Rabu, 07 Januari 2009

Opini

Dipertanyakan Stabilitas Ketahanan Pangan di Indonesia?

Oleh. Ilham Prisgunanto*

Ketahanan pangan seharusnya sejiwa dengan tujuan pembangunan pangan dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata. Hal ini dinyatakan dalam Undang Undang Pangan (UU Nomor 7 tahu 1996, pasal 2). Hasil akhir yang ingin dicapai dari kualitas pangan yang bermutu adalah penciptaan SDM Indonesia yang unggul dan seutuhnya. Artinya, tercipta SDM handal yang mempu bersaing dalam taraf internasional.

Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan dengan kasus beredarnya makanan impor yang mengandung bahan pengawet berbahaya, seperti boraks, formalin, dan rodhamin. Terus terang kondisi ini menunjukkan kerentanan pada ketahanan pangan nasional. Ketersediaan sumber pangan berkualitas secara tidak langsung akan menunjukkan gengsi taraf kemakmuran suatu negara.

Apalagi ditambah dengan merebaknya isu-isu penyakit, seperti flu burung, penyakit diare, hingga demam berdarah yang kerap dikaitkan dengan masalah pangan. Kasus-kasus ini mengindikasikan melorotnya kualitas pangan negara. Seperti layaknya sebuah dramatisasi, pasti ada sosok yang dijadikan ‘kambing hitam’ dalam kasus ini. Posisi ini dibebankan kepada pedagang kecil dan usaha kecil rumahan. Sedangkan pemerintah adalah pihak ’bersih’ yang kedudukannya sebagai mekanisme kontrol peredaran makanan. Di sisi lain, tetap saja rakyat adalah konsumen dan pihak yang dirugikan.

Posisi negara berada pada ruang abu-abu (sumir) yang turut dirugikan, seperti layaknya rakyat. Padahal jelas, seharusnya negara berperan sebagai pengontrol sanitasi, peredaran, penyimpanan, sampai pengakutan system pangan. Dalam artian bahwa pemenuhan persyaratan keamanan, mutu dan gizi dikaitkan dengan kesehatan, perdagangan pangan yang jujur, bertanggungjawab dan pengaturan pada kecukupan pangan nasional.

Pada kenyataannya memang tidak ada jaminan keamanan dan sanitasi layak terhadap pangan yang beredar bagi rakyat saat ini. Dramatisasi yang dibuat oleh pers kemarin dalam meredam isu-isu soal pangan dengan mencuatnya soal penengakkan hukum. Kenyataannya isu tersebut langsung bungkam seribu bahasa tanpa ada penyelesaiannya.

Ya, isu tandingan yang dibenturkan dalam permasalahan adalah menyoal rugi dan matinya sektor perdagangan dan usaha kecil rakyat, yang notabene berpengaruh sangat signifikan dengan perekonomian negara. Apa jadinya bila rakyat sudah tidak mau makan tahu, mie, bakso, ayam (unggas), sapi, kambing, dan ikan, bila semua dianggap berbahaya? Apalagi bila orientasi rakyat sebagai konsumen beralih ke produksi pangan luar negeri dan kategori impor.

Satu hal yang perlu diketahui bahwa sosialisasi pangan halal bukanlah sesuatu yang mudah dalam penerapannya, karena terkait dengan adanya kepentingan bisnis usaha dan tingkat birokrasi pelaksaannya yang ‘luar biasa’ sulit dan lama. Jelas pihak pengusaha makanan tidak mau dirugikan dengan membayat sertifikasi halal, sehingga membebankan konsumen. Pertanyaanya adalah bagaimana rakyat sebagai konsumen dapat menilai?

Tarik ulur dan lempar tanggung jawab menyoal masalah ini tidak terpecahkan dari dahulu, antara Depag, MUI, dan BPOM. Sayangnya, penerapan sertifikasi halal hanya untuk kepentingan ‘proyek’, bukan kepentingan rakyat. Tidak heran bila saat ini ada sertifikasi halal dari berbagai versi, menurut ketiga institusi negara yang tidak pernah kompak untuk kasus satu ini. Dan pastinya pengusaha makanan yang dibikin ‘bingung’. Padahal, kesadaran mereka akan sertifikasi halal diakui ada dan cukup tinggi, apalagi adaya desakan aturan internasional Codex Alimentarius Commission (CAG/GL 24-1997) tentang tata aturan halal internasional terhadap negara pengimpor.

Kemudahan proses sertifikasi halal di luar negeri dan ketidakjelasan penanganan menyebabkan aset negara dari sisi sertifikasi halal hilang. Maka, jangan heran bila kontrol terhadap pangan saat ini begitu rentan di Indonesia. Timbul pertanyaan di benak kita, apakah masalah pangan di Indonesia sudah bisa teratasi secara keseluruhan? Bagaimana dengan nasib rakyat yang selalu menjadi korban?

* Penulis adalah Anggota Penyunting Buku Pedoman Strategi Sosial Produk Halal (Departemen Agama), Peneliti Lepas Puska Kom-FISIP UI, dan sedang melanjutkan studi Doktor Ilmu Komunikasi, Unpad, Bandung.






Tidak ada komentar: