Jumat, 28 November 2008

Inovasi

Mendorong Produktivitas Pertanian

Pupuk Cendana

Bumi nusantara ternyata menyediakan bahan baku untuk menghasilkan pupuk organik yang berkualitas. Proses pengolahannya pun tidak membutuhkan tempat yang luas dan pabrik yang modern. Contohnya, konsep pupuk organik ini ternyata tidak perlu mengikuti dalil dan logika para ahli pertanian pada umumnya. Namun, jangan diragukan soal kemampuannya.

Alam semesta ini ternyata menyimpan beragam fasilitas yang sangat adil terhadap umat manusia. Masing-masing belahan dunia yang memiliki kekayaan alam tersendiri, dan pasti cocok serta bermanfaat untuk manusia di sekitarnya. Artinya, di belahan bumi mana pun tetap ada satu potensi yang bisa dikembangkan seoptimal mungkin asalkan manusia mampu memerankan dirinya sebagai pemimpin di dunia.

Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an. “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi terdapat tanda-tanda kebesaranNya bagi orang-orang yang mau berpikir,” begitu firman Allah. Tak ada hal sekecil apa pun di muka bumi ini terjadi secara kebetulan, pasti ada hikmah dan manfaatnya. Namun, untuk menggali semua itu sangat tergantung kepada manusia yang telah dianugerahkan akal dan daya karsa.

Pemahaman dan keyakinan ini tertanam kuat dalam diri Achmad Budi Hardjo. Pemahaman ini diperkuat oleh dukungan yang sangat dominan dari sang ayah. Pria kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, 23 Juli 1953, ini pun tergerak untuk mempelajari berbagai jenis tanah yang ada di sekitar tempat tinggalnya sejak duduk di bangku sekolah dasar. “Semua itu untuk mengetahui segala manfaat yang terkandung dalam tanah yang diwariskan oleh Sang Pencipta kepada umat manusia,” kata pria yang akrab dengan sapaan Budi itu.

Pada perjalanannya, karena kekagumannya yang luar biasa akan kebesaran Allah pada selembar dedaunan hijau, ia pun terinspirasi untuk menghasilkan pupuk organik yang bahan bakunya bersumber dari bumi tempat ia berpijak. “Saya kadang-kadang sering disebut orang gila, karena kalau saya sedang memandang hijaunya dedaunan sampai satu hari saya betah, sebab dalam satu lembar hijau daun di situ ada tanda kebesaran Allah, dan itu besar sekali,” tuturnya.

Di satu lembar daun itu, lanjut Budi, sebuah proses kehidupan yang tak pernah kita pikirkan sebelumnya telah terjadi. Ada satu industri yang ultra modern, super canggih, dan multifungsional. Di sana ada proses penyerapan energi, proses pengolahan berbagai kebutuhan, serta proses pendistribusian segala kebutuhan secara proporsional dan menakjubkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing bagian yang ada di tumbuhan itu.

Untuk mewujudkan obsesi itu, sejak duduk di bangku SMA, pemilik suara merdu nan melankolis itu melakukan sejumlah penelitian secara sungguh-sungguh dan konsisten selama bertahun-tahun terhadap berbagai jenis tumbuhan, kotoran hewan, cacing, dan lain sebagainya. ”Semua yang saya teliti itu ternyata bisa memberikan manfaat yang sangat besar baik bagi manusia, hewan, maupun bagi tumbuhan itu sendiri,” kata pria yang sama sekali tidak pernah belajar tentang ilmu pertanian secara formal itu.

Di tengah proses penelitian yang ia lakukan, sering muncul sejumlah pertanyaan. Misalnya, kenapa para ahli pertanian selalu berpikir bahwa tanaman itu hanya butuh unsur makro dan mikro? Kalau hanya itu yang dibutuhkan maka pertanyaannya; kenapa terkadang bahkan seringkali tanaman yang telah diberikan pupuk itu tetap tidak subur, tetap kuntet, serta tidak sehat untuk dikonsumsi?

Sejumlah soalan itu ternyata membuat lulusan teknik arsitektur, Universitas Trisakti, ini makin termotivasi untuk belajar lagi. Dalam penemuannya, ternyata ada beberapa unsur lain selain unsur makro dan mikro yang dibutuhkan oleh tanaman yang semuanya sudah tersedia pada tanah dan pada pupuk itu sendiri namun tidak terserap secara maksimal. Agar segala kebutuhan itu bisa terserap secara maksimal dibutuhkan sebuah penghubung.

Kemudian, ia belajar lagi apa yang bisa berfungsi sebagai katalis dan ternyata yang bisa berfungsi sebagai enzim. Lalu, pertanyaannya bagaimana menghasilkan enzim itu? Mulailah bapak tiga anak yang juga seorang pelukis ini belajar lagi bagaimana menghasilkan enzim.

Ketika satu pertanyaan terjawab, pertanyaan lainnya muncul lagi. Setiap pertanyaan yang muncul senantiasa mendorong ia untuk terus belajar dan meneliti. Dari serangkain penelitian yang dilakukannya secara sungguh-sungguh dan konsisten selama lebih kurang 25 tahun, ia berhasil menemukan pupuk organik yang benar-benar bebas dari unsur kimiawi yang secara konseptual sulit diterima oleh logika para pakar pertanian manapun.

“Konsep pupuk organik yang saya ciptakan bukan hanya untuk menghasilkan unsur makro dan mikro, tetapi membangun pabrik pupuk di dalam tanah itu sendiri. Pelakunya (produsennya) adalah mikrobia-mikrobia dan bahan-bahannya semua sudah komplet di dalam tanah, termaksuk unsur makro-mikro,” katanya. Oleh karena itu, hanya butuh enzim yang berfungsi sebagai katalis antara mikrobia-mikrobia dengan tanah agar mampu memproduksi dan mensuplai semua kebutuhan tanaman secara maksimal.

Dari proses penanaman sampai produksi pupuk ini tidak langsung ke tanaman, tapi kepada tanah sebagai media tanaman itu sendiri. Logikanya, kita akan hidup sehat kalau rumah dan lingkungan sebagai media hidup kita itu sehat. Bagaimanapun sehatnya makanan yang kita konsumsi, tapi kalau media hidup kita tidak sehat, rumah pengap sirkulasi udara tidak bagus, maka penghuninya juga tidak akan hidup sehat. Begitulah keyakinan yang dianut Direktur Utama PT Exotica, ini.

yang secara konsisten melaksanakan puasa 40 hari kemudian berbuka selama 30 hari, lalu berpuasa lagi selama 40 hari dan seterusnya sepanjang hidup

Mendengar tentang konsep pupuk organiknya, para pakar pertanian selalu bilang tidak mungkin, apalagi ketika mengetahui bahan-bahan baku yang ia gunakan sangat sederhana, seperti cincau, kecambah, temu lawak, bawang putih, cabe, dan lain sebagainya. “Makanya oleh para pakar pertanian saya sering ditertawakan, opo sih kayak main-main?,” cerita pria rajin berpuasa ini.

Namun, keampuhan pupuk organiknya telah dibuktikan di hadapan para doktor pertanian pada tanaman padi di lahan persawahan milik Universitas Wangsa Menggala, Yogyakarta yang sebelumnya merupakan kebun singkong, dengan hasil 8 ton GKP/hektar.Di Kabupaten Sumedang, persawahan yang menggunakan pupuk ini mampu memanen rata-rata menghasilkan 10-15 ton GKP per hektar.


Dengan pupuk organik temuannya pula, ia berhasil mengantarkan pengusaha nasional H. Probosutedjo menciptakan Metode Sukamiskin sekaligus meraih penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI), karena berhasil mengembangkan satu benih padi menjadi 190 batang. Selanjutnya, sejak bermitra dengan PT. TKTM pada pertengahan tahun 2007 lalu, pupuk organik temuannya diberi nama Pupuk Cendana. Dengan kualitas yang dihasilkan, orang selalu berpikir bahwa pupuk tersebut pasti diolah dengan pabrik yang besar dan teknologi canggih. “Padahal hanya dengan menggunakan beberapa drum dengan lokasi 3x3m,” ungkapnya sembari tersenyum.

Kini, bersama Probusutedjo di bawah bendera PT. Tedja Kencana Tani Makmur (TKTM), ia tengah menjalin kerja sama dengan para petani di beberapa Kabupaten, di antaranya Sumedang, Majalengka, Cianjur, Indramayu, Subang (Jawa Barat), Klaten, Yogyakarta, dan sejumlah daerah lainnya. Kerja sama ini difokuskan dalam rangka mengembangkan padi organik, pelestarian benih padi unggul lokal, dan mewujudkan kedaulatan pangan.

Dengan keberhasilan atas inovasi yang ditemukannya, Budi senantiasa tetap mengagumi sarjana-sarjana pertanian yang telah kita miliki. “Saya sangat kagum terhadap para sarjana pertanian Indonesia. Mereka bisa bekerja di mana pun dengan profesi apa pun,” katanya. Bahkan, Presiden kita pun juga seorang doktor pertanian. Namun, lanjut Budi, hanya satu profesi yang sarjana pertanian tidak bisa bekerja, yaitu di bidang pertanian itu sendiri. Nah! MRS

Tidak ada komentar: