Selasa, 06 Januari 2009

Mancanegara

Bersandar Pada Teknologi

Thailand

Jika ada yang disebut lumbung padi sekaligus eksportir beras terkenal di dunia, Thailand adalah jawabannya. Berbeda dengan negara-negara penghasil beras lainnya, yang juga menghadapi tingkat konsumsi yang meningkat, Thailand justru sudah mencapai tingkat pendapatan yang menyebabkan turunnya konsumsi beras. Hal ini disebabkan tingkat pendapatan yang tinggi memungkinkan variasi pangan.

Gonjang-ganjing beras kembali terjadi. Pemicunya adalah kenaikan harga beras. Pada 2002, harga beras baru US$ 165 per ton, naik menjadi US$ 330 per ton pada 2007, dan naik lagi menjadi US$ 700 per ton per Maret 2008. Harga seluruh pangan meningkat amat fantastis, sekitar 75% dibanding pada 2000. Beberapa komoditas bahkan lebih dari 200%. Krisis pangan itu akan menjadi krisis global terbesar pada abad ke-21. Krisis pangan akan menimpa 36 negara di dunia, termasuk Thailand. Negara produsen beras ini pun mulai pasang kuda-kuda. Bila sebelumnya bernafsu melakukan ekspor, kini berganti haluan dan justru mengurangi ekspor untuk meningkatkan stok domestik. Mereka lebih memprioritaskan ketersediaan pangan dalam negeri dibandingkan mengejar keuntungan dengan terus melakukan ekspor tanpa perhitungan sama sekali.

Thailand, sepertu juga hampir sebagian besar negara di Asia, amat berkepentingan dengan komoditas beras. Secara ekonomi, posisi beras menjadi komoditas strategis di negara ini. Hal ini terlihat dari usaha tani padi yang masih diusahakan jutaan petani. Beras, bagi Thailand, merupakan penyumbang devisa negara.

Tidak mengherankan apabila negara ini mengalokasikan dana yang cukup besar untuk petani, baik dalam berbagai skema subsidi maupun untuk membangun bendungan dan jaringan irigasi. Selain memberikan subsidi kredit ekspor dan pinjaman bank tanpa agunan, Thailand memiliki skema paddy mortgage oleh Bank of Agriculture and Cooperative. Semua dilakukan untuk satu tujuan utama: memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri (self sufficiency).

Tanpa bantuan dan subsidi semacam itu, mustahil petani Thailand bisa bersaing dengan negara-negara produsen beras di Asia. Meskipun lahannya sempit, biaya produksi padi di Thailand tergolong tinggi, US$ 129 per ton. Bandingkan dengan ongkos produksi petani padi di Indonesia yang tergolong rendah (US$ 81 per ton), lebih rendah ketimbang India (US$ 82 per ton).

Saat ini, Thailand menjadi eksportir beras nomor wahid dengan pangsa 40-45% dari total beras di pasar dunia, diikuti Amerika Serikat, India, Pakistan, dan Cina. Namun, sebagai eksportir, Thailand tidak sepenuhnya menganut mekanisme pasar. Berbagai hal untuk menangkal masuknya beras impor agar tidak merusak harga dan mengaduk-aduk ekonomi domestik, dan mematok bea masuk 60%.

PRODUKTIVITAS TERTINGGI: Di Thailand, terdapat sebuah kawasan yang dikenal dengan tingkat produktivitas padi tertinggi di negera itu. Provinsi Suphan Buri, namanya. Berlokasi sekitar 150 km dari ibukota Thailand, Bangkok. Lahan di Suphan Buri bisa menghasilkan panen sampai 4 kali setahun, dan kesuburan tanah itu membuat warganya terbebas dari beban hutang.

Harga beras yang meningkat sampai 50% dibanding tahun lalu dan diperkirakan masih akan terus meningkat turut menyulitkan kehidupan warga setempat. "Situasinya tidak diperkirakan amat baik buat kami,” kata Sawan Katawut yang menjabat Ketua Perkumpulan Petani Suphan Buri. “Mungkin karena bencana alam di negara-negara lain atau masalah harga beras di sejumlah negara, namun jelas merupakan hal yang baik buat kami,” kata pria berusia 76 tahun itu.

Kendati demikian, kawasan ini tetap memberikan kontribusi berarti dalam menjaga persediaan beras nasional. Dalam situasi para produsen beras menghentikan ekspor, semua negara menginginkan beras dari Thailand, yang memang selalu menghadapi surplus beras.

Banyak orang antara lain pedagang ekspor, seperti Capital Rice Co Ltd dan pabrik olahan mengeluh dengan tingginya harga beras. Bahkan, PM Thai Samak Sundaravej, beberapa kali rapat darurat tentang harga beras. Namun, Thailand lebih mujur daripada India, Vietnam, dan negera pengekspor lainnya yang sudah menghentikan ekspor dan lebih memilih menjaga stok beras dalam negeri. Saat negara pesaing utama mereka tidak memilih persediaan yang

Sektor beras Thailand tetap bergembira, karena pesanan dari berbagai negara bertambah banyak. Tahun lalu, Thailand berencana mengekspor beras 7,5 juta ton, namun akhirnya mengekspor mencapai 8,9 juta ton. Januari dan Februari tahun ini ekspor beras bulanan Thailand menerobos 1 juta ton.

Chookiat Ophaswongse, dari Asosiasi Eksportir Beras Thailand, mengatakan bahwa permintaan meningkat pesat dari pasar-pasar baru seperti Afrika. Namun, di sisi lain produksi menurun karena banyak petani yang berubah ke tanaman yang lebih menguntungkan untuk kebutuhan bahan bakar bio. Beras, menurut Chookiar Ophaswongse, semata-mata mengikuti kecenderungan peningkatan harga pada komoditas lainnya.

EKSPORTIR TERATAS: Di Thai terdapat garapan padi mutu unggul 14 ribu are dengan produksi gabah kering giling setiap tahun 20 juta ton. Tahun lalu Thai mengekpor beras 8,9 juta ton, konsumsi domestik 6,5 juta ton, cadangan negara 2,2 juta ton, dan yang lain diolah menjadi makanan jenis beras. Ekspor beras Thai menghasilkan devisa sekitar US$ 4 miliar, sehingga negara ini menduduki peringkat pertama ekspor beras dunia selama 10 tahun berturut-turut.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, permintaan dunia akan melebihi pasokan yang ada. Tapi, apakah situasi ini membuat para petani beras di Thailand dapat mereguk keuntungan? Sebenarnya kondisinya tidaklah segampang itu. “Kami tidak suka kalau harga bergerak terlalu cepat,” kata Chookiat Ophswongse, sambil menambahkan, “Sebagai eksportir kami bisa terperangkap juga. Jauh lebih mudah bagi kami untuk menanganinya jika harga stabil.”

Maret lalu, terlalu banyaknya pesanan yang tertumpuk membuat para pedagang ekspor beras Thai makin khawatir, karena mereka gagal membeli beras dari pabrik olahan atau pedagang beras. Boleh jadi, harga beras juga lebih tinggi dibanding harga pesanan. Akibatnya sejumlah eksportir beras didenda karena gagal menawarkan beras menurut jadwal, tak terkecuali dengan eksportir beras Thai yang juga menghadapi kesulitan mendapat sumber beras.

Masalah beras di Thai juga menghadapi penimbunan, sehingga negeri gajah putih ini menghadapi kesulitan ekspor dan persediaan beras dalam negeri. Meski demikian, pemerintah Thai tak mengambil keputusan untuk membatasi ekspor atau memasarkan beras cadangan di bawah ketegangan sumber beras.

PM Samak Sundaravej, sebagaimana dikutip Asia Observer berpendapat, membatasi ekspor atau memasarkan cadangan beras hanya akan menyelesaikan masalah untuk sementara waktu, dan belum tentu akan mencapai tujuannya. Hanya dengan kebijakan yang efektif, baru dapat mengatasi masalah ‘kekurangan bahan pangan’ palsu akibat penimbunan beras.

Menurut pusat penelitian petani Thai, dua sampai tiga tahun mendatang, harga beras dunia akan tetap tinggi. Kenaikan harga beras akan mendorong lebih banyak petani memperluas areal padi pada tahun 2009. Namun, diperluasnya areal penanaman padi akan berarti berkurangnya areal penanaman tumbuhan lainnya. Sehingga ditempuh upaya meningkatkan hasil per unit.

TEMUAN BARU: Sebagai negara surplus beras, Thailand senantiasa mengembangkan riset dan pengembangan, khususnya di bidang padi dan perberasan. Beberapa waktu lalu, misalnya, Departemen Pertanian Thailand berhasil menemukan dua varian padi yang menyimpan kandungan unsur besi yang cukup tinggi sehingga dapat dikembangkan untuk menangani masalah anemia di kalangan kelompok masyarakat kurang mampu.Dr. Laddawal Kannanut dari Lembaga Penelitian Padi Thailand, seperti yang dikutip Harian The Nation mengatakan dua jenis padi ini termasuk Korkhour 23 dan Khao Hom Phitsanulok1 dipilih dari 45 varian padi Thailand. Hasil penelitian menemukan varian padi Korkhor 23 memiliki kandungan besi 36,67 unit per molekul (ppm) pada saat digiling dengan cara tradisional sehingga masih mempunyai kulit ari.Tingkatan kandungan besi menurun menjadi 22,5 ppm pada beras yang digiling mesin. Sementara itu jenis Khao Hom Phitsanulok yang digiling secara manual mempunyai kandungan besi sebesar 25 ppm dibandingkan dengan kandungan 22,5 ppm jenis yang sama tetapi digiling dengan mesin. Laddawal mengatakan, penelitian itu juga menemukan padi yang tumbuh di daerah yang berbeda juga mempunyai tingkat kandungan besi yang berbeda pula.Lembaga Penelitian Padi Thailand juga terus meneliti cara terbaik menanam dan menggiling padi dengan tujuan memperoleh kandungan besi yang tinggi. Bukan apa-apa. Sebanyak 26 persen dari warga Thailand menderita anemia. Temuan beras dengan kandungan besi yang tinggi ini diharapkan dapat menjadi jawaban untuk mengatasi masalah tersebut.

Dalam hal produktivitas, beras di Thailand mencapai 2,8 ton per hektar. Hanya saja di Thailand rasio antara lahan dan penduduk lebih besar daripada di Indonesia. Di Thailand yang tidak kekurangan lahan, lebih memperhatikan aspek yang lain seperti harga jual, seperti terlihat dalam ekspor beras wangi Thailand, suatu varietas tradisional yang memang tidak memberi hasil yang tinggi tetapi berharga mahal. Dalam hal teknologi panen, buruh tani di Thailand, praktis tidak ada lagi, sehingga petani harus menggunakan mesin. Pantas saja! QYH



Tidak ada komentar: