Rabu, 28 Januari 2009

Resonansi

SUBSIDI INPUT VS SUBSIDI OUTPUT


Oleh: M. Nur Gaybita


Peningkatan kesejahteraan rakyat tidak terlepas dari kinerja sektor pertanian dan ekonomi perdesaan serta ketahanan pangan. Bahkan Presiden SBY sendiri yakin akan hal itu. Namun, keyakinan Presiden ini mendapatkan ujian sendiri, subsidi APBN untuk sektor pertanian dalam arti luas masih jauh dari mencukupi.


Ini memang jauh dari prinsip rasionalitas. Subsidi untuk sektor pertanian hanya berkisar 2%. Jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan subsidi untuk BBM, PLN, maupun pertahanan dan keamanan. Itu menunjukkan suatu hal yang timpang. Jadi, tak usah kita bicara soal revitalisasi pertanian dan mengenjot produksi pertanian, selama pemerintah masih menganaktirikan sektor pertanian.


Sejatinya, subsidi sektor sektor pertanian perlu ditingkatkan, setidaknya hingga 10%, karena hal ini memiliki dampak yang besar pada memberikan kontribusi kepada Pendapatan Domestik Bruto (GNP), penyerapan tenaga kerja, dan pengurangan angka kemiskinan. Pasalnya, 70% masyarakat Indonesia berada di pedesaan dan bergerakan di sektor pertanian.


Persoalannya, subsidi macam apakah yang selayaknya kita terapkan? Selama ini kita dihadapkan pada model subsidi, yaitu subsidi pertanian yang dititikberatkan pada sarana produksi, seperti pupuk, benih, maupun alat dan mesin pertanian (input). Sedangkan model subsidi yang menekankan pada pemberikan bantuan pada harga-harga hasil pertanian (output) belum pernah diterapkan.


Dalam beberapa kesempatan, pemerintah tampak hanya memfokuskan diri pada subsidi input dengan maksud agar biaya produksi pertanian menjadi lebih murah. Subsidi pupuk, benih, pestisida, dan modal kerja pun diberikan. Subsidi ouput pun terlupakan.


Dampaknya, penerapan program subsidi input ini menimbulkan berbagai tindak penyimpangan dan penyelewengan. Pupuk bersubsidi hilang dan langka di pasaran akibat ulah segelintir orang hanya untuk mencari keuntungan pribadi dari disparitas harga.


Jika kita menerapkan model subsidi output, tentu lain ceritanya. Penerapan subsidi ini memungkinkan harga gabah para petani tetap stabil, paling tidak sesuai dengan jumlah subsidi input yang diberikan pemerintah. Subsidi output juga mampu menjaga agar harga komoditi tidak jatuh, serta melindungi harga gabah para petani.


Di samping itu, subsidi output ini dapat diterapkan jika para petani menjual gabahnya ke Penggilingan Padi di daerahnya. Oleh karena itu, pendataan atau pendaftaran para petani di sekitar Penggilingan Padi terlebih dahulu harus dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan.


Sebenarnya, banyak manfaat yang bisa kita hasilkan dari subsidi output. Subsidi dapat dipastikan sampai tepat sasaran. Sekadar mengingatkan, subsidi input yang dikucurkan pemerintah selama ini mencapai Rp16 triliun. Sebagai gambaran, jika subsidi output diterapkan dengan asumsi Rp200 per kg, jika jumlah produksi gabah mencapai 60 juta ton, maka nilai subsidi berkisar Rp12 triliun.


Database petani yang selama ini masih simpang siur menjadi lebih jelas karena adanya pendataan di sekitar Penggilingan Padi. Keberadaan pupuk juga dapat dipastikan terus ada dipasaran, karena penetapan harga sesuai dengan harga pasar memungkinkan tidak ada lagi disparitas harga.


Jika subsidi output diterapkan, petani menjadi pihak pertama yang paling diuntungkan dengan jaminan dan stabilitas harga gabah. Mereka pun jadi lebih termovitasi untuk meningkatkan produktivitasnya. Jadi, kalau petani bisa dibuat untung, mengapa harus dibuat rugi. Sama halnya dengan slogan, jika bisa dipermudah, mengapa harus dibuat susah. Begitulah.

Tidak ada komentar: