Selasa, 06 Januari 2009

Editorial

Sekali Lagi, Saatnya Membangun Pangan yang Berdaulat

Krisis pangan melanda dunia. Lonjakan harga komoditas pangan dunia tidak hanya mengakibatkan kelaparan dan kekurangan gizi bagi ratusan penduduk miskin dunia, tetapi juga telah menyulut kerusuhan sosial di sejumlah negara. Haiti, Nigeria, Kamerun, Mesir, Madagaskar, Banglades, dan Pilipina telah merasakan dampaknya. Jika tidak ada antisipasi secara signifikan, bisa jadi Indonesia tinggal menunggu waktu.

Stok pangan dunia yang cenderung menurun sejak dekade terakhir, sementara kebutuhannya terus membumbung seiring dengan pertambahan penduduk diyakini banyak pihak sebagai pemicu terjadinya krisis pangan global. Hal ini diperparah oleh perubahan iklim global yang menjungkir-balikkan target produksi pangan, pola konsumsi bahan pangan yang belum ada perubahan, serta ulah para spekulan.

Yang mengkhawatirkan, Bank Dunia memprediksikan bahwa tingginya harga bahan pangan bakal berlangsung lama, dan baru menurun pada tahun 2015. oleh karena itu, tidak ada cara lain bagi kita untuk menjadikan momentum ini sebagai saat yang tepat untuk menggelorakan kembali semangat kemandirian dan kedaulatan pangan. Saatnya pula menggalang kesadaran nasional dan menggelorakan semangat seluruh anak bangsa untuk berhenti mengimpor. Mulai sekarang, kita harus memproduksi semua bahan pangan dan komoditas sumber daya hayati lainnya yang bisa dibudidayakan di bumi nusantara ini.

Studi yang dilakukan badan pangan dunia FAO pada tahun 1997 menyebutkan bahwa sebuah negara dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta jiwa tidak akan maju dan makmur, jika pemenuhan kebutuhan pangannya bergantung pada negara lain. Inilah peringatan keras bagi kita sebagai bangsa untuk segera mengambil langkah-langkah strategis guna menyelamatkan masa depan kita bersama.

Saat ini berbagai negara pengekspor utama bahan pangan sudah mulai membatasi bahkan menyetop ekspor demi mengamankan ketahanan nasionalnya masing-masing. Ini harus menjadi cambuk bagi kita untuk membangun kedaulatan pangan nasional. Artinya, kita harus memenuhi kebutuhan seluruh bahan pangan dari hasil produksi sendiri, kecuali untuk bahan pangan yang memang belum bisa dibudidayakan di tanah air, seperti gandum. Selebihnya, tidak ada kata lain, genjot produktivitas pertanian dengan program dan upaya yang maksimal.

Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia dengan kekayaan alam melimpah dan lahan pertanian yang cukup luas, tidak selayaknya Indonesia terkena imbas dari krisis pangan dunia saat ini. Namun, karena kita sejak awal tahun 1990-an selalu menomorduakan pembangunan pertanian, segalanya serba instan. Kekurangan pangan, impor. Apa-apa impor. Hasilnya? Kini kita malah menjadi salah satu bangsa pengimpor terbesar produk-produk pertanian termasuk beras, terigu, kedelai, jagung, dan lain-lain.

Sebagai negara agraris dengan daratan yang luas, kita seharusnya lebih tegas dan selektif lagi dalam menyoroti masalah alih fungsi lahan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kelestarian produksi. Kini, laju konversi lahan pertanian di Indonesia mencapai lebih dari 120.000 ha pertahun. Untuk itu, kita harus belajar dengan Jepang yang secara konsisten melarang alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan industri, pemukiman, dan prasarana pembangunan lainnya.

Selain itu, tata ruang wilayah nasional yang kondusif bagi tumbuhkembangnya sektor-sektor ekonomi Sumber Daya Alam harus segera disusun dan diimplementasikan. Pencemaran lingkungan oleh industri, pertambangan, rumah tangga, dan kegiatan pembangunan lainnya harus dikendalikan.

Hal lain yang tak pentingnya dalam mewujudkan ketahanan sekaligus kedaulatan pangan adalah perlunya kita segera mengembangkan diversifikasi pangan. Apa pasal? Ketergantungan kita pada beras dan terigu sudah keterlaluan, dan mencapai 62% total asupan harian. Padahal yang baik dari segi gizi, jumlah maksimum bahan pangan dari serealia adalah 50%. Bangsa Indonesia merupakan konsumen beras tertinggi di dunia yakni 139 kg/kapita/tahun. Angka ini jauh melampaui Jepang (60 kg), Malaysia (80 kg), Thailand (90 kg), dan rata-rata dunia (60 kg).

Tingginya konsumen beras mengakibatkan 31 juta ton beras yang kita hasilkan setiap tahun tidak mencukupi kebutuhan nasional. Oleh karena itu, mulai sekarang kita harus secara serius dan secara terus menerus berkomitmen untuk mengurangi konsumsi beras sampai tingkat ideal, yakni 87 kg beras per kapita. Secara simultan kita harus lakukan diversifikasi pangan non-beras seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu, kentang, jagung, dan aneka ragam pangan lainnya. Jika tidak dilakukan dari sekarang, kapan lagi?

Tidak ada komentar: