nasi | Pulen | Pulen | Sedang | Sedang | Pulen | Sedang | Pulen |
Rata-rata hasil | 4,5 ton/ha GKG | 4,0 ton/ha GKG | 4,5 ton/ha GKG | 3,4 ton/ha GKG | 3,0 ton/ha GKG | 4,6 ton/ha GKG | 4,0 ton/ha GKG |
Potensi hasil | 6,5 ton/hs GKG | 7,0 ton/ha GKG | 6,0 ton/ha GKG | 5,5 ton/ha GKG | 6,0 ton/ha GKG | 6,0 ton/ha GKG | 6,0 ton/ha GKG |
Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar