Selasa, 06 Januari 2009

Empat Mata

Membangun Pertanian Terintegrasi

Rizky Adi Nugroho, S.T.P

Usianya masih belia. Namun, jangan ditanya soal kedewasaan dalam berbisnis. Semangat pengabdiannya untuk mengangkat harkat dan martabat petani Indonesia dari kubangan lumpur kemelaratan begitu membara melampaui usia remajanya. Ia pun mantap memilih padi dan lumpur sawah sebagai wilayah kerjanya.

Rizky Adi Nugroho, demikian nama lengkapnya. Usianya baru genap 23 tahun pada 28 Januari 2008 lalu. Kendati masih muda, ia memiliki rasa percaya diri pemikiran dan naluri bisnisnya bahkan melampaui usianya. Di saat remaja desa lebih cenderung memilih berprofesi sebagai tukang ojek ketimbang menjadi petani karena harus rela berlumuran dengan lumpur sawah yang menjijikkan itu, ia secara meyakinkan justru memantapkan pilihannya pada padi dan lumpur sawah, dan menjadikannya sebagai profesi dan pilihan hidupnya. Baginya bisnis beras sangat menjanjikan. Perputarannya sangat cepat, “sebab semua orang setiap harinya makan nasi,” katanya

Pada April 2008 yang lalu, jerih payahnya berbuah. Ia memperoleh penghargaan Business Start-up Award, dari Shell, perusahaan minyak milik perkongsian antara Inggris dan Belanda. Penghargaan ini memfokuskan diri pada konsep bisnis prospektif yang paling banyak menyerap tenaga kerja dan sarat dengan unsur pemberdayaan masyarakat petani. Dalam sayembara yang bertemakan Shell Livewire inilah Rizky berkibar. Kini konsep tersebut tengah diaplikasikannya di areal pesawahan di kawasan Bogor, Jawa Barat, dalam budidaya dan pengembangan padi organik dengan menjalin kemitraan dengan petani yang ada di sana.

Awalnya, untuk memperkenalkan dan memasarkan hasil kerja samanya dengan para petani itu, dengan keyakinan penuh ia membuat brosur dan desain kemasan beras sendiri. Lalu, sambil lari pagi di beberapa komplek perumahan dan tempat keramaian di Jakarta, brosur bersama sampel beras itu ia bagi-bagikan kepada setiap orang yang berpapasan dengannya. Bermacam-ragam respon dari setiap orang yang ia temuinya. “Ada yang cuek, namun ada pula yang bertanya, ini beras siapa? Lalu beberapa di antara mereka memberikan masukan yang positif dan konstruktif,” cerita alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, ini penuh kesan.

Kini, di bawah bendera CV. Green Health Agriculture yang dirintisnya sendiri, Rizky mampu memenuhi permintaan pasar sebanyak 3 ton beras dalam waktu sebulan, dengan keuntungan bersih rata-rata Rp 2000 per kilogram. Namun, di tahun-tahun mendatang ia menargetkan dalam sebulan minimal harus mampu memasarkan, paling tidak 15 sampai 20 ton, “Itu pun jika masih sendirian. Makanya saat ini saya tengah mencari mitra bisnis, terutama dari kalangan remaja seusia saya, yakni mereka yang memiliki semangat dan kesamaan visi dengan saya, karena konsep bisnis yang saya jalankan tidak semata-mata berorientasi pada keuntungan berupa materi saja,” tegas putra Arif Budiman itu.

SARAT PENGABDIAN: Konsep kemitraan dengan petani yang sedang ia jalankan ini sarat dengan semangat pengabdian dan perbadayaan petani. Kepada petani pemilik lahan di antaranya, Rizky memberi bantuan mulai dari pupuk, benih, dan lainnya. Petani juga berikan bimbingan dan penyuluhan, kemudian hasil bagian dari petani itu dibeli dengan harga yang relatif tinggi, paling tidak jauh lebih tinggi dari harga para tengkulak.

Bagi petani yang hanya berstatus sebagai buruh diberikan kesempatan untuk bekerja dengan upah yang wajar. Ia sadar, di negeri ini kesenjangan hidup secara ekonomi dan sosial tidak terjadi antara si kaya dengan si miskin saja, tapi juga terjadi di antara petani itu sendiri, sebab kepemilikan lahan di antara petani itu sangat beragam. Ada petani yang memiliki lahan puluhan hektar, bahkan sampai ratusan hektar, namun tidak memiliki biaya untuk pengolahan lahan. akhirnya meminjamkan dana pada rentenir atau tengkulak. “Akibatnya hasil panen mereka hanya untuk bayar hutang. Dan ada pula petani yang tidak memiliki lahan sama sekali, dan mereka itu sama-sama ingin hidup dan menghidupi keluarganya masing-masing,” kata Sarjana Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian itu.

Ketertarikannya untuk menjalin kemitraan secara lansung dengan petani berawal dari tugas kuliah (PKL) yang ia jalani di Desa Kliwonan, Kulon Progo, Yoyakarta. “Di desa tersebut umumnya masyarakat adalah bertani kakao, namun kepemilikan lahan mereka sangat terbatas, dengan pengetahuan yang terbatas pula, tentu saja hasil produksinya nya juga terbatas,” kata Kiky, panggilan akrabnya. Kalau dijual secara individual harga sangat murah, ditambah lagi jarak antara petani sebagai produsen dengan pengepul utama sangat panjang. Di antaranya ada tengkulak, yang dalam pikiran mereka yang ada hanyalah bagaimana membeli hasil pertanian masyarakat serendah mungkin.

Dengan kondisi ini, ia bersama rekan-rekannya yang juga menjalani tugas kuliah di desa tersebut mengambil inisiatif dengan mengajak kelompok-kelompok tani yang ada untuk membuat koperasi. Lalu, kakao hasil pertanian masyarakat dikumpul menjadi satu untuk diolah secara bersama. Masyarakat juga dibantu membuat alat fragmentasi agar kakao tersebut memiliki kualitas dan nilai jual yang tinggi. Di samping itu, masyarakat juga dibantu memasarkannya secara langsung kepada pengepul utama, tanpa harus melaui para tengkulak lagi.

Ternyata dengan cara demikian petani mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dari sebelumnya. Selain menanam kakao, sebagian masyarakat di sana juga ada yang memiliki sawah, namun dengan kondisi keterbatasan dan keprihatinan yang persis sama dengan petani kakao. “Mau nanam ngutang dan habis panen bayar hutang, dan akhirnya yang mereka makan hanyalah jatah beras raskin, itu pun terbatas. Lalu kelompok petani padi juga diajak bergabung bersama dalam koperasi yang sudah dibangun,” ungkap Kiky.

SEBUAH OBSESI: Di tengah keasyikannya kini menjalin kemitraan secara langsung dengan petani, banyak pemahaman tentang kondisi bangsa ini yang ia dapatkan. Di antaranya, ternyata budaya korupsi di negeri ini telah berurat dan mengakar kuat sampai tingkat yang paling bawah di pedesaan. Misalnya oknum aparatur pemerintah desa seringkali datang minta “setoran” dengan mengklaim bahwa air yang mengalir ke lahan sawah masyarakat itu berada di bawah kekuasaan lurah, padahal tidak ada hukum yang mengatur tentang itu. Bayak juga lurah, camat, dan penyuluh yang statusnya PNS, namun berprofesi sebagai tengkulak. Sementara tugas dan kewajiban utama mereka sebagai abdi negara diabaikan.

Namun, kondisi ini tidak menyurutkan langkahnya untuk terus maju bersama petani. Bahkan ke depan ia ingin mewujudkan obsesi untuk membangun dan memiliki Integreted Farming, sebuah kawasan pertanian di mana bukan saja ada pesawahan dan penggilingan padi, namun juga ada pertanian sayur organik, peternakan sapi, peternakan ayam, dan lainnya.

Areal ini juga dilengkapi dengan industri pengolahan dan pengemasan. Jerami dan sekam bisa digunakan untuk pakan ternak, sementara kotorannya bisa dimanfaatkan untuk pupuk organik. “Lebih dari itu, yang paling penting bisa menyerap tenaga kerja yang sangat banyak,” tuturnya dengan penuh semangat. Maju terus Kiky! MRS





Tidak ada komentar: