Kamis, 08 Januari 2009

Resonansi

SWASEMBADA PANGAN DAN KRISIS GLOBAL

Oleh: M. Nur Gaybita

Makin hari, populasi jumlah penduduk kita kian meningkat. Data statistik menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sampai akhir tahun 2000 lalu mencapai 206 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 1.49%. dengan asumsi ini, jumlah penduduk Indonesia diprediksikan akan berjumlah 239 juta jiwa pada tahun 2010 mendatang. Artinya, kebutuhan pangan dalam negeri diproyeksikan akan terus meningkat. Inilah relevansinya agar kita senantiasa berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan swasembada pangan di tahan air.

Jumlah penduduk yang sangat besar tersebut merupakan pangsa pasar yang sangat potensial untuk berbagai produk pertanian dan industri. Namun, jumlah penduduk yang besar juga ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi dapat menjadi sumberdaya bagi berkembangnya sektor pertanian yang lebih tangguh dan berdaya saing tinggi. Namun di sisi lain, dapat menjadi sumber pemicu kerawanan sosial ketika kebutuhan pokok terhadap pangan tidak tercukupi dengan baik.

Masih segar dalam ingatan kita, ditemukannya kasus busung lapar atau gizi buruk di sejumlah propinsi di Indonesia, beberapa waktu lalu. Jumlah penderitannya pun telah mencapat jutaan anak-anak dan balita. Bencana ini memberi gambaran bahwa produk produk pertanian kita belum lah menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Semua ini merupakan efek dari terjadinya kesenjangan yang besar antara permintaan dan suplai yang sudah berlangsung lama, harga menjadi tidak terjangkau, dan berakibat pada sebagian masyarakat berpenghasilan di bawah rata-rata tidak mampu menata gizi keluarga dengan baik dan benar.

Jika kita jeli membaca peluang, kesenjangan yang lebar antara pemenuhan kebutuhan dengan ketersediaan pangan sesungguhnya merupakan peluang bagi berbagai sektor yang terlibat dalam pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung. Kekayaan sumberdaya alam yang memadai baik, tanah, air dan iklim dengan sifatnya yang unik memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk terus menyediakan pangannya secara kontinyu dengan mutu tinggi. Untuk itu kerjasama antar berbagai bidang dan keahlian harus dilakukan untuk mewujudkannya. Ajakan untuk tidak melupakan swasembada pangan harus kita respon dengan cara menjalin kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam menghadapi era persaingan global.

Nyatanya, peluang tersebut terlewatkan begitu saja, bahkan telah menjadi bom waktu bagi kita semua. Kesenjangan antara permintaan dan suplai tersebut diyakini kian membesar akibat krisis finansial dan ekonomi global yang tengah melanda dunia. Distribusi pangan antar pulau macet. Roda ekonomi masyarakat mandeg, sehingga menurunkan daya beli.

Persoalannya sekarang, bisakah sektor petanian ini menjadi motor penggerak dan motivator dalam mempertahankan bahkan membangkitkan kembali ekonomi bangsa? Menteri Pertanian (Mentan) Anton Apriyantono seusai mengikuti peringatan Hari Pangan Sedunia (World Food Day) Ke-28 yang diselenggarakan 16 Oktober 2008 lalu, sangat optimistis sektor pertanian Indonesia siap menjadi penggerak perekonomian nasional menghadapi tantangan global.

Sebuah optimisme yang harus ditularkan ke seluruh elemen bangsa. Namun, hal yang patut disadari, Indonesia belum mencapai ketahanan pangan dan kemandirian petani, sehingga hingga saat ini sektor pertanian sangat sulit untuk dijadikan motor penggerak perekonomian nasional. Di bidang pertanian dan pangan, Indonesia sangat lemah. Hal itu dapat dibuktikan dengan kondisi petani di negara agraris ini yang miskin dan luas lahan pertanian yang terus menyempit dari tahun ke tahun.

Sumber daya lahan di Indonesia untuk pertanian seluas 358 meter persegi per kapita, jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga kita seperti Vietnam 900 meter persegi per kapita, bahkan Thailand mencapai 5.000 meter persegi per kapita. Lemahnya sektor pertanian dan pangan ini dibuktikan juga dari sumbangan produk domestik bruto (PDB) sektor ini, yaitu 14,7 (setelah digabung dengan kehutanan dan perikanan) dibandingkan sektor Industri (27,3). Hal itu mencerminkan rendahnya produksi pertanian di dalam negeri, juga sumbangannya bagi pendapatan negara.Karenanya, jangan sampai kita menyia-nyiakan potensi besar bangsa ini sebagai negara agraris yang mampu menyuplai produk-produk pertanian tropis di dunia seperti di zaman penjajahan Belanda dahulu. Mereka tetap memerlukan teh, karet, lada, pala, kopi, serta komoditas pangan, peternakan, perikanan, serta buah-buahan tropis. Indonesia adalah negara tropis yang terluas untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut. Yakinlah, bersama pemerintah yang berpihak pada pertanian, kita mampu melakukannya.

Tidak ada komentar: