Rabu, 28 Januari 2009

Editorial


PUPUK LANGKA, ULAH SIAPA?


Peristiwa ini memang lagu lama yang terus berputar ulang. Setiap tahun, menjelang musim tanam tiba pupuk dipastikan langka di pasaran. Untuk kesekian kali, penderitaan petani pun terus bertambah. Sudah terdesak akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, mereka pun di gagal gagal panen, bahkan susah bercocok tanam. Ironis memang.


Kelangkaan pupuk ini terjadi di berbagai tempat. Bahkan di lumbung padi sekalipun, seperti Karawang, Indramayu, Subang, keluhan petani tak jauh-jauh dari urusan pupuk. Persediaan pupuk di kios-kios, terutama di wilayah perdesaan yang jauh dari distributor, tak dijumpai sama sekali. Kalaupun ada, jumlahnya sangat terbatas dan para petani harus rela membelinya dengan harga yang jauh tinggi dari harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah.


kami berpendapat, kejadian ini pasti ada yang memulai. Kelangkaan pupuk tahun lalu ternyata akibat ulah distributor nakal yang menjual pupuk buat kepentingan di luar pertanian. Dugaan adanya permainan dari pihak distributor yang melarikan pupuk ke tempat-tempat tertentu untuk kepentingan mencari keuntungan yang lebih banyak juga berseliweran di mana-mana.


Walhasil, nasib petani bak berada di tengah turbulensi. Di satu sisi, keberadaannya begitu dibutuhkan dan diharapkan sebagai salah satu penopang stabilitas perekonomian nasional. Namun, di sisi lain, nyaris tak ada pembelaan sekaligus perlindungan berarti yang diberikan para pengelola negara ini bagi kelangsungan hidup dan usaha mereka.


Selanjunya, persoalan yang dihadapi petani pun makin beragam. Mulai dari pupuk langka dan mahal, harga dasar gabah yang terus menurun, serta melonjaknya harga-harga kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara, penanggulangan kelangkaan pupuk terkesan sangat lamban, mungkin karena menganggap bahwa hal ini bukan kondisi yang terpenting sehingga tidak ada perhatian secara fokus.


Jika kita cermati bersama siapa yang paling bertanggung jawab atas kelangkaan pupuk ini? Jawabannya tentu saja pemerintah. Pemerintah yang punya kewenangan penuh menentukan besarnya kebutuhan pupuk. Seharusnya, sebagai regulator sekaligus eksekutor, pemerintah menyadari bahwa kelangkaan pupuk yang terjadi saat ini merupakan peristiwa rutin setiap tahunnya. Adanya monopoli dan permainan kotor dalam sistem distribusi adalah praktik yang selalu kita temui sepanjang waktu.


Melalui perpanjangan tangannya yaitu Departemen Pertanian (Deptan) yang membuat peraturan soal pengadaan pupuk. Sebagai instansi yang paling mengetahui setiap luas tanah petani, Deptan mestinya menghitung persediaan pupuk yang dibutuhkan para petani secara cermat. Sayangnya, pemerintah kurang tegas dalam menata distribusi pupuk.


Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi kendala kelangkaan pupuk ini. Misalnya, dengan memperketat distribusi menyusul maraknya penyalahgunaan pupuk bersubsidi. Para pejabat harus melihat langsung ke lapangan untuk mengetahui apa penyebab kelangkaan itu.


Solusi lain yang kami tawarkan adalah menciptakan pola distribusi yang baru yaitu yang lebih bersifat otonom. Distribusi dapat dilakukan melalui Penggilingan Padi untuk petani di sekitarnya, karena Penggilingan Padi berada di sekitar petani. Pola distribusi ini tentu akan ditandai dengan adanya mekanisme distribusi yang lebih profesional, adanya transparansi dan akuntabilitas dalam tata niaga pupuk. Di samping itu, para petani juga perlu menerapkan politik pertanian, guna menambah posisi tawar para petani terhadap pihak lain.


Lebih dari itu, pemerintah dituntut lebih tegas dalam mengawasi distribusi pupuk dari pabrik hingga konsumen, agar penyaluran subsidi pupuk untuk tahun 2009 yang senilai Rp20 triliun dapat tepat sasaran. Jangan biarkan ada pihak yang mengambil untuk besar dari kesengsaraan petani.


Saatnya pula menyosialisasikan kepada petani soal penggunaan pupuk organik organik berupa pupuk kandang, jerami, sampah, serta pupuk hijau dengan menggunakan teknologi cepat dan tepat. Pupuk organik diyakini dapat memperbaiki struktur dan tekstur tanah sawah yang semakin rusak akibat pupuk kimia.


Memberikan penyuluhan kepada para petani agar dalam penggunaan pupuk tidak berlebihan tetapi sesuai dosis yang ditentukan juga mutlak dilakukan. Ini secara langsung membuat pemerintah lebih menghemat dalam alokasi dana untuk pemberian pupuk bersubsidi.


Bagaimanapun, ini harus dimulai dari sekarang. Sebab kelangkaan pupuk terutama pupuk bersubsidi terjadi setiap waktu di saat petani membutuhkan. Pemerintah juga dituntut lebih siaga menghadapi mafia pupuk dengan sanksi tegas dan keras sehingga tak seorang pun berani bermain-main dengan hajat hidup petani.


Dan, akhirnya kita semua mengharapkan agar masa-masa keberpihakan pemerintah kepada petani dan pertanian benar-benar terealisasikan, tidak hanya berhenti pada pewacanaan. Ini penting karena menyangkut eksistensi kita sebagai negara dengan mayoritas penduduknya adalah petani. Masihkah kita pantas dibilang negara agraris, sementara mengurus hal-hal standar dan mendasar saja tidak becus?

Tidak ada komentar: