Rabu, 28 Januari 2009

Empat Mata

Mediator Peneliti, Industri, dan Petani

Rudy Tjahjohutomo

Teknologi pertanian unggulan hasil penelitian yang dihasilkan oleh peneliti di Indonesia saat ini jumlahnya sudah cukup banyak. Seiring dengan hal itu, perlu adanya lembaga yang bisa mengelola perlindungan Hak kekayaan Intelektual (HKI) dari penelitian yang sudah ada sehingga bisa dikembangkan secara komersil. Inilah tugas utama lembaga yang dipimpinnya.


Pengelolaan atas perlindungan Hak kekayaan Intelektual (HKI) dari penelitian yang sudah ada sehingga bisa dikembangkan secara komersil mutlak diperlukan. Untuk menjawab tantangan itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian RI (Balitbang Deptan) mendirikan Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian (BPATP) yang saat dipimpin oleh Rudy Tjahjohutomo.

Undang-undang nomor 18 tahun 2002 tentang sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan pemerintah nomor 20 tahun 2005 tentang alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil penelitian dan pengembangan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan menjadi acuan mendasar didirikannya BPATP. Dalam implementasi perundangan tersebut, Deptan melalui peraturan Menteri Pertanian nomor 49 tahun 2007 tanggal 8 Juni 2007 membentuk unit kerja pengelola alih teknologi di dalam struktur badan penelitian dan pengembangan pertanian dengan nama PATP.

BPATP merupakan lembaga yang masih terbilang muda karena baru didirikan pada 10 Agustus 2007 lalu. Ketika pertama kali berdiri, BPATP langsung dipimpin oleh Rudy Tjahjohutomo, yang sebelumnya menjabat Wakil Ketua Tim Penilai Instansi Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian (BP Mektan).

Menurut Rudy, Badan Litbang Deptan sebenarnya sudah mempunyai lembaga seperti BPATP yang didirikan pada tahun 1996 yang diberi nama Kantor Pengelola Kekayaan Intelektual dan Alih Teknologi (KPKIAT). “Jadi sebelum ada undang-undang ini litbang sudah mengarah ke situ, artinya mengarah kepada kekayaan intelektual,” tambahnya.

Namun, jelas Rudy, waktu itu KPKIAT hanya diperkuat oleh akte notaris yang akhirnya berimbas pada tidak adanya akses ke anggaran. Hal ini tentu saja memperlambat gerak dan langkah KPKIAT yang seharusnya sebaliknya bisa bergerak cepat. Pada akhirnya, karena lembaga ini tidak terkoordinasi dengan baik banyak invensi yang didaftarkan perlindungan HKI-nya oleh KPKIAT tidak dapat dimonitor dengan baik. “Sehingga pendaftaran yang diajukan tahun 2001 sampe dengan tahun 2007 mandek, tidak terurus,” terangnya.

Lalu mengapa alih teknologi di dunia pertanian ini menjadi penting? Menurut Rudy, selain didasarkan kepada kewajiban bagi para peneliti yang dibiayai pemerintah untuk mengalihkan teknologi seperti tertuang dalam PP No 20 tahun 2005, alih teknologi juga dimaksudkan supaya hasil penelitian bisa segera terserap oleh pengguna di dunia pertanian dengan mudah dengan harga yang terjangkau karena telah diproduksi secara massal. “Nah sebelum dialihkan ini, dilindungi dulu HKI-nya, baru setalah itu diharapkan bisa diarahkan menjadi komersialisasi atau dikomersilkan,” tambahnya.

Rudy mencontohkan, seperti peralatan penggilingan padi yang harganya terbilang mahal terlebih jika merekayasa sendiri. Dengan merekeyasa atau membuat sendiri, berarti juga penggilingan harus membuat bengkel sendiri yang jelas tidak memungkinkan karena biaya investasi yang harus dikeluarkan akan cukup besar. Lalu siapa yang mampu?

Ia menuturkan, akan lebih ideal kalau hasil penelitian dialihkan dengan cara memberikan lisensi ke stakeholder yang lebih mampu yaitu industri. Dengan cara seperti ini, tentu akan bisa menekan biaya produksi untuk setiap unit produk yang dihasilkan karena telah diproduksi secara massal. Di samping itu, dari setiap unit produk yang dihasilkan itu lembaga litbang bisa memperoleh royalti. “Nah, royalti ini nantinya mengarah pada cost of recovery, artinya biaya-biaya yang berguna untuk menghasilkan penelitian yang lebih baik,” jelasnya kepada PADI.

Litbang sendiri, terang Rudy, dalam hal royalti ini menggunakan mekanisme Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Di dalam peraturan pemerintahnya disebutkan bahwa setelah disetorkan ke negara sebagai PNBP nantinya bisa ditarik kembali sebesar 68 persen. “Namun demikian, sekarang sedang kita upayakan dan perjuangkan agar bisa ditarik kembali sebesar 98 persen,” jelasnya.

Sebelum adanya BPATP, kenang Rudy, sering kali setiap peneliti menghasilkan sebuah teknologi maunya menjual sendiri hasil karyanya. Untung Rp1 juta hinga Rp2 juta mereka sudah merasa cukup. Ia menganalogikan dengan pedagang sate madura atau sate kambing yang semua kegiatan usahanya dilakukan sendiri dari mulai belanja, memotong-motong daging, menusuki daging sampai dengan mendorong gerobak sendiri.

Menurutnya, hal ini identik dengan peneliti masa lalu dan paradigma inilah yang harus dirubah melalui BPATP. “Tugas peneliti cukup meneliti saja, silahkan ambil penelitian yang terbaik yang komersial, nah nanti kamilah (BPATP, Red.) yang menjualkan berupa lisensi sehingga peneliti dapat royalti,” tegasnya.

Selama ini, menurutnya, karena peneliti menjual hasil penelitiannya sendiri yang terjadi harga produk bukannya murah tapi justru sebaliknya semakin mahal. Idealnya menurut Rudy, kalau sudah dalam bentuk hasil penelitian, masalah estetika dan lainnya serahkan saja ke industri agar bisa menjadi mass production. Industri mampu membuat cetakan dan lain sebagainya sehingga seragam. Sebaliknya, peneliti atau perekayasa membuat produk dengan proses handmade. Imbasnya, biaya produksi lebih mahal karena tidak efisien dalam penggunaan bahan baku. Dan ini tentu saja berdampak pada harga jual yang juga lebih mahal.

Sementara di sisi lain, selama ini banyak industri yang mengambil teknologi dari luar negeri seperti dari Cina. Namun demikian, menurut Rudy, ketika mereka hadir dalam temu bisnis yang diadakan BPATP di Lampung, mereka terkejut ketika menyadari bahwa peneliti di Indonesia sendiri sudah mempunyai teknologi yang selama ini mereka beli dari luar.

Dalam rangka menjaring lebih banyak pelaku industri, BPATP semakin gencar mengadakan temu bisnis. Namun menurut Rudy, selama ini temu bisnis yang diadakan selalu hanya dihadiri oleh peneliti dengan swasta sehingga hasilnya terbilang lambat. Akhirnya, ia melihat peluang besar dengan mengharmonisasikan tiga lembaga penting yang kemudian dikembangkanlah apa yang disebut dengan harmonisasi ABG (Academic, Business, dan Goverment). Karena menurut Rudy, selama ini ketiga lembaga ini masing-masing masih berjalan sendiri-sendiri. “Nah, kalau ini (ABG, Red.) diharmonisasikan hasilnya pasti akan luar biasa,” Tegasnya dengan nada optimis.

Meskipun usianya masih terbilang muda, BPATP bisa segera bermetamorfosa menjadi salah satu pendukung lembaga litbang yang menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tangguh, modern, berdaya saing dan efisien serta dapat diterapkan oleh dunia usaha agar dapat bersaing dalam sistem ekonomi global. AJI

Biodata

Nama : Ir. Rudy Tjahjohutomo, MT
Tempat, Tanggal Lahir : Malang, 22 September 1957

Pendidikan :
• Jurusan Mekanisasi Pertanian, Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian - Institut Pertanian Bogor pada tahun 1980

• Fakultas Pasca Sarjana ITB Bandung pada Bidang Studi Teknik Industri dan meraih gelar Magister Teknik Teknik Industri pada tahun 1999.

Jabatan Fungsional Perekayasa : Perekayasa Madya (IV-c)
Bidang Keahlian : Mekanisasi (Mesin Prosesing)
Komoditas Utama Penelitian : Mesin Prosesing Hortikultura, Padi, Pompa Turbin, HKI
Unit kerja : Balai PATP

Tidak ada komentar: