Selasa, 06 Januari 2009

Resonansi

PADI DAN NENEK MOYANG KITA
Oleh: M. Nur Gaybita

"Nenek moyang kami adalah petani padi,” teriak petani Korea Selatan dan Jepang saat berunjuk rasa menentang liberalisasi pasar beras. Mereka menuntut agar usaha tani padi harus dilindungi. Perlindungan itu, menurut mereka, terkait keyakinan dan penghormatan terhadap nenek moyang mereka sebagai petani padi.

Pertanyaannya kemudian, apakah nenek moyang bangsa Indonesia juga petani padi?
Sebuah penelitian tentang kosakata budaya pada masa prasejarah menunjukkan bahwa bercocok tanam padi sudah dilakukan pada masa itu. Dalam buku Masa Lampau Bahasa Indonesia, Sebuah Bunga Rampai (1991), Ahli bahasa Robert Blust menyatakan, dari penelitian kosakata budaya itu diketahui bahwa penutur bahasa Melayu Purba memiliki orientasi kelautan yang kuat. Pada saat yang bersamaan, rakyat mempraktikkan hortikultura ladang, padi gogo, dan umbi-umbian.

Dalam buku yang sama, mengutip penelitian Hendrik Kern asal Belanda, disebutkan bahwa kosakata yang terkait dengan padi ditemukan penutur di bagian barat Austronesia, asal nenek moyang bangsa Melayu. Namun, tuturan ini tidak ditemukan di wilayah timur.
Penelitian ini diperkuat dengan temuan kata beras di Indonesia dan kata bras di Tibet yang memiliki arti yang sama. Ternyata, orang Tibet meminjam kata bras dari bahasa Austronesia, yaitu ketika penutur kedua bahasa berhubungan di satu tempat. Tempat pertemuan itu kemungkinan berada di Asia Tenggara.

Di awal abad Masehi, pertanian padi di Nusantara tergolong masih sederhana. Nyaris tidak ada sentuhan teknologi. Aplikasi teknologi dalam cocok tanam padi mulai muncul ketika pengaruh India masuk.

Selanjutnya, nenek moyang kita mulai menanam padi dengan cara pengairan atau yang sekarang dikenal dengan sawah. Kitab Desawarnana atau Negarakertagama menceritakan, raja memanggil rakyatnya untuk membuka hutan, kemudian menjadikannya lahan untuk sawah. Rakyat yang mendapat hak untuk mengelola lahan itu harus membayar pajak ke raja. Sawah beririgasi juga sudah disebut dalam kitab itu.

Selain berbagai catatan di atas, keberadaan Dewi Sri sebagai dewi pelindung pertanian, membuktikan bahwa budidaya padi merupakan bagian hidup yang penting dari masyarakat di Nusantara, terutama Jawa. Hingga kini pemujaan terhadap Dewi Sri masih dilakukan petani di berbagai daerah. Dewi Sri dianggap sebagai tokoh mistis yang dapat memengaruhi kehidupan manusia sebagai pelindung pertanian.

Kisah-kisah petani padi setelah pertengahan abad ke-19, khususnya sejak era tanam paksa diberlakukan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830), makin banyak diwarnai kisah pilu. Pada masa itu mulai terdapat kelaparan di berbagai daerah akibat konversi sawah menjadi lahan perkebunan. Meski mayoritas terbesar penduduk Jawa bekerja di sektor pertanian, makin banyak penduduk di daerah pedesaan terlibat dalam kegiatan nonpertanian sebagai sumber penghasilan.

Kemiskinan dan kemandekan, begitulah citra kaum tani di Jawa yang muncul sejak abad ke-19 hingga sekarang. Pulau Jawa memang dihuni jutaan petani yang harus hidup dari petak-petak tanah mereka yang kecil. Mereka juga berjuang keras untuk hidup di daerah perkotaan yang padat penduduk.

Peristiwa kelaparan kembali terjadi setelah krisis ekonomi tahun 1930. Situasi itu tentu meresahkan. Ketimpangan yang semakin besar di Jawa ibarat bom waktu yang siap meledak kapan saja. Situasi masa itu terus berlanjut.

Yang pasti, apa pun situasinya pada masa lalu dan masa sekarang, pengakuan terhadap nenek moyang kita yang adalah petani padi tidak bisa dihindari. Coba teliti nama-nama orang tua atau kakek-nenek kita sendiri, dengan mudah ditemukan bahwa nenek moyang kita memang petani padi. Ponimin, Parjiman, Mujinem, Mujirah, Parijan, dan lain-lain, adalah bukti bahwa para pendahulu kita memiliki asal-usul yang memang dari generasi petani padi masa lalu. Seorang peneliti bernama R Hatley (1977) pernah menyelidiki sejumlah nama penduduk di Jawa. Ia menemukan beberapa nama yang menunjukkan asal lingkungannya adalah dusun-dusun agraris.

Nenek moyang kita adalah petani padi merupakan sebuah pengakuan yang patut diapresiasi. Semangat sebagai masyarakat agraris sepatutnya kita warisi dan tanamkan pada generasi kita kelak. Tak perlu malu menjadi petani. Modernisasi dan industrialisasi yang tak seharusnya membuat kita alpa dengan masa lalu dan asal-usul kita.

Dari kenyataan ini, masihkah kita tega membiarkan petani padi kita sengsara, padahal kita tahu persis mereka adalah generasi penerus nenek moyang kita? Negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang menggunakan kisah, sejarah, dan tradisi nenek moyangnya dalam berdiplomasi di forum internasional agar para petani mendapat perlindungan yang memadai. Bagaimana dengan kita?

Tidak ada komentar: