Jumat, 28 November 2008

Empat Mata

Melestarikan Budaya Padi dan Kearifan Lokal

Yayasan Padi Indonesia (Yapadi)

Bangsa Indonesia, padi bukan hanya pangan utama atau sumber kehidupan (Rice is Life), tetapi juga bagian dari sejarah dan budaya. Hampir di semua daerah di Indonesia, menjadikan padi sebagai sumber dari pengembangan tatanan masyarakat dan nilai-nilai budaya yang ikut membentuk kerifan lokal dan pesona bangsa.

Begitu banyak keindahan dan pesona budaya bangsa Indonesia yang diilhami oleh padi. Mulai dari prosesi penggarapan lahan, sampai pada masa panen melahirkan berbagai budaya luhur bangsa, di antaranya adalah budaya gotong royong. Bersumber dari padi pula orang-orang tua dulu mendidik anak-anaknya untuk menaruh hormat kepada butir-butir nasi, tempat penyimpanan beras, serta lumbung padi sebagai simbol dari kemakmuran suatu masyarakat.

Bahkan, penghormatan tersebut sampai pada perangkat-perangkat kerja seperti bajak, garu, pacul, maupun yang hidup seperti sapi dan kerbau, sampai ke hal-hal yang imajiner seperti Dewi Sri (Jawa), Batara Sri (Bali, dan Ni Pohaci (Sunda). Dan salah satu yang paling menonjol di antara semua itu adalah sistem subak dan kerta masa atau pranata mangsa di Bali, sebuah wujud dari tradisi kearifan lokal yang diilhami oleh padi yang telah dilaksanakan selama berabad-abad dan sampai saat ini masih tetap dipertahankan.

Sistem subak merupakan kelembagaan pengelolaan irigasi pedesaan yang sangat terkenal di dunia internasional, bukan hanya di kalangan pakar irigasi, tetapi juga di kalangan pakar sosial dan budaya. Cakupan wawasan subak ternyata jauh lebih luas, termasuk nilai dasar yang terkandung dalam Tri Hita Karana, falsafat hidup masyarakat Bali. Namun, seiring dengan perjalanan waktu sistem subak menghadapi tantangan modernisasi dalam segala aspek akibat dari Triple-T Revolution, yakni Transportasi, Telekomunikasi, dan Turisme.

Menurut I.G Pitana (siapa bocah ini?), kenyataan menunjukkan bahwa pariwisata dengan segala hal yang terkait dengannya telah menimbulkan ancaman bagi eksistensi budaya padi. Hal ini paling tidak terlihat dari dua fenomena, yaitu transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor lainnya dan konversi lahan sawah beririgasi menjadi pembangunan non-pertanian.

Hal ini hampir terjadi di seluruh nusantara, akibat dari kesungguhan dalam meningkatkan produksi padi yang melampaui batas kewajaran telah menimbulkan ancaman terhadap kelestarian sumber daya alam. Dengan penuh cemas dapat disaksikan pula bahwa beberapa budaya padi yang diwarisi bangsa telah pudar. Sebagai contoh, teknologi revolusi hijau telah menggeser ani-ani sebagai alat memanen padi. Hal ini mungkin tidak terelakkan mengingat bahwa jenis unggul padi modern dirancang berpostur pendek agar mampu dipupuk secara intensif tanpa mengakibatkan kerebahan.

Namun, harus diakui bahwa pergantian ani-ani dengan sabit ikut memudarkan nilai gotong royong dan kesungguhan petani dalam memilih malai dengan bulir terbaik untuk dijadikan benih. Hilangnya ani-ani bukan merupakan gejala tunggal. Seperti yang dikemukan oleh mantan Menteri Pertanian yang juga Ketua Umum Yayasan Padi Indonesia (Yapadi) Prof. Dr. Sjarifuddin Baharsjah, teknologi revolusi hijau juga telah mendesak jenis-jenis padi unggul nasional ke ambang kepunahan manakala bangsa-bangsa lain justru menggelar Basmati dan Yasmin di gelanggang pasar internasional.

Sementara itu, menurut salah satu pendiri Yapadi, Prof. Dr. Sjamsoe’oed Sadjad, saat ini persepsi masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap padi hanya sebatas pada beras yang diproses dari padi yang selanjutnya ditanak menjadi nasi untuk habis ludes dilahap. Budaya padi secara perlahan tapi pasti telah dilahap oleh derap modernisasi jaman. Tanaman padi sepertinya hanya ditengok kalau bangsa sedang mengalami krisis. Romantika kehidupan di desa menjadi hambar, tiada kesejukan, yang ada tinggal pasar uang.

Petani yang bercucur keringat, bermandikan lumpur, tetapi tersandung pilu setiba panen, kehilangan harkatnya. Bisanya seolah hanya mengemis-mengemis subsidi, merengek-rengek kepada pedagang, bahkan kepada pejabat negeri yang tinggal jauh dari desanya. Anak-anak yang dulunya dididik oleh orang tuanya menghargai padi, menghargai beras di pendaringan, menghargai nasi di piringnya untuk tidak sampai keluar piring selagi makan, diam tidak bicara, apalagi ribut sewaktu makan. Kini kawula muda sudah enggan menengok padi di sawah, apalagi untuk bekerja di sawah.

SEBUAH KERISAUAN: Senada dengan itu, lanjut Sjarifuddin Baharsjah, yang lebih memprihatinkan adalah kurangnya minat generasi muda terhadap padi. Anak-anak sekolah tidak lagi menyanyikan senandung padi. Mahasiswa enggan memilih padi sebagai objek studi. Bahkan para pakar tak berminat meneliti padi. Oleh karena itu, ia merasa bahwa gejala-gejala ini perlu ditanggapi secara serius karena akan sangat menentukan bagi masa depan padi di Indonesia.

“Berangkat dari sebuah kerisauan dan kegelisahan terhadap memudarnya budaya-budaya padi yang diwariskan oleh bangsa Indonesia, kami mendirikan Yayasan Padi Indonesia, karena masa depan padi baik sebagai pangan, sebagai bagian dari kehidupan maupun sebagai warisan bangsa adalah tanggung jawab kita semua,” tutur Sjarifuddin, tentang latar belakang didirikannya Yapadi.

Yayasan ini bertujuan untuk melestarikan kearifan-kearifan lokal yang telah diwariskan oleh budaya padi, menanamkan penilaian budaya yang luhur terhadap padi itu ke dalam hati nurani bangsa Indonesia terutama terhadap generasi muda. Yang tidak kalah pentingnya, Yapadi ingin menempatkan petani sebagai ujung tombak produksi padi pada posisi budaya yang setimpal dan mendapatkan penghargaan hakiki yang sepadan.

“Namun YAPADI tidak bermaksud untuk membawa kembali hal-hal yang sudah maju kepada yang kuno-kuno, tetapi bagaimana kita bisa meningkatkan harkat petani kita melalui budaya di samping penghargaan kita terhadap jerih payah mereka dalam menaikkan produksi padi,” kata Prof. Dr. Ir. Sjamsoe’oed Sadjad salah seorang anggota badan pendiri Yapadi.

Untuk mencapai tujuan yang dimaksud, Yapadi menyelenggarakan sejumlah kegiatan, di antaranya seminar, diskusi panel, penerbitan buku, pameran, lomba mengarang, serta lomba melukis antar remaja dengan tema yang terkait dengan budaya padi dan kearifan-kearifan lokal yang harus dilestarikan. Salah satu sasaran yang ingin segera diwujudkan adalah mendirikan Museum Padi di beberapa daerah, yakni di Surakarta, (Jawa Tengah), Maros (Sulawesi Selatan), dan di Sumatera Barat.

Museum Padi bukanlah sekadar koleksi artifak padi, melainkan suatu hasil karya yang memberikan gambaran kepada pengunjung mengenai perkembangan alat dan perlengkapan budaya dan budi daya padi, dahulu, sekarang, dan masa depan. Agar menjadi sempurna, “Museum Padi juga dilengkapi dengan hamparan sawah yang menampilkan padi-padi jenis unggul pada semua tahap budi dayanya” kata Sjarifuddin.

Boks
Susunan Pengurus YAPADI
Badan Pendiri: Prof. Dr. Sjarifuddin Baharsjah, Prof. Dr. Ir. Justika Baharsjah, Prof. Dr. Ir. Sjamsoe’oed Sadjad, Dr. Ir. Faisal Kasryno, Ir. Sjamsudin Abas, Ir. Achmad Saubari, Soedjai Kartasasmita, Prof. Dr. Ir. Soedino M.P. Tjondronegoro, Dr. Achmad Fagi. Badan Pendiri: Ir Sjamsuddin Abas. Dewan Penasehat: Sri Sultan Hamengkubuwono X, May. Jend. H. Zainal Basri Palguna, dan Taufik Abdullah. Ketua Umum: Prof. Dr. Sjarifuddin Baharsjah. MRS

Tidak ada komentar: