Jumat, 28 November 2008

Berasa

Antara Rasa dan Tradisi

Lemang

Bagi masyarakat setempat, lemang bukan sekadar makanan biasa. Tapi lebih dari itu, hidangan ini mengandung nilai tradisi yang mengalir secara turun-temurun. Bahkan, lemang dijadikan sebagai salah satu lambang sebuah perayaan hari-hari sakral. Artinya, sebuah acara tak akan sempurna tanpa kehadiran makanan yang dimasak di dalam bambu ini.

Selain rasanya yang mengundang selera, menurut uhang Kincai (orang Kerinci, Jambi, Red.) lemang juga menyimbolkan sebuah tradisi untuk mensyukuri hasil-hasil pertanian, khususnya beras yang melimpah ruah di kabupaten berhawa sejuk ini. Hal ini terlihat dari penyajian lemang pada setiap pelaksanaan kenduri sudah tuai (syukuran setelah masa panen) atau kenduri sko (syukuran pengangkatan pemangku adat). Dalam upacara adat tersebut, lemang dijadikan sebuah makanan wajib yang dihidangkan bagi seluruh warga yang hadir, serta dibawa pulang sebagai oleh-oleh untuk para undangan.

Bahan dasar makanan ini adalah terdiri dari ketan hitam, atau ketan lainnya. Namun, melalui kreativitas warga, saat ini lemang juga dibuat dengan menggunakan berbagai bahan dasar lainnya, seperti labu dan ubi jalar. Uniknya, makanan ini biasanya dibuat secara bergotong-royong yang dilakukan oleh kaum perempuan. Dalam pembuatannya, kaum perempuan yang biasanya berasal dari 6 hingga 8 keluarga memasak lemang pada satu tempat.

Dalam hal ini, kaum laki-laki hanya bertugas mencari bambu muda serta mendirikan penyangga yang terbuat dari potongan batang pisang dan menggunakan palang dari bambu yang berisi air. Setelah perlengkapan ini selesai, maka selesai pula tugas kaum laki-laki. Biasanya, bambu muda itu diambil oleh kaum laki-laki dari atas perbukitan.

Sambil menunggu kaum laki-laki menyiapkan perlengkapan memasak lemang, ibu-ibu beserta anak gadisnya sibuk pula melayukan daun pisang, memeras santan, serta menyiapkan bahan-bahan lainnya. Selanjutnya, daun pisang tersebut digulung untuk selanjutnya dimasukkan kedalam potongan bambu.

Namun jangan dianggap sepele untuk memasukkan gulungan daun pisang ke dalam potongan bambo. Apalagi daun pisang tersebut berada dalam keadaan lunak setelah dilayukan. Untuk memasukkan gulungan daun pisang, ibu-ibu di Kerinci mempunyai strategi tersendiri. Daun pisang tersebut disisipkan di pelepah daun pisang. Secara perlahan gulungan daun pisang tersebut dimasukkan secara berputar ke dalam bambu. Kemudian setelah kedudukan daun terletak sempurna, maka pelapah tersebut kembali diputar secara perlawanan sambil di keluarkan dari bambu.

Untuk satu ruas bambu berdiameter 5-8 cm, diperlukan 250-350 gram ketan. Berikut, bambu-bambu tersebut siap diisikan dengan bahan dasar lemang , santan secukupnya, serta sejumlah bahan rempah lainnya. Setelah itu, lemang dipanggang dengan cara bersisian dengan api. Kaum ibu-ibu secara tekun terus menjaga kobaran api sehingga tidak sampai menghanguskan bambu berisi lemang.

Bahkan, pembuatannya lebih terlihat seperti menggunakan panas asap dan bara api. Maka untuk mendapatkan lemang yang enak, uhang Kincai memasaknya dalam kisaran 3-4 jam. Mungkin saja dikarenakan lebih menggunakan panas asap dan bara, lemang uhang Kincai memberikan rasa yang menjanjikan.

Tidak sulit menemukan lemang di Kerinci. Sebab selain menjadi menu penting dalam setiap acara sakral, lemang juga sudah dijadikan sebagai komoditas komersial. Untuk itu, lemang juga mudah ditemukan di Pasar Tanjung Bajure Sungai Penuh, serta di semua balai yang ada.

Berbeda dengan lemang untuk keperluan upacara sakral, ukuran lemang untuk dikomersilkan relatif lebih besar. Biasanya para pedagang memasak lemang jualannya didalam bambu berukuran 8–12 cm. Salah seorang pedagang lemang yang biasa dipanggil Bu Agus mengungkapkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pembeli, ia harus memasak lemang sebanyak 15 ruas bambu setiap harinya dengan mengabiskan 7,5–10 kilogram ketan.

Untuk memanjakan selera pembeli, Bu Agus berupaya menjajakan lemang dalam keadaan panas. Untuk itu, pembuatan lemang dagangannya dilakukan pada pagi dini hari. Proses memasaknya dimulai sejak pukul 03.00 pagi. Dengan demikian lemang yang dijual pada pagi hari masih terasa hangat.

Untuk mendapatkan kelezatan lemang uhang Kincai ini, pembeli tidak perlu mengocek kantong begitu besar. Untuk setiap batangannya hanya dijual seharga Rp 20.000. Selain itu juga dijual dalam bentuk irisan tipis seharga Rp 1.000 per potong. Dengan harga yang demikian murah, para pembeli sudah bisa menikmati hangatnya lemang khas Kerinci.

VARIASI RASA: Untuk memberikan variasi rasa, Bu Agus juga memadukan rasa lemang dengan rasa tape. Maka selain menjual lemang sebagaimana umumnya, ia juga menyediakan lemang tape. Lemang tersebut, kata dia, bukannya dimasak dengan memasukkan bahan tape. Namun lemang tersebut dimakan bersamaan dengan kuah tape ketan hitam. Variasi ini merupakan salah satu cara untuk lebih menikmati kelezatan lemang Kerinci. Selain itu, lemang juga acapkali dijadikan sebagai pengganti nasi. Artinya, lemang dimakan dengan menambahkan gulai ataupun sambal yang diinginkan.

Bu Agus juga menyediakan lemang dengan bahan dasar labu dan ubi jalar. Namun, lemang labu dan ubi tersebut seringkali dibuatnya jika mendapat pesanan dati pembeli. Sebab, peminat lemang labu dan ubi relatif lebih sedikit dibanding peminat lemang ketan. Hal ini, kata Ibu Agus bisa jadi dikarenakan lemang labu dan ubi tidak bisa dimakan dengan menggunakan variasi lain, sehingga lebih mudah menjemukan.

Salah seorang pemangku adat Kerinci, M. Nasir Depati Gelar Rajo Mudo menyebutkan bahwa tidak ada keterangan pasti tentang awal mulanya kebiasaan membuat lemang di Kerinci. Namun yang jelas, makanan tersebut merupakan salah satu menu kunci dalam setiap kegiatan-kegiatan sakral. Karena kebiasaan turun temurun tersebut, sudah bisa dipastikan bahwa seluruh kaum wanita di kabupaten paling barat Provinsi Jambi ini memiliki pengetahuan dalam membuat lemang.

Sementara Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Kerinci H. Hoesni Hasan menyimpulkan bahwa lemang merupakan salah satu cara masyarakat Kerinci untuk mensyukuri hasil-hasil pertanian. Untuk itu, lemang selalu dihidangkan dalam setiap kenduri sudah tuai, kenduri sko, atau acara-acara syukuran lainnya.

Tradisi ini, kata H. Hoesni, menunjukkan bahwa uhang Kincai selalu ingin meluapkan kegembiraan dan rasa syukurnya atas anugerah hasil pertanian. Makanya, lemang tidak saja disuguhkan dalam jamuan, namun juga diberikan sebagai oleh-oleh bagi para undangan yang datang.

Hingga saat ini memang belum ada petunjuk pasti kenapa dan sejak kapan tradisi itu dilakukan. Namun yang jelas, kebiasaan bersyukur itu harus tetap dipelihara oleh masyarakat Kerinci. “Ini wujud syukur. Dan memang rasa lemang selalu mengundang selera,” kata Hoesni Hasan. MEN

Tidak ada komentar: