Kamis, 08 Januari 2009

Mancanegara

China-Lite Merajai Pasar Dunia

Vietnam

Si macan kecil Asia sekarang tak malu-malu menampakkan taringnya. Perlahan tapi pasti, Vietnam kini mulai merajai pasar dunia terutama soal perberasan dan perikanan. Sekaligus, mengupayakan sektor pertanian sebagai tulang punggung perekonomian Vietnam.

Vietnam (bahasa Vietnam: Việt Nam), bernama resmi Republik Sosialis Vietnam (Cộng Hòa Xã Hội Chủ Nghĩa Việt Nam) adalah negara paling timur di Semenanjung Indochina di Asia Tenggara. Vietnam berbatasan dengan Republik Rakyat Cina di sebelah utara, Laos di sebelah barat laut, Kambajo di sebelah barat daya dan di sebelah timur berbentang Laut China Selatan. Dengan populasi sekitar 84 juta jiwa, Vietnam adalah negara terpadat nomor 13 di dunia.

Tidak hanya itu, Vietnam juga termasuk di dalam grup ekonomi “Next Eleven”. Menurut pemerintah setempat, Grost Domestic Product (GDP) Vietnam tumbuh sebesar 8.17 % pada tahun 2006, negara dengan pertumbuhan tercepat kedua di Asia Timur dan pertama di Asia tenggara. Akhir tahun 2007, Menteri Keuangan Vietnam menyatakan pertumbuhan GDP Vietnam diperkirakan mencapai rekor tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir yakni sebesar 8.44 %.

Sejatinya, negeri ini boleh dibilang negara yang cukup potensial dalam segala hal, apalagi sektor pertaniannya. Sejak dimulainya era reformasi “Doi Moi” pada tahun 1986, Vietnam mulai meninggalkan sistem ekonomi sosialnya dan mengadopsi sistem kapitalis yang lebih berorientasi pasar. Sejak saat itu pula, Vietnam melakukan pembenahan habis-habisan di sana sini dan sekaligus menggenjot pembangunan di dalam negeri. Sebagai penggerak utama pembangunan negeri, tak lain adalah sektor pertanian termasuk perikanan. Tak kurang sekitar 80 % penduduk Vietnam menyandarkan hidupnya pada sektor ini.

Jika bicara soal perberasan, pastinya negara Vietnam sangat merajai sektor ini. Bahkan, Vietnam kini menjadi salah satu negara eksportir terbesar beras di dunia. negara ini pun mampu mengukuhkan diri sebagai negara produsen produk pertanian yang disegani di dunia.

TULANG PUNGGUNG: Seperti Indonesia dan Thailand, Vietnam juga mengandalkan sebagian besar hidup perekonomiannya pada sektor pertanian, terutama beras. Sejak terjadinya reunifikasi tahun 1975, Vietnam menetapkan pertanian sebagai tulang punggung perekonomiannya. Ini bukan tanpa alasan. Saat itu, lebih dari 60 persen rakyatya hidup dari pertanian padi yang dikelola secara kolektif. Oleh karena itu, meski ingin menjadi negara industri, pemerintah Vietnam sadar tidak mungkin meninggalkan begitu saja pertaniannya. Apalagi, tingkat pendidikan dan kemampuan masyarakat untuk mengadopsi ilmu dan teknologi yang menjadi syarat utama industri belum mencukupi. Lompatan yang terlalu cepat hanya akan membuat rakyat gagap. Kenyataan ini disadari sepenuhnya oleh para pemimpin Vietnam.

Untuk itu, diambil keputusan untuk membagi pembangunan Vietnam dalam dua arah. Wilayah selatan dikembangkan menjadi daerah industri dan perdagangan, sementara wilayah utara untuk pertanian karena iklimnya lebih memungkinkan. Agar antara utara dan selatan tidak terjadi jurang yang dalam, pada tahap awal pemerintah Vietnam memfokuskan diri dalam membagunan infrasutrur, mulai dari irigasi, pencetakan sawah hingga jalan-jalan yang menembus sampai pelosok-pelosok desa yang menjadi sentra produksi padi.

CHINA-LITE: Pemerintah Vietnam dengan ketat menjaga agar tidak terjadi alih fungsi tanah pertanian, terutama sawah yang beririgasi dengan kepentingan lain. Pelanggaran terhadap hal ini akan mendapat hukuman sangat berat, bahkan dikategorikan sebagai kejahatan politik. Pemerintah memang tidak memberikan subsidi, tetapi segala kebutuhan sarana produksi pertanian. Khususnya padi, dijaga ketersediannya oleh pemerintah. Mulai dari benih, pupuk, pestisida hingga alat-alat pertanian dengan mudah dan bisa diperoleh oleh petani melalui koordinator kelompoknya.

Ini hampir mirip dengan suasana di Indonesia ketika melakukan revolusi hijau melalui program Bimbingan Massal (Bimas) untuk mencapai target swasembada beras yang dicanangkan oleh mantan Presiden Soeharto. Namun, sebagai negara sosialis, Vietnam mempunyai kebijakan kepemilikan tanah yang lebih tegas. Ada batas minimun kepemilikan lahan yang dijaga oleh pemerintah. Lebih dari 80 persen kebutuhan pangan keluarga petani dipenuhi sendiri oleh lahan pertanian yang dimiliki keluarga itu.

Kelebihan produksi yang tidak dikomsumsi oleh keluarga boleh dijual ke pasar, dengan harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Penjualan kepada pemerintah maupun ke pasar akan mendapatkan harga sama baiknya. Namun, ada ketentuan yang tidak tertulis, tetapi berlaku di masyarakat, yakni bahwa keluarga petani akan menyerahkan beras terbaiknya untuk dikelola pemerintah, yang diperuntukkan untuk ekspor. Sementara yang kurang baik dikomsumsi sendiri. Hanya dalam kurun waktu 11 tahun sejak reunifikasi atau berakhirnya perang saudara, Vietnam telah menjadi negara pengeskpor tidak hanya padi, tetapi juga hasil pertanian lainnya seperti gula, kacang tanah, kopi, teh, karet, dan serat jute.

Hingga hari ini pemerintah Vietnam tetap berupayakan untuk menjadikan pertaniannya sebagai tulang punggung, meski industrinya mulai berkembang dan meluas. Bekerja sama dengan Cina, Kamboja, dan Laos, Vietnam membangunan infrastruktur di daerah aliran sungai Mekong. Proyek yang akan selesai tahun 2010 ini akan menjadi landasan kuat bagi pembangunan pertanian negara-negara di Indochina itu. Banyaknya sungai besar di Vietnam seperti Sungai Mekong dan Saigon sangat berpengaruh besar terhadap kompetitifnya biaya angkutan yang menggunakan transportasi air tak terkecuali komiditas pertanian khususnya gabah dan beras.

Dengan dukungan yang diberikan pemerintah, pertanian kini benar-benar menjadi tulang punggung perekonomian Vietnam. Beras menyumbang 90 persen dari total produksi pangan dan sekitar 50 persen dari total produksi pertanian. Dari total lahan pertanian yang ada, sekitar 78 persen dialokasikan untuk tanaman padi.

Pada tahun 1995, dengan areal padi seluas 4,2 juta hektar, produksi padi negara ini sudah mencapai 25 juta ton. Produksi beras Vietnam meningkat rata-rata 5 persen (sekitar 1 juta ton), setiap tahun sejak tahun 1989. penerimaan ekspor beras menyumbang sekitar 30 persen dari total devisa ekspor produk pertanian dan kehutanan. Vietnam sendiri sekarang ini merupakan eksportir beras terbesar kedua di dunia, dengan menguasai sekitar 15-17 persen pangsa pasar beras di dunia. Berbagai survei menunjukkan, biaya produksi beras Vietnam adalah yang terendah dikawasan Asia Tenggara.

Bahkan, di kawasan Delta Cuu Long, biaya produksi adalah yang terendah di dunia karena kondisi alam yang sangat mendukung. Dalam hal kualitas, Vietnan memang kalah dari Thailand. Saat ini baru sekitar 40 persen dari total produksi beras Vietnam yang termasuk kualitas bagus (5-10 persen pecah), sementara 70 persen beras produksi Thailand sudah merupakan beras kualitas bagus. Meskipun demikian, di pasar interasioal beras Vietnam menjadi pesaing berat bagi beras dari India, Cina, dan bahkan Vietnam.

Dalam hal produktivitas padi, Vietnam sudah melampaui Thailand. Pada tahun 2000 produktivitas (diukur dari volume produksi per hektar lahan) di Vietnam sekiatr 1,7 kali dibandingkan Thailand. Sementara, biaya produski juga jauh lebih kompetitif yakni US$220 per ton. Untuk Thailand, US$250 per ton.

Menurut Luang Le Phuong, Deputi Menteri Pertanian dan Pembangunan Pedesaan di Vietnam, ekspor produk pertanian dan kehutanan negaranya selama kuartal I 2008 mencapai US$ 3,2 miliar atau naik 11,6 % dibandingkan tahun sebelumnya. Produk-produk pertanian meningkat 11,5 % menjadi US$ 1,7 miliar. Produk kehutanan dan furnitur dari kayu naik 12% atau senilai US$ 712 juta. Produk-produk akuatik meningkat 11 % atau mencapai US$ 800 juta. Bahkan, Vietnam berencana melakukan perdangana bebas yang tergantung pada sektor ekspor dan investasi asing. Perusahaan AS seperti Intel Corp dan Ford Motor Co menanamkan investasi yang cukup besar di Vietnam.

Sebelumnya, AS melakukan embargo terhadap Vietnam untuk urusan ekonomi selama kepemimpinan Bill Clinton pada tahun 1994. saat ini konsumen AS telah membeli satu per lima dari total ekspor Vietnam sehingga membantu meningkatkan pertumbuhan ekonominya sampai 7,5 % sejak 2000. Kini, Vietnam dikenal sebagai ‘China-Lite’, pada tahun 2006 membukukan pertumbuhan ekonomi 8,2 %. Tidak hanya itu, Vietnam juga berhasil meraup investasi asing sampai US$9,5 miliar.

MERAJAI PASAR: Di sektor perikanan, Vietnam yang pendapatan per kapita per tahunnya mencapai sekitar US$410 atau setengah dari Indonesia yang mencapai US$800, mulai berlari megejar China, raksasa akuakultur dunia. Selain udang yang menjadi andalan ekspor komoditas perikanan, Vietnam juga dikenal sebagai produsen utama ikan patin (catfish). Dua spesies patin lokal Vietnam, jenis tra dan basa saat ini telah menjadi primadona di hampir seluruh pasar dunia.

Lima tahun lalu, ikan patin hanya bisa di jumpai di pasar-pasar lokal. Kini, ikan berhabitat utama sungai ini bisa dijumpai di pasar internasional. Di Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE) dan pasar Asia, popularitas patin terus menanjak dari waktu ke waktu. Kebutuhan dunia akan patin saat ini diperkirakan mencapai 4 ton. Dari jumlah tersebut, 90 % dipenuhi oleh Vietnam. Bahkan, kabar yang beredar terdapat sekitar 70 perusahaan pengeskpor patin di Vietnam.

Nilai ekspor patin dari Vietnam pada tahun 2007 diprediksi akan melonjak dari perolehan tahun sebelumnya yakni US$ 661 juta pada tahun 2006 dan US$ 328 juta pada tahun 2005. volume ekspornya pada tahun 2007 diramalkan akan mencapai 1 juta ton. Angka ini lebih besar dari volume ekspor pada tahun 2006 yang mencapai 800 ribu ton. Dari total volume ekspor pada 2006 tersebut, 46 % di antaranya mengisi pasar UE, 11,2 % memasok pasar Rusia 9,8 % menuju pasar AS dan 8,7 % mengisi pasar Asia Tenggara. Maka, bersiaplah kita melihat macan baru di Asia. PIT





Tidak ada komentar: