Senin, 26 Januari 2009

Varia

Menggenjot Produktivitas dengan Bibit Unggul


Varietas-varietas Padi Produksi Tinggi


Banyak jalan menuju Roma, begitu pepatah berkata. Bukan sekadar rangkaian kata sia-sia, pengalaman mengajarkan bahwa di setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Dalam hal pertanian, menyempitnya lahan juga dapat diatasi dengan penggunaan bibit unggulan.


Krisis pangan dan kenaikan harga beras dunia sebesar 141 % sejak Januari 2008 telah menuai prahara di beberapa belahan dunia. Di Pantai Gading, protes rakyat akibat kenaikan harga beras berakhir dengan kekerasan. Di Kamerun, 24 orang tewas dalam huru-hara menolak kenaikan harga beras. Sementara di Haiti, demonstrasi penolakan kenaikan harga beras akhirnya memaksa sang Perdana Menteri mundur dari Jabatannya.


Sebagai negara pengimpor beras selama 15 tahun terakhir, kenaikan harga beras dunia dan dampak nyata yang telah ditimbulkannya di negara-negara tersebut di atas membuat Indonesia was-was. Apalagi dari waktu ke waktu tingkat konsumsi masyarakat Indonesia akan beras terus meningkat dengan angka yang fantastis. Misalnya, tahun 2005 tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap beras mencapai 139 kilogram per kapita per tahun, padahal tiga tahun sebelumnya hanya 115 kilogram.


Artinya, peningkatan itu bukan saja karena peningkatan jumlah penduduk yang terus bertambah, tapi juga karena pola konsumsi masyarakat itu sendiri juga terus meningkat. Karena belum dikatakan makan jika belum menyantap nasi. Namun, sayangnya peningkatan angka konsumsi akan beras itu tidak diimbangi dengan peningkatan produksi beras dalam negeri, tapi justru sebaliknya.


Bersamaan dengan itu, lahan-lahan sawah produktif juga semakin hari terus berkurang akibat derasnya arus alih fungsi ke lahan nonpertanian dengan angka yang fantastis pula. Kondisi ini mau tidak mau telah menempatkan Indonesia sebagai negara importir beras terbesar di dunia dengan segenap persoalannya. Jika dalam waktu dekat tidak segera ditemukan solusi yang jitu, maka Indonesia akan menempatkan diri sebagai negara abadi pengimpor beras terbesar di dunia.


Sesungguhnya kondisi ini tidak perlu terjadi dan belumlah terlambat untuk bangkit kembali. Bahkan jika semua pihak, terutama pemerintah Indonesia memiliki keinginan dan tekad yang sungguh-sungguh dan maksimal, Indonesia masih memiliki peluang dengan segenap potensinya untuk menjadi negara produsen beras terbesar di dunia. Paling tidak ada dua pendekatan, yaitu dengan memperluas lahan pesawahan dan dengan memanfaatkan segenap potensi lahan yang ada dengan penggunaan varietas-varietas benih unggul produksi tinggi. Kedua pendekatan ini harus segera ditempuh.


Namun, yang paling realistis untuk segera dilaksanakan adalah pendekatan kedua, yaitu pemanfaatan segenap potensi lahan yang ada dengan penggunaan benih-benih padi unggul produksi tinggi yang telah terbukti cocok dengan kondisi Indonesia. Indonesia memiliki begitu banyak varietas-varietas padi unggul nonhibrida produksi tinggi, sesuai dengan selera masyarakat setempat.


Namun beberapa di antaranya nyaris dilupakan atau telah lenyap. Padahal, dari segi produktivitas dan cita rasa, varietas-varietas tersebut mampu bersaing dengan yang lain. Soal rasa, jangan dikhawatirkan. Varietas ini memiliki cita rasa yang juga beragam, pulen, pera, atau aromatik. Jadi, tak perlu lagi ada alasan beras tak produktif karena lahan dan lain hal. MRS


Varietas-varietas padi nonhibrida produksi tinggi dengan rasa enak/pulen

Varietas

Tahun Peluncuran

Umur (hari)

Potensi hasil (ton/ha)

Pelita I-2

1971

135-145

9,0

Siampat(C4-63)

1969

125-130

8,0

PelitaI-1

1971

135-145

8,0

PB-20

1974

120-125

8,0

PB-32

1977

140-145

8,0

Cimandiri

1980

135-145

8,0

Cisadane

1980

135-140

8,0

Cipunegara

1981

130-135

8,0

Krueng Aceh

1981

125-135

8,0

Atomita

1982

122-127

8,0

Bogowonto

1983

115-120

8,0

Porong

1983

110-115

8,0

Sadang

1983

125

8,0

Cikapundung

1984

110-122

8,0

Bahbutong

1985

115-125

8,0

Batang Pane

1985

115-125

8,0

Cisanggarung

1985

125-135

8,0

IR 64

1986

110-120

8,0

Ciliwung

1988

117-125

8,0

Way Seputih

1989

125

8,0

Atomita-3

1990

120

8,0

Atomita-4

1990

110-120

8,0

IR74

1991

110

8,0

Bengawan Solo

1993

117

8,0

Memberamo

1995

115-120

8,0

Cilamaya Muncul

1996

126-130

8,0

Cilosari

1996

110-120

8,0

Maros

1996

110-120

8,0

Way Apo Buru

1998

115-125

8,0

Widas

1999

115-125

8,0

Ciherang

2000

116-125

8,0

Cisantana

2000

118

8,0

Kalimas

2000

120-130

8,0

Tukad Balian

2000

105-115

8,0

Tukad Petanu

2000

115-125

8,0

Tukad Unda

2000

105-115

8,0

Angke

2001

110120

8,0

Batang Gadis

2001

108-112

8,0

Conde

2001

115-125

8,0

Konawe

2001

110-120

8,0

Merauke

2001

110-120

8,0

Singkil

2001

110-115

8,0

Sintanur

2001

120

8,0

Wera

2001

110-118

8,0

Woyla

2001

105-115

8,0

Cimelati

2001

118-125

8,0

Situ Bagendit

2002

110-120

8,0

Sunggal

2002

115-125

8,0

Gilirang

2002

116-125

8,0

Cibogo

2003

115-125

8,0

Cigeulis

2003

115-125

8,0

Diah Suci

2003

115-120

8,0

Kahayan

2003

110-115

8,0

Luk Ulo

2003

112-119

8,0

Pape

2003

100-110

8,0

Winogo

2003

115-120

8,0

Fatmawati

2003

105-115

8,0

Ciapus

2003

115-122

8,0

Mayang

2004

115-120

8,0

Mekango

2004

116-125

8,0

Yuwono

2004

110-115

8,0

Aek Sibundong

2006

108-125

8,0

Sarinah

2006

110-125

8,0

Mira-1

2006

115-120

8,0

Celebes

2000

105-110

7,0

Asahan

1978

115-125

7,0

Cutarum

1978

125-130

7,0

Dodokan

1987

100-105

7,0

Rojolele

2003

115

6,0

Begawan

1943

155-160

6,0

Sigadis

1953

140-145

6,0

Remaja

1954

155-160

6,0

Jelita

1955

155-160

6,0

Dara

1960

140-145

6,0

Syntha

1963

145

6,0

Dewi Tara

1964

148

6,0

Arimbi

1965

150

6,0

Bathara

1965

148

6,0

Dewi Ratih

1969

135-145

6,0

Situ Patenggang

2002

110-120

6,0

Pandan Wangi

2004

115

6,0

Sumber BALITPA

Tidak ada komentar: