Paduan Budaya dan Kebutuhan Pangan
Beras Jepang
Di negeri “Matahari Terbit”, budidaya padi tidak hanya diartikan sekadar kegiatan bercocok tanam dengan tujuan menghasilkan padi dan beras. Lebih dari itu, budidaya padi lebih berarti sebagai simbol tradisi, budaya, dan religi bagi masyarakat Jepang jauh sebelum kekaisaran Tenno. Tak mengherankan jika beras yang diproduksinya pun mentradisi hingga kini.
Tradisi panjang masyarakat Jepang membawa budi daya padi menjadi sesuatu kegiatan yang suci. Menurut mitos yang dipercaya masyarakat Jepang, padi merupakan tanaman yang dianugerahkan dewi nenek moyang bangsa Jepang, Amaterasu Omikami. Pada zaman kekaisaran Tenno, ada ritual agama asli Jepang, Shinto yang dikenal dengan nama ritual Daijosai yang dilaksanakan ketika upacara naik tahta kaisar.
Ritual ini dimaksudkan untuk mempersembahkan hasil panen padi kepada dewi Amaterasu dan dewa-dewi yang lainnya yang ditanam di dua petak sawah (disebut Yukiden dan Sukiden) yang dipilih kaisar Tenno. Di samping itu, kaisar Tenno juga memiliki kebun istana Fukiage yang ia tanami padi dengan tangannya sendiri yang hasilnya juga dipersembahkan kepada dewi Amaterasu dan dewa-dewi lainnya.
Masyarakat Jepang sangat percaya bahwa keberkahan negerinya tak lepas dari karunia yang dilimpahkan dari dewi padi. Oleh karenanya, sampai sekarang masih banyak festival yang diselenggarakan di berbagai daerah di Jepang dalam bentuk musik maupun tarian yang dilakukan secara beramai-ramai yang terkait dengan budidaya padi dan pemujaan kepada dewi padi. Ketika hendak bercocok tanam, mereka berdoa kepada dewi padi agar hasil panen bisa berlimpah. Seusai panen, mereka melaksanakan syukuran atas hasil panen yang mereka peroleh.
Di masa lampau, saat pertanian di Jepang masih non-mekanisasi, kegiatan budidaya tanaman padi merupakan pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga manusia. Tak heran, kebanyakan keluarga di Jepang adalah keluarga besar. Harapannya, supaya banyaknya tenaga yang diperlukan dalam budidaya padi bisa dipenuhi dari tenaga keluarga. Di masa pra kemakmuran Jepang ini, keberadaan beras sangat berharga. Sehingga, tak ada satu butir nasi pun yang boleh tertinggal di piring ketika usai makan. Mereka sadar, untuk memperoleh sebutir nasi diperlukan kerja keras dan jerih payah.
Lain dulu, lain sekarang. Sejak tahun 1960-an proses budidaya padi, bahkan sampai dengan penyosohan beras mulai dilakukan dengan sistem mekanisasi. Tentu saja hal itu berimbas pada berkurangnya tenaga kerja yang dibutuhkan. Namun, di sisi lain, ada juga dampak positifnya yaitu terciptanya efisiensi produksi.
Sama seperti di Indonesia, Di Jepang pun tak luput dari alih fungsi lahan pertanian khususnya persawahan yang mengakibatkan berkurangnya lahan persawahan dari tahun ke tahun. Namun hebatnya, Jepang masih mengalami surplus beras. Bayangkan saja, dengan luas daratan 378.000 km2, pada tahun 1996 Jepang menghasilkan 10.344.000 ton beras, sedangkan konsumsi berasnya hanya 10.189.000. Hal ini tak lepas dari berkembangnya preferensi pangan masyarakat Jepang yang tidak lagi terfokus ke beras tetapi telah berkembang ke makanan lain seperti roti dan daging-dagingan. Kemerosotan konsumsi beras masyarakat Jepang terjadi semenjak awal 1960-an hingga sekarang.
PULEN & EMPUK: Preferensi masyarakat Jepang terhadap beras lebih cenderung kepada beras yang rasanya pulen dan sedikit lengket. Karakteristik ini terdapat pada beras jenis Japonica yang biasa dikonsumsi masyarakat Jepang. Beras jenis ini memiliki kandungan amilopektin yang tinggi sehingga beras terasa pulen. Sebaliknya, kandungan amilosanya lebih sedikit, yaitu antara 12%-15% karena semakin tinggi amilosa beras akan terasa lebih pera.
Bentuk beras jenis Japonica cenderung bulat dengan rasio perbandingan panjang dan lebar antara 1:7 sampai 1:8. Beras istimewa Jepang dari jenis Japonica yang populer di Jepang adalah beras Koshihikari dan beras Sasanishiki. Kedua beras ini padinya biasa ditanam di wilayah timur laut Jepang.
Beras Jepang merupakan bahan baku mutlak untuk membuat makanan khas Jepang, seperti Sushi atau biasa juga disebut Riceball. Tanpa beras Jepang, Sushi akan sulit sekali digulung. Sementara, beras yang biasa digunakan sebagai bahan baku Sushi adalah beras Koshihikari. Beras ini tergolong beras aromatik karena beraroma wangi.
Selain Sushi, ada beberapa makanan khas Jepang lain yang hanya bisa dibuat jika menggunakan bahan baku beras Jepang. Seperti halnya kue Mochi dan Onigiri. Kue Mochi atau dikenal juga di Jepang dengan sebutan Omochi dibuat dari beras khusus yaitu beras Mochigome yang mirip ketan setelah ditanak menjadi nasi.
Kembali pada beras Koshihikari, beras ini sangat populer di Jepang. Bahkan karena begitu populernya, beras ini dijadikan nama penghargaan internasional yang diberikan kepada peneliti padi yang bekerja di universitas dan lembaga penelitian baik lokal maupun internasional. Salah satu penghargaan yang terkenal yaitu Koshihikari International Rice Prize.
Beras Koshihikari sendiri berasal dari penelitian lembaga penelitian lokal yang kemudian dibudidayakan secara nasional di Jepang. Beras aromatik yang satu ini dikenal sebagai beras berkualitas terbaik di Jepang selama puluhan tahun. Sayangnya, menurut Dosen Ibaraki University, Jepang, Youji Nitta, varietas padi Koshihikari sangat peka terhadap kondisi iklim Jepang, seperti angin topan, banjir, dan musim dingin. Namun begitu, beras Koshihikari tetap merupakan beras yang sangat populer di Jepang.
Beras Jepang tak hanya populer di Jepang. Akan tetapi banyak juga negara yang sangat menyukai rasanya, seperti Korea, China, Indonesia, serta negara-negara Asia lainnya. Pulen, hangat, empuk, dan dapat dimakan dengan menggunakan tangan. Begitulah karakteristik beras Jepang yang membuat penikmat nasi begitu menggemarinya.AJI
Beras Jepang
Di negeri “Matahari Terbit”, budidaya padi tidak hanya diartikan sekadar kegiatan bercocok tanam dengan tujuan menghasilkan padi dan beras. Lebih dari itu, budidaya padi lebih berarti sebagai simbol tradisi, budaya, dan religi bagi masyarakat Jepang jauh sebelum kekaisaran Tenno. Tak mengherankan jika beras yang diproduksinya pun mentradisi hingga kini.
Tradisi panjang masyarakat Jepang membawa budi daya padi menjadi sesuatu kegiatan yang suci. Menurut mitos yang dipercaya masyarakat Jepang, padi merupakan tanaman yang dianugerahkan dewi nenek moyang bangsa Jepang, Amaterasu Omikami. Pada zaman kekaisaran Tenno, ada ritual agama asli Jepang, Shinto yang dikenal dengan nama ritual Daijosai yang dilaksanakan ketika upacara naik tahta kaisar.
Ritual ini dimaksudkan untuk mempersembahkan hasil panen padi kepada dewi Amaterasu dan dewa-dewi yang lainnya yang ditanam di dua petak sawah (disebut Yukiden dan Sukiden) yang dipilih kaisar Tenno. Di samping itu, kaisar Tenno juga memiliki kebun istana Fukiage yang ia tanami padi dengan tangannya sendiri yang hasilnya juga dipersembahkan kepada dewi Amaterasu dan dewa-dewi lainnya.
Masyarakat Jepang sangat percaya bahwa keberkahan negerinya tak lepas dari karunia yang dilimpahkan dari dewi padi. Oleh karenanya, sampai sekarang masih banyak festival yang diselenggarakan di berbagai daerah di Jepang dalam bentuk musik maupun tarian yang dilakukan secara beramai-ramai yang terkait dengan budidaya padi dan pemujaan kepada dewi padi. Ketika hendak bercocok tanam, mereka berdoa kepada dewi padi agar hasil panen bisa berlimpah. Seusai panen, mereka melaksanakan syukuran atas hasil panen yang mereka peroleh.
Di masa lampau, saat pertanian di Jepang masih non-mekanisasi, kegiatan budidaya tanaman padi merupakan pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga manusia. Tak heran, kebanyakan keluarga di Jepang adalah keluarga besar. Harapannya, supaya banyaknya tenaga yang diperlukan dalam budidaya padi bisa dipenuhi dari tenaga keluarga. Di masa pra kemakmuran Jepang ini, keberadaan beras sangat berharga. Sehingga, tak ada satu butir nasi pun yang boleh tertinggal di piring ketika usai makan. Mereka sadar, untuk memperoleh sebutir nasi diperlukan kerja keras dan jerih payah.
Lain dulu, lain sekarang. Sejak tahun 1960-an proses budidaya padi, bahkan sampai dengan penyosohan beras mulai dilakukan dengan sistem mekanisasi. Tentu saja hal itu berimbas pada berkurangnya tenaga kerja yang dibutuhkan. Namun, di sisi lain, ada juga dampak positifnya yaitu terciptanya efisiensi produksi.
Sama seperti di Indonesia, Di Jepang pun tak luput dari alih fungsi lahan pertanian khususnya persawahan yang mengakibatkan berkurangnya lahan persawahan dari tahun ke tahun. Namun hebatnya, Jepang masih mengalami surplus beras. Bayangkan saja, dengan luas daratan 378.000 km2, pada tahun 1996 Jepang menghasilkan 10.344.000 ton beras, sedangkan konsumsi berasnya hanya 10.189.000. Hal ini tak lepas dari berkembangnya preferensi pangan masyarakat Jepang yang tidak lagi terfokus ke beras tetapi telah berkembang ke makanan lain seperti roti dan daging-dagingan. Kemerosotan konsumsi beras masyarakat Jepang terjadi semenjak awal 1960-an hingga sekarang.
PULEN & EMPUK: Preferensi masyarakat Jepang terhadap beras lebih cenderung kepada beras yang rasanya pulen dan sedikit lengket. Karakteristik ini terdapat pada beras jenis Japonica yang biasa dikonsumsi masyarakat Jepang. Beras jenis ini memiliki kandungan amilopektin yang tinggi sehingga beras terasa pulen. Sebaliknya, kandungan amilosanya lebih sedikit, yaitu antara 12%-15% karena semakin tinggi amilosa beras akan terasa lebih pera.
Bentuk beras jenis Japonica cenderung bulat dengan rasio perbandingan panjang dan lebar antara 1:7 sampai 1:8. Beras istimewa Jepang dari jenis Japonica yang populer di Jepang adalah beras Koshihikari dan beras Sasanishiki. Kedua beras ini padinya biasa ditanam di wilayah timur laut Jepang.
Beras Jepang merupakan bahan baku mutlak untuk membuat makanan khas Jepang, seperti Sushi atau biasa juga disebut Riceball. Tanpa beras Jepang, Sushi akan sulit sekali digulung. Sementara, beras yang biasa digunakan sebagai bahan baku Sushi adalah beras Koshihikari. Beras ini tergolong beras aromatik karena beraroma wangi.
Selain Sushi, ada beberapa makanan khas Jepang lain yang hanya bisa dibuat jika menggunakan bahan baku beras Jepang. Seperti halnya kue Mochi dan Onigiri. Kue Mochi atau dikenal juga di Jepang dengan sebutan Omochi dibuat dari beras khusus yaitu beras Mochigome yang mirip ketan setelah ditanak menjadi nasi.
Kembali pada beras Koshihikari, beras ini sangat populer di Jepang. Bahkan karena begitu populernya, beras ini dijadikan nama penghargaan internasional yang diberikan kepada peneliti padi yang bekerja di universitas dan lembaga penelitian baik lokal maupun internasional. Salah satu penghargaan yang terkenal yaitu Koshihikari International Rice Prize.
Beras Koshihikari sendiri berasal dari penelitian lembaga penelitian lokal yang kemudian dibudidayakan secara nasional di Jepang. Beras aromatik yang satu ini dikenal sebagai beras berkualitas terbaik di Jepang selama puluhan tahun. Sayangnya, menurut Dosen Ibaraki University, Jepang, Youji Nitta, varietas padi Koshihikari sangat peka terhadap kondisi iklim Jepang, seperti angin topan, banjir, dan musim dingin. Namun begitu, beras Koshihikari tetap merupakan beras yang sangat populer di Jepang.
Beras Jepang tak hanya populer di Jepang. Akan tetapi banyak juga negara yang sangat menyukai rasanya, seperti Korea, China, Indonesia, serta negara-negara Asia lainnya. Pulen, hangat, empuk, dan dapat dimakan dengan menggunakan tangan. Begitulah karakteristik beras Jepang yang membuat penikmat nasi begitu menggemarinya.AJI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar