Jumat, 28 November 2008

Resonansi

JIWA KEPENDEKARAN
Oleh: M. Nur Gaybita

Kenaikan harga pangan dari waktu ke waktu seringkali menjadi topik obrolan yang membosankan. Pasalnya, dalam beberapa bulan terakhir, berbagai macam kebutuhan pangan mengalami kenaikan secara beruntun, mulai dari beras, kedele, sampai minyak goreng. Periode ini seperti mimpi buruk bagi kita semua, khususnya rakyat penghasilan rendah yang menghabiskan seluruh pendapatannya hanya untuk membeli bahan makanan.

Kita tak pernah menyadari bahwa masalah yang sedang kita hadapi adalah persoalan jangka panjang. Selain dipusingkan dengan fluktuasi harga-harga, kerawanan pangan siap menjadi hantu masa depan bangsa ini. Luas lahan yang stagnan, bahkan cenderung berkurang. Tidak kurang dari 40.000 hektar sawah setiap tahunnya berubah fungsi. Selain itu, puluhan ribu hektar lainnya sering kali terendam banjir ataupun didera kekeringan akibat perubahan iklim yang makin drastis. Sangat luas areal yang tidak berfungsi dengan baik. Masih banyak lahan tidur yang belum tergarap serta belum termanfaatkannya teknologi pertanian dengan baik dan meluas.

Diprediksikan, kondisi pangan ini tidak akan sanggup memenuhi kebutuhan penduduk, yang laju pertumbuhannya antara 1,3-1,5 persen per tahun, jika kondisi pembangunan pertanian tetap statis seperti sekarang. Angka pertumbuhan inilah yang turut memberikan tekanan pada sektor pertanian. Artinya, pada 2017 jumlah penduduk Indonesia sedikitnya mencapai 275 juta jiwa. Jika tidak diantisipasi sejak sekarang, dikhawatirkan pada 10 atau 20 tahun nanti, krisis pangan akan melanda negeri ini.

Karenanya, solusinya tak cukup dengan menaik turunkan tarif perdagangan. Mulai saat ini kedaulatan/ketahanan pangan harus menjadi program prioritas pemerintah. Ketergantungan terhadap impor pangan harus secepatnya dihindari agar krisis pangan jangka panjang tidak akan terjadi.
Intinya, hari ini kita membutuhkan pendekar atau pahlawan yang berjuang bukan untuk kepentingan kelompok atau pribadi, tapi berjuang dan berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Di zaman kolonial, rakyat Indonesia bahu-membahu dengan keberanian dan pengorbanannya untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Demi kemerdekaan, ribuan putra terbaik bangsa gugur di medan laga.

Dan, kehidupan saat ini adalah hasil perjuangan para pejuang-pendekar yang dengan keberanian dan pengorbanannya mampu mengusir para penjajah. Mereka tidak memikirkan apakah nantinya mereka akan ikut menikmati hasil perjuangan atau tidak. Mereka melakukannya untuk dipersembahkan dan dinikmati oleh generasi berikutnya.

Jiwa patriot seperti ini harus senantiasa ditumbuhkan sepanjang waktu, tak harus menunggu momen hari pahlawan tiba. Saat ini, kita membutuhkan putra terbaik, yang rela berkorban demi kepentingan bangsa. Seorang pendekar yang melihat celah sekecil apapun untuk menjadi sebuah titik balik, sehingga mampu membawa bangsa Indonesia keluar dari kemelut, dan membawa rakyat negeri ini ke alam kesejahteraan yang lebih baik.

Di tengah kondisi yang ada, ternyata di negeri ini ada juga pemimpin yang mampu menggerakan daerahnya dengan baik untuk meningkatkan kemakmuran negerinya. Sekadar menyebut contoh, ada Gubernur Fadel Muhammad yang telah membawa Provinsi Gorontalo pada kehidupan yang lebih baik. Di belahan bumi nusantara lainnya, ada Bupati Jembrana, Bali, I Gde Winasa, serta Bupati Sragen, Jawa Tengah, H. Untung Wiyono. Mereka adalah para pendekar yang patut diteladani, karena sukses membangun daerahnya.

Semangat dan jiwa seorang petarung sejati harus melekat pada diri setiap para pemimpin kita saat ini. Kini, pahlawan bukan hanya orang yang berjuang angkat senjata sampai menetaskan darah penghabisan seperti perang di masa revolusi. Dalam konteks kekinian, kependekaran dapat diartikan ikut serta secara aktif dan positif melaksanakan pembangunan nasional. Kendati wujud kepahlawanan tidak sama, tantangan yang dihadapi tidaklah berbeda. Perang melawan ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kemiskinan, dan perang untuk memperjuangkan kesejahteraan.

Tidak ada komentar: