Rabu, 26 November 2008

Inovasi

Sederhana Tapi Berdaya Guna

Membuat Arang Sekam

Untuk apa limbah penggilingan padi? Sebelumnya, ia hanyalah limbah tanpa guna. Namun, tumpukan sekam ini kini dapat disulap menjadi seonggok arang yang bernilai tinggi. Arang sekam, pupuk organik, serta media tumbuh tanaman, begitulah manfaat di antaranya.

Jika Anda berkesempatan berkunjung ke penggilingan padi konvensional yang ada di pelosok-pelosok pedesaan, seringkali dijumpai gunungan sekam sebagai limbah dari penggilingan padi. Setiap saat sekam ini terus bertambah bila penggilangan tersebut beroperasi memproses gabah menjadi beras.

Limbah ini di satu sisi, juga sering mendatangkan persoalan. Untuk mengurangi limbah yang terus bertambah, jika kebetulan tumpukan limbah itu berada persis di pinggir sungai, maka tumpukan itu akan dihanyutkan ke sungai. Dan, pasti sungai akan tercemar akibatnya. Terkadang, tumpukan limbah itu dibakar, sehingga asap hasil pembakarannya menimbulkan polusi udara. Berbahanya lagi jika tumpukan limbah yang dibakar itu terinjak kemudian terperosok ke dalamnya. Hasil dari pembakaran itu adalah berupa abu gosok dengan manfaat tunggal yaitu untuk membersihkan peralatan masak. Selebihnya dibiarkan begitu saja sampai ditiup angin atau dihanyutkan oleh air hujan.

Melihat pemandangan seperti ini, timbul rasa gundah dalam jiwa Ujang Ahmad Hadi. Warga Desa Mulyasari, Binong Kabupaten Subang, Jawa Barat ini teringat dengan arang sekam yang dijadikan sebagai bahan dasar untuk membuat pupuk organik dan media tumbuh tanaman di tempat ia bekerja di salah satu perusahaan tanaman hias yang ada di Kota Bandung.

Namun, persoalannya bagaimana cara membuat arang sekam dengan modal yang sangat minim. “Yang tak kalah pentingnya lagi bagaimana mengatasi dampak negatif terhadap lingkungan yang ditimbulkan oleh pembakaran limbah sekam itu,” ungkap Ujang, panggilan akrabnya, dengan nada setengah bertanya.

Setelah itu, ia memutuskan untuk kembali ke tempat saya bekerja di Bandung, dan mencari tahu bagaimana proses membuat limbah sekam menjadi arang sekam. Ia juga menyambangi tempat-tempat pemasok arang sekam. “Namun, saya tidak pernah tahu bagaimana proses pembuatan sekam menjadi arang sekam,” katanya penasaran.

Setelah beberapa lama, pada saat kembali lagi ke Desa Mulyasari, ia mendapatkan informasi bahwa tak jauh dari tempat tinggalnya, terdapat satu kelompok tani yang membuat arang sekam. Di sana, ia melihat proses pembuatan arang sekam dengan cara membakar sekam itu di suatu tempat terbuka dengan hasil yang cukup lumayan, namun asap dari pembakaran itu sangat mengganggu masyarakat di sekitarnya. “Dan, saat ini pembuatan arang sekam di desa tersebut sudah tidak berproses lagi karena diprotes warga,” tutur alumnus Fakultas Pertanian Universitas Bandung Raya, ini.

Dari pengamatan Ujang terhadap proses pembuatan arang sekam oleh kelompok tani di desa tersebut, ia memperoleh satu teori. Jika sekam itu dibakar di bawah tumpukan sekam yang sangat padat, sehingga rongga bagi keluarnya asap dan angin sangat sempit, maka proses pembakaran itu akan berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Hasilnya pun hanyalah berupa abu gosok. Oleh karena itu agar pembakaran itu menghasilkan arang sekam, maka tumpukan pembakaran itu harus dibuat longgar agar ada rongga yang luas bagi keluarnya angin bersama asap pembakaran.

Selanjutnya, Ujang melakukan uji coba terhadap kebenaran teori yang ia temukan. Uji coba itu ia lakukan di tumpukan limbah sekam penggilingan padi miliknya sendiri. Sebelum pembakaran sekam dilakukan, ia membuat semacam tunggu dari lumpur tanah dengan lubang di atasnya sebagai tempat keluarnya angin dan asap. Barulah ia membakar sekam di bawah tungku itu dengan tumpukan longgar meyebar ke samping. Ternyata, walau belum sempurna, teori tersebut berhasil membuat arang sekam seperti yang diinginkan.

Namun, tungku yang dibuatnya terlalu rendah, mengakibatkan asap masih merambah ke pemukiman penduduk. Karena itu, pada percobaan selanjutnya, tungku tanah tersebut ditinggikan sampai kira-kira asap tidak merambah ke mana-mana lagi. “Sehingga tungku tanah itu tampak menyerupai cerobong asap dan berhasil,” terang pria yang juga Ketua Kelompok Tani Kedinding itu.

Pembuatan arang sekam dengan metode seperti yang dikembangkan Ujang ternyata hanya membutuhkan waktu sekitar 14 jam untuk sekali proses pembakaran satu tumpukan sekam. Waktu yang relatif pendek ini mampu menghasilkan arang sekam yang berkualitas. Namun, ia terkendala dengan oleh persediaan limbah sekam yang masih terbatas, sehingga Ujang baru bisa menghasilkan arang sekam sekitar 200 karung per minggu dengan harga per karung sekitar Rp 4.000 – Rp 6.000.

Arang sekam buatan insinyur agronomi ini selalu luder terjual. Ia pun bangga menemukan metode ini, yang menyulap limbah sekam memiliki nilai ekonomi dan kegunaan yang tinggi. Prosesnya pun tidak menimbulkan dampak negatif pada lingkungan, tidak membutuhkan teknologi canggih dengan biaya yang sangat mahal, dan bisa menyerap tenaga kerja. Justru, atas temuannya ini Ujang mendapatkan mendapatkan bantuan dari Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat sebanyak Rp 30 juta untuk mengembangkan usaha pupuk organik dari arang sekam bersama kelompok tani Kedinding dan Gapoktan Tani Sejahtera di tempatnya. MRS
















Tidak ada komentar: