Rabu, 07 Januari 2009

Editorial

MEMPERSEMPIT RUANG GERAK PARA MAFIA BERAS

Di mana ada gula, di situ ada semut. Di mana ada beras, di situ pasti ada para tengkulak. Kalimat ini tak mengada-ada, dan memang begitulah adanya. Adalah kekuasaan, peluang, dan kepentingan bisnis pribadi yang membuat aksi-aksi mereka senantiasa langgeng.

Pangan merupakan kebutuhan pokok setiap individu di sebuah negara, termasuk Indonesia. Bahan pangan yang menjadi makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia adalah beras. Walhasil, beras menjadi komoditas yang dominan dan sangat menentukan berbagai aspek kehidupan.
Di sinilah celah yang membuat para petualang bisnis masuk dengan leluasa. Kita yang begitu mendewakan beras akhirnya terjebak sendiri dalam situasi politik perberasan yang dikuasai para mafia beras. Terbukti, selama ini pemerintah tidak berupaya mengatasi persoalan yang terjadi dalam hal perberasan, kecuali dengan melulu mengeluarkan kebijakan impor. Data-data yang transparan juga tidak pernah dikeluarkan untuk mendukung kebijakan tersebut.
Justru kebijakan impor inilah yang ditunggu-tunggu para tengkulak. Mereka dapat mengeruk keuntungan dengan modus dan trik yang dimiliki, plus backing-an oknom pejabat. Sementara petani sebagai ujung tombak perberasan nasional lagi-lagi dilupakan. Alih-alih memberdayakan atau membeli gabah dari mereka, pemerintah lebih memilih membeli beras dari petani Vietnam dan Thailand.

Banyak pihak mensinyalir keberadaan mafia perberasan ini telah ada sejak 30 tahun silam, sejak era Presiden Soeharto. Mereka seringkali mempermainkan stok sekaligus harga beras di pasaran. Tidak semata-mata melakukan kartel, tapi ketika masa panen tiba, mereka melakukan oligopoli karena petani tidak mempunyai kekuatan mengorganisasi. Oknum-oknum tersebut tidak bekerja dalam kelompok kecil, tetapi bekerja dalam suatu jaringan yang terpadu (integrated) dengan berbagai unsur yang terkait. Mereka berkeliaran sembari mempermainkan isi perut 220 juta rakyat.

Oleh karena itu, sudah sewajarnya aparat penegak hukum segera membongkar dan menangkap pihak-pihak yang melakukan penyelundupan, penimbunan, dan berbagai tindakan melawan hukum lainnya terkait pangan maupun perberasan di Tanah Air. Sebab, hilangnya beras di pasaran sehingga melambungkan harga, tidak terelakkan lagi, merupakan permainan pihak-pihak tertentu yang ingin mereguk keuntungan di balik kesengsaraan rakyat.

Di samping penegakan hukum, hal yang lebih substansial lagi, seperti perlunya membangun database perberasan maupun tata cara impor dengan prosedur government to government (G to G) pun harus mendapat perhatian utama. Dengan database perberasan, volume stok beras nasional dan siapa yang menguasainya juga akan ketahuan. Begitu pula dengan prosedur G to G, yang dapat meminimalisasikan adanya pembonceng ataupun broker dalam impor beras.

Soal pengelolaan pangan, sudah seharusnya pemerintah yang baik tentu melihat contoh di negara yang bagus penataan bahan pangannya. Hampir semua negara yang kokoh dan stabil di bidang pangan, tidak hanya mengandalkan bahan pangan pokok pada satu jenis. Rata-rata membagi kebutuhan pangan mereka dalam bentuk gandum, jagung, beras, ubi, kentang, dan komoditas pangan lainnya.

Sebagai negara agraris di mana begitu banyak sumber karbohidrat yang bisa tumbuh dengan baik, memang cukup naïf kalau hanya mengandalkan pada produksi beras yang terbukti selalu menuai masalah baik dalam ketersediaan, kesejahteraan petani, maupun distribusinya. Karena itu, diversifikasi pangan sudah selayaknya menjadi perhatian utama pemerintah. Dengan diversifikasi, berarti kita tak hanya memperkecil ruang gerak para cukong atau tengkulak, tapi juga berarti mengembalikan gengsi komoditas pangan lainnya.

Tidak ada komentar: