Kamis, 08 Januari 2009

Opini

SENGSARA KARENA BENIH ” UNGGUL”

Oleh: Ir. Soemitro Arintadisastra, Ph. D, M.Ed

Sudah lebih dari 40 tahun sejak diperkenalkannya varietas ”unggul” baru, belum ada yang menyadari bahwa varietas baru yang disebut PB.5 (Peta Baru) Dara, Syntha Remaja, sampai IR.42, IR.64, adalah sumber penyebab terjadinya kemiskinan para petani padi di Indonesia.

Dampak negatif yang disebabkan oleh penanaman varietas yang disebut ”unggul” tersebut antara lain, terjadinya percepatan waktu panen. Apabila saat menggunakan varietas lokal, panen padi bertangkai terjadi pada saat musim kemarau, yang memudahkan dan cepat melakukan pengeringan. Sedangkan varietas baru harus dipanen saat musim hujan, yang sudah pasti sulit menjemurnya karena tidak ada matahari. Selain itu, persentase gabah yang hitam, busuk, dan berkecambah karena sulit mengeringkan sangat tinggi, 25%.

Padi varietas baru tergolong mudah rontok, sehingga begitu menyulitkan di kala panen, mengangkut hasil, mengirik. Lagipula, panennya tidak boleh ditunda. Sebab, bila terlambat tiga harii saja, gabah dapat hilang 50%. Sedangkan panen padi varietas baru yang luasnya ratusan ribu ha di Karawang dan Pantura, waktunya bersamaan, menyebabkan sulitnya mendapatkan tenaga kerja dan mahalnya upah. Kesulitan panen padi rontok di Pantura pasti terjadi setiap tahunnya.

Dapat kita bayangkan, kalau 8,5 juta ha sawah di Indonesia ditanami varietas yang katanya unggul, tapi pendek dan rontok, yang panennya musim hujan, maka akan terjadi kerugian yang sangat besar. Kehilangan hasil karena hitam atau busuk untuk tiap ha sekitar 1 ton gabah dan berkecambah untuk tiap ha-nya dapat mencapai 25%, atau lebih kurang 1 ton/ ha. Berarti, untuk seluruh Indonesia: 1 ton/ hax8,5 jutax Rp 2.000/kg= Rp 17 triliun. Kejadian ini terjadi secara berulang setiap tahun sehingga tidak mampu meningkatkan pendapatan, tapi malah memiskinkan petani.

Selain itu, kemiskinan juga terjadi karena petani menjual padinya dengan harga sangat murah karena tidak mau ambil risiko. Akhirnya petani menjual padi saat masih hijau kepada pengijon dengan harga murah. Karena tidak ada lagi petani yang membawa gabah ke rumah, akhirnya petani tidak menyimpan padi di lumbung. Hasilnya, petani tidak lagi memiliki tabungan, sehingga ketahanan pangan maupun kelaparan pun bisa terjadi di mana-mana.

Bagaimana kondisi saat menanam varietas unggul lokal? Petani menanam varietas yang batangnya tinggi, satu rumpun hanya terdiri dari 5-9 batang. Namun, satu malai memiliki bulir padi yang banyak sampai 425 butir, berarti satu rumpun memiliki 3.200 butir.

Kondisi petani saat panen pun gembira. Berbagai rencana dibuat oleh ibu dan bapak tani. Mulai dari rencana selamatan saat panen raya, mengawinkan anak dengan menanggap wayang, sampai menyunati anak, membeli baju baru, atau memelihara kambing atau kerbau baru.

Namun, bagaimanapun, varietas ”unggul” tadi masih tetap menjadi masalah. Untuk memecahkan masalah di atas, harus ada langkah yang ditempuh. Usahakan agar panen padi terjadi saat musim kemarau, agar proses pengeringan lebih mudah,, sehingga tidak terjadi pembusukan pada padi. Tanamlah varietas lokal yang berumur panjang dan dapat dipastikan panennya akan terjadi di musim panas, sehinga tidak ada kesulitan untuk mengeringkan padi.

Varietas padi yang ditanam tetap, IR.42, IR.64, Ciherang-Cisadane akan tetap direncanakan agar panennya terjadi di musim kemarau. Artinya, harus ada pengunduran waktu tanam selama dua bulan. Padahal, selama 40 tahun kita selalu mendengar dari Deptan, Pemda, dan Penyuluh Pertanian untuk mempercepat waktu tanam. Selain itu, hindari penggunaan insektisida yang sangat keras dan membahayakan, baik pada ikan, hewan, maupun manusia.

Perlu dicatat, perubahan pola tanam atau perubahan varietas pada pertanaman padi tidak boleh dilakukan sendiri-sendiri secara sporadis, karena tanaman dan malai padi akan habis diserang tikus dan hama penyakit. Perubahan perlu dilakukan secara bersama-sama. Sehamparan seragam pada satu hamparan tertier atau quarter, bagus pada satu hamparan seluas 600 ha. Begitulah.

*) Penulis adalah Community Development Specialist. Mantan Staf Ahli Mentan.

Tidak ada komentar: